Nusantaraterkini.co, MEDAN – Pelaksanaan reforma agraria yang dijanjikan pemerintah belum berjalan sebagaimana amanat Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) 1960. Dua faktor utama dinilai menjadi penghambat yakni tumpang tindih dengan undang-undang sektoral, dan keterlibatan aparat keamanan dalam konflik di lapangan.
Amatan Nusantaraterkini.co, catatan dari Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS) Sumatera Utara menunjukkan, sepanjang 2024 terdapat sedikitnya 24 kasus konflik agraria di provinsi ini. Lima di antaranya melibatkan kepolisian.
“Bentuknya mulai dari kriminalisasi, intimidasi, hingga penyiksaan terhadap masyarakat,” ucap Staf Pengorganisasian dan Jaringan KontraS Sumut, Aulia Rahman, dalam diskusi publik yang digelar Aliansi Pejuang Reforma Agraria (APARA) di Jalan Kemiri, Kecamatan Medan Amplas, Kota Medan, Rabu (10/9/2025).
Baca Juga : APARA Sumut Gelar Diskusi Publik, Soroti Keterlibatan Aparat dalam Implementasi UUPA 1960
Dalam wacana yang lebih serius, selain praktik represif aparat, persoalan regulasi juga menghambat. Tommy Sinambela dari Perhimpunan Bantuan Hukum dan Advokasi Rakyat Sumatera Utara (BAKUMSU) menilai UUPA 1960 kerap berbenturan dengan undang-undang sektoral seperti UU Minerba, UU Kehutanan, UU Perkebunan, hingga UU Cipta Kerja.
“UUPA mengedepankan fungsi sosial tanah, sementara aturan sektoral lebih condong pada kepentingan investasi. Dari sinilah lahir ketimpangan, perampasan lahan, hingga kriminalisasi terhadap petani dan masyarakat adat,” ujar Tommy.
Tommy mencontohkan kasus Sorbatua Siallagan, warga Toba yang dituntut karena dituding menduduki kawasan hutan konsesi perusahaan Toba Pulp Lestari (TPL).
Dilain sisi, Koordinator Wilayah Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Sumut, Suhariawan, menyebut konflik di daerah kerap bersumber dari dua hal: klaim sepihak perusahaan melalui hak guna usaha (HGU) serta penguasaan kembali tanah terlantar bekas HGU yang sudah lama digarap masyarakat.
“Padahal salah satu mandat utama UUPA 1960 adalah pelaksanaan reforma agraria sejati: redistribusi tanah, penyelesaian konflik agraria, dan pemberdayaan petani, masyarakat adat, nelayan, serta perempuan dengan prinsip keadilan ekologis,” katanya.
UUPA 1960 lahir pada 24 September 1960, menggantikan hukum agraria kolonial Agrarische Wet 1870. Tanggal itu kemudian diperingati sebagai Hari Tani Nasional setiap tahun. Namun, setelah 65 tahun, janji reforma agraria dinilai belum juga diwujudkan secara utuh.
Di akhir diskusi ini, Dastin sebagai moderator menarik garis besar dari hasil diskusi. Menurut mereka, model pembagian tanah seperti yang dilakukan oleh pemerintah pada prinsipnya tak mampu menekan eskalasi konflik tanah.
“Negara tidak cukup hanya membagi tanah, tapi juga menyelesaikan konflik yang ada. Reforma agraria sejati harus dijalankan demi keadilan sosial dan perlindungan hak asasi manusia,” tutup Dastin.
(cw7/nusantaraterkini.co)