Nusantaraterkini.co, Medan – Meilisya Ramadhani, seorang guru honorer dan pembela Hak Asasi Manusia (HAM) di Kabupaten Langkat, Sumatera Utara, mengadukan dugaan kriminalisasi terhadap dirinya ke Komnas Perempuan dan Komnas HAM.
Meilisya menjadi sorotan setelah mengungkap dugaan tindak pidana korupsi dalam seleksi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) Langkat Tahun 2023.
Kasus ini bermula ketika Meilisya, bersama 103 guru honorer lainnya, mengungkap berbagai kecurangan dalam pelaksanaan seleksi PPPK Langkat.
Salah satu kejanggalan terbesar adalah munculnya nilai Seleksi Kompetensi Teknis Tambahan (SKTT) dalam pengumuman kelulusan PPPK yang ditandatangani oleh Plt. Bupati Syah Afandin.
Padahal, dalam proses seleksi tersebut, tidak ada kegiatan SKTT yang dijadwalkan. Akibatnya, 103 guru honorer, termasuk Dinda Nurfan yang mendapatkan skor tertinggi 601 dalam formasi guru se-Kabupaten Langkat, dinyatakan tidak lulus.
Investigasi yang dilakukan Meilisya dan rekan-rekannya menemukan adanya praktik suap dengan nilai fantastis, diduga mencapai Rp40-80 juta, untuk meluluskan peserta PPPK.
Selain itu, terungkap adanya guru siluman yang tidak pernah mengajar namun terdaftar sebagai honorer di Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Langkat dan dinyatakan lulus.
Berdasarkan laporan guru-guru ini, Polda Sumatera Utara telah menetapkan lima tersangka, yaitu Kepala Dinas Pendidikan, Kepala BKD, Kasi Kesiswaan SD, dan dua kepala sekolah di Langkat.
Namun, kelima tersangka tersebut tidak ditahan dengan alasan kooperatif, memicu kekecewaan dan pertanyaan di kalangan guru honorer.
Dugaan kriminalisasi terhadap Meilisya muncul setelah dirinya dilaporkan ke Polres Langkat oleh pengacara Kadis Pendidikan Langkat, TL, S.H., M.H., dengan tuduhan pemalsuan.
Pelaporan ini terjadi tak lama setelah lima pejabat terkait kasus PPPK Langkat ditetapkan sebagai tersangka, mengesankan adanya upaya balas dendam terhadap Meilisya.
Menanggapi laporan tersebut, Meilisya mendatangi Komnas HAM dan Komnas Perempuan untuk mencari keadilan.
Ia mengungkapkan bahwa pengacara yang melaporkannya adalah kuasa hukum yang sama dalam sengketa TUN Nomor: 30/G/2024/PTUN.MDN, di mana para guru honorer juga menggugat pemerintah Kabupaten Langkat.
LBH Medan, selaku kuasa hukum Meilisya dan para guru, menduga kuat adanya upaya kriminalisasi terhadap Meilisya yang justru bertentangan dengan UUD 1945 dan UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM.
"Kami mendesak Polda Sumut untuk segera menahan kelima tersangka dan memeriksa Plt. Bupati serta Sekda Langkat, karena kami menduga ada keterlibatan mereka dalam kasus ini," tegas Irvan Saputra, SH., MH., perwakilan LBH Medan kepada Nusantara terkini Senin, (21/10/2024).
Upaya kriminalisasi ini tidak hanya melukai Meilisya, tetapi juga mencederai semangat para guru honorer lainnya yang terus berjuang untuk mendapatkan keadilan.
Kasus ini menjadi simbol perlawanan terhadap korupsi dan intimidasi yang kerap dihadapi oleh mereka yang berani mengungkap kebenaran.
"Kriminalisasi ini adalah bentuk nyata dari intimidasi, dan kami akan terus berjuang hingga keadilan ditegakkan," pungkas Meilisya.
(cw9/Nusantaraterkini.co)