Otomatis
Mode Gelap
Mode Terang

Konflik Suku di Papua Nugini: Ketika Emas Menjadi Kutukan

Editor:  Rozie Winata
Reporter: Redaksi
WhatsApp LogoTemukan Nusantaraterkini.co di WhatsApp!!
Ilustrasi Papua Nugini. (Foto: istockphoto)

Oleh: Juwita Br Hutasoit & Madu Tiolina Nainggolan

Konflik kepemilikan tanah di sekitar tambang emas Porgera di Papua Nugini kembali membara, memperlihatkan bagaimana sumber daya alam yang seharusnya menjadi berkah justru berubah menjadi kutukan. Perang antarsuku yang melibatkan klan Piande dan Sakar bukan sekadar bentrokan tradisional, melainkan manifestasi dari permasalahan ekonomi, sosial, dan politik yang kompleks.

Tanah, emas, dan keserakahan tanah bagi suku-suku di Papua Nugini bukan sekadar wilayah fisik, melainkan warisan leluhur yang memiliki nilai spiritual dan sosial. Namun, ketika emas ditemukan di bawahnya, makna tanah bergeser dari simbol budaya menjadi aset ekonomi yang diperebutkan. Penambang ilegal, sering kali berasal dari kelompok miskin dan termarginalkan, memperburuk keadaan dengan eksploitasi yang tidak terkontrol.

Baca Juga: Kerusuhan Berujung Darurat Tak Padam di Papua Nugini

Ketidakadilan dan kemarahan penduduk asli penduduk asli merasa bahwa hak mereka atas tanah sering kali diabaikan oleh pemerintah dan perusahaan tambang yang lebih berpihak pada kepentingan ekonomi global. Ketimpangan sosial yang semakin lebar memperdalam rasa frustasi, menciptakan bibit perlawanan yang tak terhindarkan.

Dari panah ke senjata otomatis konflik suku yang dahulu mengandalkan panah dan tombak kini berubah menjadi pertumpahan darah yang lebih mengerikan dengan hadirnya senjata api modern. Meningkatnya akses terhadap senjata otomatis membuat perang suku tidak lagi sekadar mempertahankan harga diri, tetapi menjadi arena pembantaian massal.

Baca Juga: Kemlu RI Pastikan Sejauh Ini Tidak Ada WNI Jadi Korban Kerusuhan di Papua Nugini

Ketidakhadiran negara di tengah eskalasi kekerasan, pemerintah Papua Nugini tampak kewalahan. Wilayah dataran tinggi yang sulit dijangkau, ditambah dengan lemahnya penegakan hukum, menciptakan ruang bagi kelompok bersenjata untuk beroperasi tanpa rasa takut. Jika pemerintah terus abai, maka konflik ini tidak hanya akan merugikan masyarakat lokal tetapi juga mengancam stabilitas nasional.

Solusi jalan panjang menuju perdamaian penyelesaian konflik ini tidak cukup hanya dengan intervensi militer. Diperlukan pendekatan holistik yang mencakup pengakuan hak atas tanah bagi penduduk asli, distribusi hasil tambang yang lebih adil, serta penegakan hukum yang tegas terhadap perdagangan senjata ilegal. Papua Nugini harus memilih membiarkan emas terus menjadi kutukan atau menjadikannya sebagai pijakan menuju kesejahteraan bersama.

Konflik di Porgera bukan hanya soal kepemilikan tanah, tetapi juga cerminan ketimpangan sosial yang lebih luas. Selama pemerintah dan pemangku kepentingan terus mengabaikan akar permasalahan, perang suku di Papua Nugini akan tetap menjadi luka yang tak kunjung sembuh. (*)

Penulis adalah Mahasiswa Antropologi Unimed Angkatan 2022