Otomatis
Mode Gelap
Mode Terang

Degradasi Budaya Lokal Akibat Pengaruh Globalisasi

Editor:  Rozie Winata
Reporter: Redaksi
WhatsApp LogoTemukan Nusantaraterkini.co di WhatsApp!!
Ilustrasi. (Foto: istockphoto)

Oleh: Julia Putri & Ridho Alfianda

Kehidupan sehari-hari tidak bisa terlepas dari ikatan budaya. Sebab, budaya merupakan cara hidup suatu kelompok yang terus diwariskan kepada penerusnya. Di Indonesia sendiri banyak sekali jenis budaya yang tersebar baik itu dari pulau Sumatera, Kalimantan, Jawa, Papua dan lainnya.

Per November sudah terdapat 11.622 warisan budaya dan pada tahun 2024 tercatat 2.213 warisan budaya tak benda yang sudah ditetapkan, dengan begitu sudah semestinya Indonesia ini dinobatkan sebagai negara yang beragam jenis etnik dan budayanya.

Indonesia sendiri merupakan suatu negara yang masi menjunjung tinggi nilai-nilai budaya yang diwariskan oleh leluhurnya. Tak jarang suatu masyarakat masih memeluk erat suatu tradisi yang ada di kelompoknya. Namun tak bisa dipungkiri, budaya yang tersebar pasti memiliki perubahan hingga hilangnya suatu budaya yang ada di masyarakatnya.

Budaya dan perkembangannya sudah jelas mengikuti perkembangan jaman yang ada, apalagi adanya pengaruh globalisasi sekarang ini. Akses terhadap sesuatu berita dan perkembangan di seluruh dunia sudah cukup mudah untuk dapat diakses oleh semua kalangan. Baik itu informasi yang nyata kebenarannya hingga hoax.

Globalisasi ini memiliki peran tersendiri terhadap perkembangan yang terjadi disuatu negara. Globaisasi adalah suatu proses yang menjadikan sesuatu (budaya ataupun karakter) yang merupakan suatu ciri individu di dunia tanpa dibatasi oleh wilayah dan waktu.

Globalisasi dapat dikatakan suatu proses ni dalam penyebaran yang dapat dilihat orang banyak dan tak jarang yang melihatnya mengikutinya. Indonesia sendiri yang sudah lama menganut sistem gotong royong, musyawarah, toleransi, sopan santun, dll.

Namun di masyarakat kebiasaan itu sudah berkurang apalagi dalam halnya bergotong royong, sering sekali pada saat kegiatan gotong royong, masyarakat lebih mementingkan mengabadikan momen yang ada dari pada saling membantu untuk dapat membersihkan ingkungannya. 

Baca Juga: Peran Bahasa Daerah dalam Mempertahankan Identitas Budaya di Era Globalisasi

Misalnya di lingkungan saya sendiri, rasa kebersamaan itu sudah tidak ada lagi, bahkan kegiatan gotong royong hampir tidak ada lagi. Semua masyarakat sibuk dengan kegiatannya masing-masing untuk membahagiakan keluarganya sendiri, padahal Indonesia dikenal memiliki karakter bergotong royong.

Faktor globalisasi inilah yang membuat masyarakat merasa memiliki teman virtual di media sosial, sehingga menganggap tak perlu meminta bantuan orang lain karena seluruh akses sudah dipermudah dalam kecanggihan teknologi sekarang ini. Padahal sebetulnya cukup banyak yang bisa diambil sisi positif dari gobalisasi ini, seperti disiplin, kebersihan, akuntabilitas, egalitarisme, persaingan etos kerja, menghormati mereka yang membutuhkan hingga demokratisasi.

Nah dari hal postif globalisasi ini seharusnya dapat diterapkan di negara kita bukan malah menghilangkan budaya yang ada. Sudah banyak sekali nilai karakter budaya yang ada di Indonesia mulai mengalami penurunan drastis seperti halnya maraknya kasus premanisme, kenakalan remaja, bahkan kasus-kasus perundungan yang bertentangan dengan karakter Indonesia yang memiliki etika, moral dan sopan santun itu sudah mulai tergerus oleh pengaruh globalisasi ni. 

Remaja yang ada di Indonesia mulai unjuk gigi dengan mengikuti kenakalan remaja. Mereka melakukan tindakan kekerasan baik itu begal, tawuran dan bahkan penodongan. Remaja sekarang ini nilai etika moral dan sopan santun itu sudah berkurang dengan banyak melihat konten-konten yang ada di media sosia.

Tak heran lagi klau sudah banyak sekali kasus-kasus yang begitu sangat cepat untuk ditonton orang lain dan tak jarang viral. Mereka mendapatkan rasa puas dengan keviralan mereka bahwasannya merekalah yang lebih berkuasa dari pada kelompok lain.

Dalam zaman globalisasi ini, kemajuan teknologi dan akses informasi memang memberikan banyak keuntungan. Akan tetapi, kita tidak bisa mengabaikan pengaruhnya terhadap budaya lokal yang sudah lama menjadi jati diri bangsa. Di Indonesia, budaya bukan sekadar tradisi, tetapi refleksi jiwa dan watak bangsa.

Baca Juga: Jawab Tantangan Globalisasi, Kemajuan Kebudayaan Nasional Harus Konsisten

Setiap pulau, mulai dari Sumatera hingga Papua, menyimpan kekayaan warisan budaya yang mengandung nilai-nilai kerjasama, deliberasi, dan kesopanan. Globalisasi telah menghasilkan gelombang modernisasi yang kuat, di mana nilai-nilai baru kerap kali mendominasi.

Peristiwa ini tampak nyata dalam pengurangan semangat kebersamaan di kalangan masyarakat. Tradisi gotong royong, contohnya, semakin tersisih oleh kemajuan teknologi yang membuat orang lebih fokus pada dunia digital. Masyarakat yang sebelumnya saling mendukung kini lebih memilih untuk merekam momen melalui media sosial, sehingga interaksi tatap muka menjadi semakin sedikit.

Di samping itu, distribusi informasi baik yang bersifat positif maupun negatif dapat memicu timbulnya perilaku menyimpang seperti kenakalan remaja, perundungan, dan bahkan kejahatan. Transformasi nilai-nilai etika dan moral ini menunjukkan adanya penurunan budaya, di mana nilai-nilai mulia yang diturunkan oleh nenek moyang mulai tergantikan oleh kecenderungan modern yang lebih mementingkan individualisme. 

Sebaliknya, globalisasi juga memberikan dampak baik, seperti timbulnya disiplin, kebersihan, tanggung jawab, egalitarianisme, serta persaingan etos kerja yang positif. Nilai-nilai ini sejatinya bisa diintegrasikan dengan kearifan lokal untuk membangun masyarakat yang lebih modern sambil tetap menjaga identitas budaya.

Tantangannya adalah cara menyaring dan mengintegrasikan pengaruh positif tersebut tanpa mengorbankan nilai-nilai budaya yang telah menjadi identitas bangsa. Contohnya, nilai kebersamaan dan gotong royong yang sudah lama ada dalam masyarakat Indonesia harus dipertahankan agar tidak lenyap di tengah pengaruh individualisme yang semakin menguat.

Dengan mempertimbangkan kondisi saat ini, diperlukan kolaborasi dari berbagai pihak pemerintah, pemimpin komunitas, dan generasi muda untuk melindungi serta mempertahankan budaya lokal. Pendidikan mengenai nilai-nilai tradisional sebaiknya dimulai dari usia dini, sehingga anak-anak bisa memahami. (*)

Penulis adalah Mahasiswa Antropologi Unimed 2022