Otomatis
Mode Gelap
Mode Terang

Tanggul Beton di Perairan Cilincing, Pengamat Pertanyakan Dasar HPL dan HGB

Editor:  Feriansyah Nasution
Reporter: Luki Setiawan
WhatsApp LogoTemukan Nusantaraterkini.co di WhatsApp!!
Tanggul Raksasa yang Ada di perairan Cilincing. (Foto: Screenshot Instagram @cilincing.info)

Nusantaraterkini.co, JAKARTA - Sebuah video pembangunan tanggul beton viral beredar di media sosial Instagram. Dimana, pembangunan tanggul beton di perairan Cilincing, Jakarta Utara, yang belakangan menuai protes nelayan disebabkan oleh akses yang sulit bagi mereka untuk melaut karena adanya tanggul beton tersebut.

Menanggapi hal itu, Pengamat infrastruktur dan Tata Kota, Yayat Supriatna menilai persoalan utama terletak pada ketidakjelasan informasi dan lemahnya keterbukaan pemerintah dalam proses perizinan serta kesesuaian dengan tata ruang.

“Sekarang begitu viral, begitu ditunjukkan nelayan dan dilaporkan, semua lepas tanggung jawab. Pertanyaannya, tanggul itu punya siapa dan untuk apa? Mengapa sesudah viral baru kita ribut?,” kata Yayat, Jumat (12/9/2025).

Baca Juga : Tanggul Laut untuk Lindungi Pantura Bukan Lagi Wacana, Prabowo: Dikerjakan Segera!

Menurut Yayat, wilayah pesisir secara hukum merupakan kewenangan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), sementara daratan menjadi otoritas Pemprov DKI Jakarta.

Masalahnya, kata dia, apakah pembangunan tanggul tersebut sudah sesuai dengan rencana tata ruang kawasan pesisir Jakarta atau justru melanggar.

“Harusnya kalau ada kegiatan di pesisir, terkonfirmasi dulu apakah sesuai dengan tata ruang atau tidak. Jangan sampai proyek dikerjakan tanpa melihat tata ruang, tanpa jelas plotting-nya. Kalau melanggar tata ruang, itu bisa dipersoalkan,” ungkap Yayat.

Yayat mencontohkan kasus reklamasi pulau di Teluk Jakarta yang sempat bermasalah karena tidak tercantum jelas dalam tata ruang.
Hal serupa, menurutnya, bisa terjadi dalam pembangunan tanggul beton di Cilincing.

Selain itu, Ia juga menyinggung soal koordinasi antara KKP dan Pemprov DKI Jakarta yang dinilainya lemah.

Menurutnya, meski izin diberikan oleh kementerian, seharusnya Pemprov DKI tetap dilibatkan untuk mempertimbangkan aspek sosial dan keberlangsungan hidup nelayan.

“Jangan mentang-mentang atas nama kementerian, kemudian memberi izin tanpa koordinasi. Minimal ada rekomendasi dari DKI, karena itu ‘halaman depan rumahnya’. Kalau kepentingannya publik, buka saja transparan,” ucap Yayat.

Lebih jauh, Yayat mempertanyakan dasar hukum penggunaan lahan serta status Hak Pengelolaan Lahan (HPL) dan Hak Guna Bangunan (HGB) terkait proyek tersebut.

“Kalau kasus reklamasi dulu, HPL-nya ada di DKI. Lalu di atas HPL itu dibangun, diberi HGB. Nah sekarang, HPL-nya siapa? Punya kementerian atau siapa? Apakah izin mendirikan bangunannya sudah ada atau belum?” kata Yayat.

Yayat mendesak pemerintah untuk memperbaiki prosedur pembangunan dengan mengedepankan keterbukaan, agar tidak menimbulkan kecurigaan publik.

“Kenapa harus sembunyi-sembunyi? Saatnya memperbaiki prosedur dengan keterbukaan. Jangan sampai aturan diabaikan, lalu lebih mudah minta maaf daripada minta izin. Itu yang harus dihindari,” ujarnya.

Ia juga mengingatkan bahwa tata ruang pesisir tidak hanya soal pembangunan infrastruktur, melainkan harus mempertimbangkan kehidupan nelayan dan ruang publik.

Jika tidak sesuai tata ruang, kata Yayat, proyek bisa merugikan masyarakat kecil yang menggantungkan hidup dari laut.

“Kalau misalnya di situ ada kehidupan nelayan, apakah proyek itu harus mematikan mereka? Wilayah pesisir itu ruang terbuka publik, jangan hanya jadi ‘tata uang’ bukan tata ruang,” pungkas Yayat.

Panggil KKP

Beredarnya video viral tanggul beton di Cilincing ternyata sudah sampai kepada Komisi IV DPR.

Komisi IV DPRI akan menjadwalkan pemanggilan Kementrian Kelautan dan Perikanan (KKP) dan pihak terkait lainnya, terkait video viral tanggul beton itu. 

“Informasi awal yang diterima Komisi IV DPR, tanggul beton yang membentang sekitar 2-3 Km di pesisir Cilincing itu, merupakan bagian dari DLKr DLKp Pelabuhan Marunda,” ungkap Wakil Ketua Komisi IV DPR Alex Indra Lukman. 

Daerah Lingkungan Kerja (DLKr) adalah wilayah perairan dan daratan pada Pelabuhan atau Terminal Khusus yang digunakan secara langsung untuk kegiatan pelabuhan. 

Sedangkan Daerah Lingkungan Kepentingan (DLKp) adalah perairan di sekeliling daerah lingkungan kerja perairan pelabuhan, yang dipergunakan untuk menjamin keselamatan pelayaran. 

Secara sederhananya, DLKr merupakan area operasional utama, sedangkan DLKp berfungsi sebagai area penunjang dan pelindung pelabuhan. 

“Tanggul beton ini, rencananya akan dijadikan lokasi pelabuhan sebuah entitas perusahaan PMDN (penanaman modal dalam negeri-red),” ungkap Alex.

“Dari laporan awal yang kita terima, mereka telah mengantongi perizinan. Selain itu, lokasinya juga disebutkan sudah sesuai dengan Perda Provinsi DKI Jakarta No 7 Tahun 2024 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW),” tambah Alex. 

Baca Juga : Sejarah Tanggul dan Reklamasi: Sejak Era Ali Sadikin hingga Mimpi Presiden Bangun Giant Sea Wall

Walaupun semua perizinan perusahaan PMDN itu secara administratif lengkap, tegas Alex, Komisi IV tentunya akan berupaya maksimal merespon keluhan masyarakat, sepanjang sesuai dengan kewenangan yang dimiliki.  

“Kita akan mengonfirmasi ke KKP, apakah perairan di sekitar tanggul beton itu memang diperuntukan untuk nelayan melaut. Jika memang untuk nelayan, tentunya akan kita minta untuk meninjau ulang izin yang diberikan,” tutupnya. 

Sebelumnya, Pemerintah Provinsi Jakarta menyebut pembangunan tanggul beton yang ada di Cilicing itu bukan kewenenangan mereka.

Staf Khusus Gubernur Jakarta Bidang Komunikasi Sosial Cyril Raoul Hakim atau Chico Hakim mengatakan perizinan tanggul beton Cilincing merupakan wewenang Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). 

"Adalah kewenangan dari KKP. Perizinan terkait itu menjadi kewenangan KKP," kata Chico.

Video pembangunan tanggul beton di Cilincing sebelumnya beredar di media sosial Instagram. Akun @cilincinginfo menyoroti keberadaan tanggul itu. 

"Tanggul beton nih di Pesisir Cilincing, menyulitkan nelayan pesisir untuk melintas. Ini kurang lebih ada 2-3 kilometer panjangnya. Jadi awalnya perlintasan nelayan sehingga kesulitan mencari ikan karena harus memutar jauh dengan adanya tanggul beton ini," kata seseorang dalam video di akun @cilincinginfo.

(cw1/nusantaraterkini.co)