Otomatis
Mode Gelap
Mode Terang

Permasalahan Pendidikan Inklusif, HWDI Soroti Kesenjangan dan Kebutuhan Nyata bagi Disabilitas

Editor:  Feriansyah Nasution
Reporter: Elvirida Lady Angel Purba
WhatsApp LogoTemukan Nusantaraterkini.co di WhatsApp!!
Pendiri Yayasan Pendidikan Dwituna Harapan Baru yang juga Pengurus Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI), Marilyn Lie. (Foto: Elvirida Lady Angel Purba/Nusantaraterkini.co)

Nusantaraterkini.co, MEDAN - Rencana integrasi Sekolah Luar Biasa (SLB) ke dalam sistem pendidikan umum semakin mendapat sorotan publik, terutama dari kalangan pegiat disabilitas.

Pendiri Yayasan Pendidikan Dwituna Harapan Baru yang juga Pengurus Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI), Marilyn Lie, mengkritisi rencana tersebut karena dinilai masih memerlukan penyesuaian dengan realitas kebutuhan di lapangan. 

Menurut Marilyn, SLB di masa depan hanya akan dikhususkan bagi anak-anak dengan disabilitas berat ganda, sementara anak-anak dengan disabilitas tunggal diarahkan ke sekolah umum. 

Marilyn menjelaskan bahwa untuk mengoptimalkan pendidikan inklusif, dibutuhkan dukungan Unit Layanan Disabilitas (ULD) di setiap sekolah umum. ULD berperan penting untuk memastikan bahwa kebutuhan siswa disabilitas terpenuhi, baik dari segi sarana prasarana, layanan konseling, hingga kurikulum yang disesuaikan.

“Teman-teman disabilitas memiliki kehidupan yang sempit karena kurangnya akses dan kesempatan merasakan hal-hal yang biasa dialami orang lain,” ungkap Marilyn kepada Nusantaraterkini.co, Kamis (31/10/2024). 

Ia mencontohkan betapa sederhana namun pentingnya pengalaman belajar yang dirasakan oleh seorang muridnya saat mereka melakukan perjalanan edukatif ke Tangkahan, di mana murid tersebut dapat langsung menyentuh gajah. 

“Murid saya itu berpikir gajah itu kecil seperti rumput tandus. Bayangkan betapa sempitnya persepsi mereka jika tidak ada kesempatan merasakan sendiri seperti ini, padahal risiko bahaya tetap ada,” ujarnya.

Marilyn menekankan pentingnya pendekatan berbasis pengalaman nyata dalam pendidikan disabilitas. Menurutnya, pendidikan inklusif bukan hanya sebatas mempelajari braille atau bahasa isyarat, tetapi bagaimana memperkaya pengalaman hidup penyandang disabilitas agar bisa merasakan hal-hal yang umum bagi orang lain. 

"Kita harus memberi mereka kesempatan untuk merasakan apa yang kita rasakan, walaupun tidak sama. Dengan begitu, mereka bisa memperluas pemahaman dan wawasan mereka,” tegasnya. 

Marilyn juga menambahkan bahwa anak-anak disabilitas, terutama yang memiliki IQ di atas rata-rata, sebaiknya berada di sekolah umum dengan fasilitas pendukung daripada ditempatkan di SLB.

Ia mengungkapkan keprihatinannya melihat anak-anak tuli, yang sebenarnya bisa terbantu dengan alat bantu pendengaran, harus belajar di SLB. 

"SLB itu seharusnya hanya untuk permulaan belajar menulis braille, memahami bahasa isyarat, serta membaca gerak bibir. Belajar abjad itu bahkan sebaiknya opsional, langsung saja pakai nama asli mereka tanpa perlu mengikuti pola umum seperti nama saya Budi," paparnya.

Dalam pandangan Marilyn, mengajar di sekolah disabilitas memerlukan ketulusan hati lebih dari sekadar kompetensi akademis. Menurutnya, tidak ada gelar pendidikan apapun yang menjamin kesuksesan seorang guru jika mereka tidak memiliki ketulusan dalam mendidik anak-anak disabilitas. 

“Sarjana PLB atau bahkan S3 sekalipun, kalau hatinya tidak terpanggil, anak-anak ini tidak akan menerima mereka,” tegasnya. Marilyn juga percaya bahwa seorang pengajar yang tulus akan mampu menguasai berbagai pelatihan tambahan, termasuk lisensi terapis, demi mendukung kebutuhan siswa disabilitas. "Ini soal panggilan hati. Jika seseorang benar-benar merasa terpanggil, maka ia akan mampu melakukan pendekatan yang sesuai,” tambahnya.

Marilyn juga mengungkapkan tantangan terbesar dalam mengelola sekolah disabilitas, yaitu soal pendanaan dan pengaturan keuangan. Karena pendidikan di sekolah disabilitas berbeda dari sekolah umum, pengajaran lebih menekankan pada aplikasi praktis dibanding teori. Misalnya, dalam proses pembelajaran membuat es krim, siswa disabilitas perlu mempraktikkan langsung cara mengenali alat-alat seperti mixer dan timbangan. 

“Kami membiarkan mereka memegang berat 500 gram agar memahami jumlah dan takaran. Dari situ mereka juga belajar matematika,” jelas Marilyn.

Dengan pendekatan praktik langsung seperti ini, menurutnya, siswa disabilitas mendapatkan pemahaman yang lebih mendalam daripada sekadar membaca buku atau melihat gambar.

Rencana pemerintah mengintegrasikan SLB diharapkan akan mendorong pendidikan inklusif yang lebih manusiawi dan bermakna. Namun, Marilyn dan HWDI menekankan pentingnya dukungan nyata dari pemerintah agar integrasi ini tidak hanya sekadar wacana. Marilyn berharap pemerintah dapat menyediakan lebih banyak tenaga pengajar khusus, fasilitas pendukung, serta kebijakan yang lebih berpihak pada siswa disabilitas. 

“Kami sering berhadapan dengan peraturan yang kaku dari pemerintah, tetapi ketika kami meminta alternatif atau guru yang bisa dikirimkan kepada kami, jawabannya sering kali tidak tersedia. Ini seharusnya menjadi perhatian serius bagi pihak terkait,” tutupnya.

(cw9/nusantaraterkini.co)