Otomatis
Mode Gelap
Mode Terang

Suara Kayu Sepeda Menjadi Doa Dikesunyian Perkotaan

Editor:  Fadli Tara
Reporter: Redaksi
WhatsApp LogoTemukan Nusantaraterkini.co di WhatsApp!!
Ilustrasi (Foto hanya ilustrasi bukan yang sebenarnya)

Nusantaraterkini.co - Suara kendaraan diperkotaan perlahan mulai sayup didengar. Keheningan malam kian pekat menunggu pergantian hari.

Sutarman, pria yang tinggal di pinggiran kota masih terlihat berkeliling menembus gemerlapnya lampu perkotaan. Baju kemeja polos yang digunakannya terlihat basah bukan karena embun subuh melainkan keringat lantaran sepeda tua miliknya menjadi alat satu-satunya untuk mencari nafkah.

Setiap kayu sepedanya, ada harapan untuk menyambung hidup ia dan kedua cucu perempuannya. Sesekali ia berhenti mengayun sepeda tuanya, untuk beristirahat.

Ia pun terlihat membuka bungkusan plastik hitam yang diikat di boncengan besi belakang sepedanya. Ia pun mengeluarkan sebotol air minuman yang dibawanya dari rumah.

Sembari mengusap keringat yang bercucuran, Sutarman pun melihat kondisi sepedanya yang mengeluarkan bunyi setiap dikayuh. Ya, hal tersebut lantaran mimis (laher) pada pedalnya sudah minta diganti.

Pria yang kini menginjak usia 78 tahun masih terus mencari rezeki untuk dapat menghidupi keluarganya. Ia tahu usai memang tidak bisa membohongi, dirinya sudah tak se-prima dahulu.

Namun, Sutarman masih yakin kalau Tuhan tidak tidur dan mengetahui upayanya. Ia menolak meminta-minta kepada siapapun dan berusaha untuk menjual jasanya.

Di bagian depan sepeda tuanya terdapat tulisan "Jasa apa saja, dibayar seikhlasnya". Meski memasuki usai senja, Sutarman memiliki beragam keahlian mulai dari instalasi listrik, dan membersihkan pekarangan rumah.

Tak hanya itu, Sutarman sesekali juga pernah bertugas menjaga rumah orang yang bahkan ia tak mengenalnya. Namun, bagi pria berusia 78 tahun ini, lebih baik bekerja meski menyita waktu istirahatnya, dari pada hanya berdiam menunggu belas kasih tetangganya.

Tak banyak yang bisa dihasilkannya terkadang tidak membawa uang sama sekali, terkadang Rp 10-50 ribu.

Meski terkadang rezeki yang didapatkannya masih kurang untuk menghidupi ia dan kedua cucu yang dirawatnya, baginya, besaran angka yang didapatkannya hanyalah nominal.

Ia pun tak pernah lupa menyisihkan sebagian rezekinya untuk bersedekah, karena baginya setiap rezeki yang didapatnya harus tetap bisa membantu orang lain. 

Sutarman mengaku kalau ia jumpa dengan cucunya di rumah saat pagi dan siang hari. Meski ia terkadang terlalu jauh dari rumah, ia tetap berupaya untuk kembali sebelum jam 06.00 setiap harinya. Hal tersebut dilakukan Sutarman agar cucunya yang masih duduk di bangku sekolah kelas 3 dan 5 sekolah dasar bisa bangun pagi.

Sutarman selalu menyiapkan serapan dan perlengkapan sekolahnya dan mengantar kedua cucunya dengan sepeda tuanya.

Meski dirinya hanya lulusan sekolah rakyat (SD) tapi ia ingin kedua cucunya menjadi orang yang berguna bagi bangsa. Maka segala upaya dilakukannya untuk kedua cucunya mendapat pendidikan yang baik.

Sutarman mengaku bahwa ia membesarkan kedua cucunya semenjak anak dan menantunya mengalami kecelakaan hingga merenggut nyawa. 

Sementara istrinya sudah lama menghadap ilahi. Bagi Sutarman, kedua cucunya merupakan semangat hingga warna dihidupnya. Maka segala upaya dilakukannya bahkan mempertaruhkan waktu istirahat demi mencari rezeki.

2 sampai 3 jam, waktu tidur sudah begitu berarti bagi Sutarman. Musalah maupun masjid menjadi tempat istirahat ternyaman baginya. Bahkan Sutarman ingin kalau Tuhan mencabut nyawanya dan dia dalam keadaan sujud.

Meski waktu sudah menunjukkan pukul 02.00, Sutarman mengaku kalau dirinya sudah mendapat rezeki Rp 15 ribu. Uang tersebut didapatkannya saat ia membantu pedagang yang sedang berbenah menutup dagangannya. Baginya Rp 15 ribu sudah sangat berarti, dapat membeli beras dan telur.

"Sudah ada rezeki hari ini. Alhamdulillah. Ini sedang mencari masjid untuk salat malam dan kembali ke rumah," katanya sembari tersenyum. 

Malam yang kian larut, udara yang semakin dingin, menjadi saksi bisu perjuangan Sutarman untuk menafkahi keluarganya.

Baginya setiap kayuhan sepedanya menjadi doa dan langkahnya menuju surga. Ia pun kembali melanjutkan perjalanan menembus gemerlapnya kota.

(Fadli Tara)

Advertising

Iklan