Otomatis
Mode Gelap
Mode Terang

Pemerintah Didesak Tangani Ancaman PHK Massal di Sektor Perhotelan

Editor:  hendra
Reporter: Luki Setiawan
WhatsApp LogoTemukan Nusantaraterkini.co di WhatsApp!!
Arzeti Bilbina (Foto: dok.DPR)

nusantaraterkini.co, JAKARTA - Anggota Komisi IX DPR Arzeti Bilbina menyatakan keprihatinannya terhadap meningkatnya ancaman pemutusan hubungan kerja (PHK) di sektor perhotelan. Ia mendesak pemerintah untuk segera mengambil langkah konkret guna melindungi pekerja di sektor tersebut. 

"Sektor perhotelan merupakan tulang punggung ekonomi, terutama di kawasan bisnis dan wisata. Ancaman PHK massal di sektor ini tidak hanya berdampak pada pekerja, tetapi juga pada perekonomian nasional," ujar Arzeti, Rabu (11/6/2025). 

Menurut survei Badan Pimpinan Daerah Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (BPD PHRI), 96,7 persen hotel mengalami penurunan tingkat hunian pada triwulan pertama tahun 2025.

Sebanyak 66,7 persen responden menyebutkan penurunan tertinggi berasal dari segmen pasar pemerintahan, seiring dengan kebijakan pengetatan anggaran yang diterapkan oleh pemerintahan Presiden Prabowo Subianto.

Dampak dari perununan tingkat hunian itu, 70 persen pengusaha hotel dan restoran Jakarta berencana melakukan efisiensi dan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Diperkirakan pengusaha hotel akan mengurangi 10-30 persen dari total jumlah karyawan.

Arzeti menambahkan bahwa meskipun sektor perhotelan belum tercatat secara spesifik dalam data PHK, tapi tren peningkatan PHK di sektor padat karya dapat menjadi indikator awal adanya ancaman serupa di sektor perhotelan.

Legislator Dapil Jawa Timur I itu menekankan pentingnya pemerintah untuk segera melakukan pemetaan risiko dan memberikan stimulus kepada industri perhotelan yang terdampak. 

"Kami mendesak Kementerian Ketenagakerjaan dan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif untuk segera membentuk satuan tugas khusus yang fokus pada pencegahan PHK di sektor perhotelan. Selain itu, perlu ada program pelatihan ulang dan peningkatan keterampilan bagi pekerja yang terdampak," tegas Arzeti. 

Arzeti itu juga mengatakan, pemerintah harus proaktif dan responsif dalam menghadapi tantangan ini. Jangan sampai kehilangan momentum untuk melindungi pekerja dan menjaga stabilitas ekonomi nasional.

Sementara itu, Sekretaris Jenderal Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI), Maulana Yusran, terang-terangan bilang bisnis perhotelan di Indonesia saat ini sudah gawat dan ancaman pemutusan hubungan kerja tak bisa terhindarkan.

Apalagi, pemerintah menyebut bakal melanjutkan kebijakan efisiensi belanjanya hingga tahun 2026.

Mayoritas hotel, menurut Yusran, kini bergantung pada okupansi atau hunian kamar demi bertahan hidup lantaran tak ada fasilitas lain yang bisa dijual. Dan demi mengisi kamar, hotel-hotel bintang tiga ke atas terpaksa "banting harga".

"Ibarat makanan, kalau pasarnya hilang, otomatis satu piring diperebutkan banyak orang yang terjadi sekarang adalah perang tarif," tutur Maulana Yusran

"Jadi situasinya enggak mudah, sama sekali tidak sesimpel yang dibayangkan," lanjut Maulana.

Dampak Efisiensi

Terpisah, Pengamat ekonomi dari Center of Economic and Law Studies (Celios), Media Wahyudi Askar, menilai terpukulnya industri perhotelan di Indonesia tak hanya disebabkan efisiensi belanja pemerintah.

Tapi, ada pengaruh kolapsnya kelas menengah yang sudah kelihatan jejaknya sejak beberapa tahun belakangan.

Padahal, kelas menengah ini, kata Askar, menghabiskan banyak waktunya berlibur.

Namun apa dikata, mereka sekarang berada di ujung tanduk. Gaji pas-pasan tapi biaya hidup terus meningkat, dan sialnya tak mendapatkan bantuan dari pemerintah.

"Dua hal itu berjalan bersamaan dan sangat memukul industri perhotelan. Kalau kelas menengah kita rontok, otomatis industri perhotelan juga akhirnya rontok," sambungnya.

Lonjakan inflasi juga dianggap berkontribusi pada enggannya kelas menengah berbelanja, termasuk untuk kebutuhan wisata dan hotel yang menyertainya.

Pasalnya inflasi membuat mahalnya harga tiket pesawat yang berimbas pada anjloknya menurunnya tingkat kunjungan pelancong dan hunian hotel.

Sekedar informasi, Gelombang PHK di Indonesia terus terjadi. Menurut data dari Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), pada Januari hingga Februari 2025, sebanyak 40.000 pekerja telah mengalami PHK, dengan konsentrasi tertinggi di DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Tangerang. 

Sedangkan Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) mencatat per April 2025 jumlah pekerja yang terkena PHK mencapai 24.360 orang atau rata-rata 6.090 orang per bulan. 

(cw1/nusantaraterkini.co)

Advertising

Iklan