nusantaraterkini.co, JAKARTA – Anggota Baleg DPR Habib Syarief Muhammad, menegaskan urgensi pengesahan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT) sebagai manifestasi konkrit kewajiban negara menebus “dosa besar” pengabaian hak-hak kelompok pekerja yang selama ini terpinggirkan dan kurang mendapat perlindungan memadai.
Dengan jumlah pekerja rumah tangga di Indonesia yang mencapai 4,2 juta orang—84% di antaranya perempuan—dan data global yang menunjukkan 1 dari 22 pekerja di seluruh dunia adalah PRT, Habib Syarief menyoroti betapa besarnya dampak sosial dan ekonomi yang melekat pada profesi ini, yang selama ini lebih dipersepsikan sebagai “pembantu rumah tangga”, sedangkan sekarang sudah seharusnya dimaknai sebagai pekerja profesional dalam spektrum ketenagakerjaan nasional.
Habib Syarief menegaskan, RUU PPRT adalah penegakan amanat konstitusi Pasal 27 ayat (2) UUD 1945, yang menyatakan secara tegas setiap warga negara berhak mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak, yang harus dibaca sebagai satu kesatuan utuh, bukan hanya soal menyediakan lapangan kerja tapi juga memastikan terlindunginya hak-hak pekerja secara penuh.
“Kita tidak boleh membiarkan hadirnya ruang penafsiran bagi pemberi kerja untuk kemudian dapat memilih agar tidak menanggung iuran jaminan sosial ketenagakerjaan dalam ‘kesepakatan kerja’ sebagaimana tertera pada Pasal 16 ayat (2) RUU. Ini adalah preseden berbahaya yang memungkiri amanat hukum dan kemanusiaan,” tegasnya saat RDP dengan BPJS Kesehatan dan Ketenagakerjaan soal RUU PPRT di Gedung DPR, Senin (8/9/2025).
Dalam konteks hukum, Habib Syarief mengutip teori Seidman dan Chambliss tentang “Teori Bekerja Hukum di Masyarakat”, bahwa Law Implementating Process seperti Kementerian Sosial dan BPJS harus memastikan tidak ada celah birokrasi ataupun regulasi yang menghambat perlindungan sosial bagi pekerja, terutama PRT yang selama ini menghadapi diskriminasi sistemik.
Lebih jauh, ia menekankan bahwa RUU ini harus mengadopsi nilai-nilai dalam Konvensi ILO No. 189 Tahun 2011 tentang Kerja Layak bagi PRT, yang memberikan standar internasional untuk pengakuan, perlindungan, dan penghargaan atas profesi pekerja rumah tangga.
Kekecewaan besar muncul karena Indonesia hingga saat ini belum juga meratifikasi konvensi ini, sehingga RUU ini menjadi momentum bersejarah untuk menyelaraskan hukum nasional dengan nilai-nilai HAM dan keadilan global.
Menurut Habib Syarief, perlindungan pekerja rumah tangga harus komprehensif, menyasar seluruh klasifikasi PRT, baik yang bekerja penuh waktu, paruh waktu, direkrut langsung maupun tidak langsung—semua harus mendapat jaminan sosial seperti jaminan kesehatan, kecelakaan kerja, jaminan kematian, hari tua, pensiun, dan kehilangan pekerjaan sebagaimana diatur dalam program BPJS.
Menariknya, meski Universal health Coverage di Indonesia sudah mencapai 98,19 persen, fakta ironis dari survei JALA 2019 menunjukkan bahwa 89% PRT tidak termasuk dalam penerima bantuan iuran, dan 99% PRT tidak memiliki jaminan ketenagakerjaan.
“Ini adalah sebuah alarm keras — bukti nyata pengabaian negara terhadap hak asasi manusia dasar para pekerja yang menopang kehidupan rumah tangga masyarakat kita,” tegas legislator dapil Jabar ini.
Ia mengingatkan bahwa perlindungan hukum harus bersifat preventif dan represif; mencegah pelanggaran dengan regulasi tegas dan memberikan sanksi tegas bila terjadi pelanggaran hak. “Pada akhirnya, RUU PPRT nantinya akan menjadi benteng hukum dan moral bagi jutaan pekerja rumah tangga di tanah air yang menuntut keadilan dan penghormatan layak.”
Habib Syarief menutup pernyataannya dengan seruan kuat agar seluruh pemangku kepentingan, mulai legislatif hingga pelaksana teknis, meneguhkan komitmen bersama tanpa kompromi, memastikan RUU ini segera disahkan dan dilaksanakan dengan integritas, sebagai wujud nyata keberpihakan negara terhadap mereka yang selama ini terabaikan dan sering disisihkan.
(cw1/nusantaraterkini.co)