Otomatis
Mode Gelap
Mode Terang

ANJANI

Editor:  Rozie Winata
Reporter: Redaksi
WhatsApp LogoTemukan Nusantaraterkini.co di WhatsApp!!
Ilustrasi

Terdengar seseorang memanggil namaku dari kejauhan. Nyaring suaranya membelah riuh pasar, membuatku seketika terkejut sesaat setelah turun dari omprengan. Ketika mendengar suara seorang perempuan memanggil, sepersekian detik benakku terlempar pada bayangan wajah ayu yang sudah lama tak kulihat. Aku menoleh ke sumber suara dan benar saja, wanita itu...

Aku melihat paras yang nyaris tak berubah setelah lebih dari sepuluh tahun tak berjumpa dengannya. Lambaian tangannya, seolah menyapu ramai lalu lalang di antara kami. Mencoba mengisyaratkan keberadaannya kepadaku yang masih berdiri di seberang jalan. Sementara, aku sendiri sempat mematung sejenak sebelum akhirnya membalas lambaiannya dengan senyuman.

"Narno! Narno! Mampir sini, No!" serunya memanggil-manggil.

Anjani, dia langsung mengenaliku walau sudah sangat lama kami tak bertemu. Bahkan seingatku, berkabar lewat media sosial pun kami hampir tak pernah. Terhitung hanya beberapa kali saja kami bertegur sapa, terutama ketika aku menyampaikan duka cita saat mendengar orang-orang terdekatnya meninggal dunia.

Dalam beberapa detik lamunan, aku mencoba mengira-ngira sesuatu saat melihat penampilannya. Ia terlihat mengenakan celemek yang sedikit basah, menghadap meja lapak kaki lima, di depan sebuah warung yang jelas aku sangat tahu tempat itu. Penampakannya menyiratkan beberapa kemungkinan yang tak sulit kutebak. Namun, sebelum aku menarik kesimpulan, panggilannya seolah langsung menghasutku untuk datang menghampirinya.

Seperti mengabaikan tujuanku untuk segera sampai di rumah, aku menyeberangi jalan dengan penuh kepayahan, menenteng tas jinjing dan beban ransel di pundak. Hingga akhirnya sampailah di seberang, di depan sebuah lapak bertuliskan 'Jual Es Degan'.

"Anjani. Hei, apa kabar dirimu? Kau berjualan di sini?," tanyaku sambil menjulurkan tangan mengajaknya bersalaman.

"Benar, aku jualan di sini. Kabarku baik, seperti yang kamu lihat," kata Anjani tanpa balik menanyakan kabarku.

Buru-buru ia mengelap tangan dan kita saling berjabatan. Kurasakan telapak tangan wanita cantik ini jauh lebih kasar dari tanganku. Tetapi cukup masuk akal apabila benar pekerjaannya saban hari harus mengupas puluhan buah kelapa.

"Sudah lama sekali ya, Narno! Kasihan, masih sendirian saja menenteng tas seperti orang pindahan. Aku pikir kamu sudah menetap di perantauan dan lupa kampung halaman."

"Raut wajahmu tampak lelah. Masuk dan beristirahatlah barang sebentar! Biar kubuatkan minuman," ujarnya berbasa-basi manis sambil mempersilakan aku masuk ke dalam warungnya.

Wanita ceriwis ini tak memberiku kesempatan menjawab dan main paksa saja. Belum apa-apa saja aku sudah dibuat canggung. Aku merasa ia agak berlebihan lantaran kami baru saja berjumpa.

Baiklah, aku langsung masuk ke dalam warung kecilnya untuk duduk dan meletakkan barang bawaan sebelum banyak bercakap-cakap. Kurasakan badanku keju setelah 12 jam naik bus dalam perjalanan Jakarta-Juwana, ditambah nyaris dua jam berada di dalam omprengan bobrok menuju pinggiran kota kecamatan.

Seingatku, tempat ini dulunya adalah kios milik pasutri Tionghoa penjual mercon dan bahan-bahan kimia. Mereka punya anak lelaki seumuran denganku yang dulu selalu bertugas jaga siang malam hingga sama sekali tak pernah bermain dengan anak-anak sebayanya.

Tak kusangka, Anjani sekarang menempati kios lapuk ini.

Dari dalam warung, aku memandangi Anjani yang tengah mengerok daging kelapa muda. Meski seram bersenjatakan pisau besar, rona mukanya secerah pagi ini. Senyumnya yang simetris sesegar dagangannya. Itu jelas, sedikit meluluhkan rasa jemuku setelah perjalanan panjang.

“Ni, buatkan pakai gula merah dengan es batu yang banyak,” seruku memesan rasa manis dan kesegaran untuk es kelapa muda yang sedang ia buat.

Kampungku berada dua kilometer dari pusat keramaian ini. Aku masih harus melintasi satu dusun dan sedikit hutan belukar sebelum sampai di halaman rumah. Begitu juga Anjani yang memang satu kampung denganku, setidaknya kalau dirinya belum pindah.

Tentu aku belum tahu bagaimana ceritanya Anjani bisa berjualan di sini.

Bertahun-tahun aku merantau dan nyaris menetap di sebagai warga Kota Jakarta. Meninggalkan dusun kecilku di Juwana untuk menjadi seorang buruh pabrik, kemudian menempuh pendidikan S1 selama 14 semester, lanjut S2 dan gagal karena kehabisan modal, hingga menjadi buruh pabrik lagi dan berakhir di-PHK karena pandemi Covid-19.

Dari perjalanan yang agaknya cukup panjang itu, kenapa aku dipertemukan dengannya ketika pertama kali menginjakkan kaki lagi di sini? Suatu kebetulan yang manis.

Tadinya aku agak heran ketika menyadari bahwa perempuan itu sama sekali tak canggung menyapaku, orang yang bahkan sudah belasan tahun tidak dijumpainya. Di saat aku merasa sudah begitu asing pada kampung halaman, ternyata masih ada orang yang mengenaliku setelah pengasingan yang panjang. Bahkan, ia bersikap biasa saja seperti yang ku kenal dulu, jelas aku agak terheran dibuatnya.

Tiba-tiba, aku dikejutkan dengan kemunculan bocah laki-laki yang berlari dari belakangku. Aku membatin, putranya kah? Benar, bocah kecil itu memanggilnya Mama. Usianya sekira tiga atau empat tahunan, dicukur plontos, dan terlihat menggemaskan. Tak lama kemudian, datang seorang gadis mengenakan seragam SD dan memarkirkan sepeda di depan lapak. Gadis kecil berkerudung putih itu mengucapkan salam dan mencium tangan Anjani.

Biar kutebak, gadis ini pasti anaknya yang pertama. Aku ingat, dulu Anjani katanya sempat kuliah di Semarang. Ketika itu, aku masih menjadi buruh pabrik. Tahun berikutnya saat aku juga akan menyusul mendaftar kuliah, aku sempat ingin bertanya-tanya kepadanya soal kiat-kiat mendaftar masuk kampus. Namun, seseorang memberitahuku bahwa Anjani sudah putus kuliah sebelum menghabiskan semester dua.

Kabar dari tetanggaku yang sesama perantau saat itu mengatakan bahwa Anjani hamil di luar nikah. Oleh orangtuanya, ia kemudian dikawinkan dengan anak seorang pengusaha. Seketika itu aku mengurungkan niat untuk bertanya-tanya kepadanya.

Kendati demikian, sampai saat ini aku menyangsikan isu tak sedap tersebut. Lantaran aku merasa mengenal betul wanita ini. Tidak mungkin Anjani hamil duluan, sekalipun iya, barangkali itu kecelakaan, buah cinta remaja, lalu ama soalnya? Aku membatin meyakini itu.

Ia dulu memang kembang desa, dengan jujur pun kuakui bahwa aku pernah menaruh hati kepada wanita yang juga selama tiga tahun menjadi teman sekelasku sewaktu di SMA. Tak cuma cantik, ia juga cerdas, lumayan alim, dan sangat periang karena dia besar di keluarga yang sangat berkecukupan secara moral dan material.

Mana bisa aku percaya Anjani hamil di luar nikah, meski faktanya ia memang benar-benar putus kuliah dan menikah, lalu punya anak. Gadis berseragam SD itu lah anaknya yang pertama.

Anjani lalu masuk menyuguhkan es kelapa muda dengan gelas ukuran jumbo.

Kami lalu berhadapan, ia menyambutku sebagai tamu dan bukan pelanggan. Anjani lantas memanggil kedua anaknya dan diminta untuk mengucapkan salam kepadaku. Kedua kakak beradik itu mencium tanganku dan memperkenalkan diri mereka.

“Ini Om Narno, teman Ibu. Kalian salim dan kenalan dulu,” minta Anjani kepada kedua anaknya.

“Prita,” kata si gadis malu-malu.

“Musa, namaku Musa,” ujar si kecil yang polos dan begitu ceria.

Anjani meminta keduanya masuk ke dalam. Ternyata benar dugaanku bahwa kios ini adalah lapak sekaligus rumah tempat ia tinggal bersama anak-anaknya.

“Sejak kapan kau tinggal di sini, Ni?”

“Aih, biar kutanya dulu bagaimana kabarmu, No”

“Seperti yang kamu lihat, aku masih tampan seperti saat terakhir kali meninggalkan desa.”

“Tak kubantah biar kamu senang.”

“Lantas, sejak kapan kau tinggal dan berjualan di sini?”

“Sejak aku aku jadi janda, No! Cerai dari bapaknya anak-anak.”

Wah, aku tercengang. Anjani lantas menceritakan soal carut marut keluarga dan perkawinannya. Benar prasangkaku bahwa ia sebenarnya memang tidak hamil di luar nikah.

Terungkap kalau Anjani dulu berhenti kuliah karena ayahnya mendadak divonis mengidap kanker paru-paru. Anjani sebagai anak tunggal memutuskan meninggalkan studinya untuk menjaga sang ayah bersama sang ibu di rumah sakit. 

Sampai hari-hari terakhir sebelum ayahnya wafat, Anjani diminta untuk berhenti kuliah lantaran satu-satunya tulang punggung keluarga telah kolaps dan tak mampu membiayainya lagi.

Dalam masa-masa kritis, sang ayah ingin melihat putri semata wayangnya segera menikah.

Rupanya, ayah Anjani yang seorang pejabat di PTPN itu diam-diam telah menjodohkan anaknya dengan putra juragan tambak udang. Meski berat hati, Anjani menerima perjodohan itu. Tak lama setelah Anjani dinikahkan, ayahnya meninggal dunia. Saat itu aku mendengar kabar duka tersebut dan sempat mengucapkan belasungkawa lewat pesan Facebook.

“Lantas, bagaimana dengan gosip miring tentang dirimu?” tanyaku berhati-hati.

“Ahhh… seperti tak tahu watak orang-orang udik di kampung kita. Mereka yang tak punya banyak kegiatan, apalagi yang bisa dilakukan kalau tak ngerumpi dan menggunjingkan orang lain? Terutama ibu-ibu yang hanya nganggur di rumah mengandalkan kiriman uang dari suaminya yang melaut, pasti kerjanya setiap hari bikin gosip saja, pagi sampai sore.”

“Bapakku ketika jadi orang kaya dikira ngepet, ia meninggal dunia pun disangka jadi tumbal pesugihan, aku kawin dikata hamil di luar nikah saat masih kuliah. Muak juga sebenarnya aku, No.”

“Benar kata orang kalau mulut tetangga kadang memang pedas, bahkan beracun,” katanya dengan mata yang berkaca-kaca.

Anjani tampak begitu menggebu-gebu mencurahkan isi hatinya. Ia seperti orang tak pernah meluapkan perasaannya yang lama terpendam. Wanita berbulu mata lentik itu juga menceritakan bahwa setelah ayahnya meninggal, giliran kesehatan ibunya yang kian memburuk.

Hanya selang beberapa bulan setelah sang ayah meninggal, Anjani harus kehilangan pelita paling berharga dan satu-satunya di dunia. Sang ibu berpulang sebelum sempat melihat cucu pertamanya lahir.

Setelah kawin, rumah tangga Anjani ternyata tak berjalan mulus. Badai musibah dan masalah bertubi-tubi menghantamnya. Suami yang menikahinya lewat jalur perjodohan itu ternyata seorang penjudi berat, pemabuk, dan sangat temperamental. 

Lelaki muda anak sang juragan udang itu tak siap menjadi seorang bapak.

Ia bahkan lebih sering marah-marah ketika mengetahui Anjani hamil anak kedua. Akibatnya bisa dibayangkan, wanita yang pernah aku taksir ketika remaja itu menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga.

“Tidak ada pilihan lain selain cerai. Ini soal harga diri dan kehormatanku sebagai seorang wanita, sebagai seorang ibu. Sebelum dia mengawiniku, aku dibesarkan dengan cinta kasih oleh bapak dan ibuku, diperlakukan dengan sangat baik dan tak pernah dibentak sekalipun. Kesabaranku telah habis, No!”

“Memang saat itu aku sudah tidak punya sandaran siapa-siapa, tetapi aku punya dua anak yang aku yakin masih bisa ku besarkan sendirian. Aku muda, punya rumah, dan masih bisa bekerja. Menjadi janda dengan dua anak di usia muda, itu jauh lebih baik dan terhormat ketimbang hidup bersama lelaki tak tahu adab,” ungkap Anjani begitu dalam.

Mendengar cerita itu, aku tidak bisa berkata banyak. Sekali lagi, aku kembali dibuat terpukau oleh keteguhan perempuan yang sedang kutatap matanya dalam-dalam. Namun, kisah Anjani di tahun-tahun berikutnya ternyata tak kalah mengiris hati lagi.

Setelah beberapa bulan melahirkan untuk yang kedua kalinya, Anjani resmi bercerai. Ia kemudian harus pontang-panting mengurus kedua anaknya yang masih kecill. Untuk menghidupi mereka, ia bekerja menjadi buruh di pabrik kerupuk dekat rumah. Beruntung, Prita dan Musa bisa dititipkan ke tempat kerabat ketika Anjani bekerja.

Sesekali, ia juga menjadi buruh cuci dan setrika di rumah orang-orang kaya. Dunianya seperti diputar balik, tetapi ia menjalani semua itu dengan tabah dan penuh semangat. Aku terus mencoba menyelami kedalaman jiwanya itu.

Semenjak Anjani menjadi janda, beberapa lelaki sering datang ke rumah. Mereka saling menawarkan simpatinya untuk mendapatkan hati Anjani.

Mereka yang datang pasti mengucapkan janji manis untuk memberikan kehidupan yang lebih layak demi masa depan Prita dan Musa…. (bersambung)

Karya Lilo

Pati, 2024

Advertising

Iklan