Otomatis
Mode Gelap
Mode Terang

Pakar: Wacana Libur Sekolah saat Ramadan Perlu Didasarkan Epistemologis

Editor:  Rozie Winata
Reporter: Luki Setiawan
WhatsApp LogoTemukan Nusantaraterkini.co di WhatsApp!!
Ilustrasi siswa sekolah saat Ramadan. (Foto: dok Fajar)

Nusantaraterkini.co, JAKARTA – Ada wacana jika di era Presiden Prabowo saat memasuki bulan Ramadan yang bakal terjadi di bulan Maret mendatang sekolah akan diliburkan.

Menanggapi itu, Pakar Pendidikan Universitas Muhammadiyah Surabaya (UM Surabaya) Achmad Hidayatullah menyebut agar pemerintah tidak terburu-buru memutuskan untuk libur atau tidak.

Dayat mempertanyakan apakah kebijakan liburan selama bulan puasa ini didasarkan pada justifikasi epistemologis yang kuat tentang kebutuhan masyarakat.

“Jika kebijakan ini diambil berdasarkan asumsi bahwa fokus, produktivitas, dan motivasi akan menurun selama bulan puasa, tentu kebijakan tersebut tidak memiliki landasan epistemologis yang kuat,” katanya, Kamis (2/1/2025).

Dayat menyebutkan, pemerintah seolah memiliki believe atau keyakinan tentang pengetahuan dualistik bahwa bulan puasa adalah waktu ibadah, sedangkan pendidikan dianggap tidak mendorong kegiatan ibadah selama bulan Ramadan.

Menurutnya, pendidikan yang telah dilaksanakan selama ini telah mendorong kesatuan keduanya. Bahwa aktivitas pendidikan juga mendorong siswa untuk beribadah, dalam profil pelajar pancasila, karakter yang ingin diintegrasikan dalam pelajaran juga memuat nilai-nilai agama, bahkan program baru Mendikdasmen yang memuat 7 kebiasaan anak hebat ini memuat tentang ibadah.

“Artinya, pemerintah tidak perlu memisahkan antara ibadah dan pendidikan. Seolah Ramadan menjadi waktu untuk belajar agama dan sekolah diliburkan. Penguatan nilai keagamaan tanpa meliburkan sekolah justru akan lebih baik,” terangnya.

Lebih lanjut lagi, kata Dayat asumsi bahwa masuk sekolah saat Ramadan dapat mengurangi fokus siswa untuk belajar agama tidak disandarkan pada bukti rasio dan empiris yang kuat.

“Belum ada bukti ilmiah bahwa masuk sekolah selama Ramadan menurunkan motivasi dan fokus belajar untuk belajar agama,” tegasnya.

Ia menjelaskan, dalam social cognitive theory sebagaimana diusulkan oleh Bandura, lingkungan seperti sekolah dan guru merupakan faktor yang membentuk perilaku dan kemampuan siswa.

Dengan kebijakan liburan penuh selama bulan puasa, lingkungan pendidikan akan menjadi lebih pasif dan tidak menjadi ruang stimulus untuk membentuk perilaku dan kemampuan siswa.

Bahkan bisa jadi kebijakan libur penuh tersebut dapat melemahkan self-efficacy/ kepercayaan diri siswa terhadap kemampuan untuk menjadi produktif atau belajar selama puasa yang melibatkan tantangan fisik seperti rasa haus dan lapar.

“Justru yang perlu dipikirkan bersama, dan saya juga yakin jadi khawatiran orang tua selama Ramadan, jika sekolah, libur penuh, siswa lebih banyak bermain hp yang justru menurut studi empiris menciptakan perasaan cemas dan kesendirian,” katanya.

Era kebijakan libur sekolah masa presiden Gus Dur tidak bisa dijadikan acuan, karena zaman sekarang sudah berubah dengan kehadiran teknologi digital.

“Dengan sekolah tetap berlangsung maka siswa akan lebih terarah untuk belajar dan beribadah daripada waktu mereka libur dan banyak waktu kosong, jiwa mereka terenggut dunia digital,” pungkasnya.

Sedangkan, Pengamat pendidikan dari Universitas Negeri Semarang (Unnes) Edi Subkhan menilai pemerintah perlu memperhatikan beberapa hal jika memberlakukan libur sekolah selama puasa Ramadan. Catatan pertama dari Edi adalah mengenai keragaman latar belakang siswa.

“Pertanyaannya, jika libur satu bulan penuh, agenda yang paling mungkin dijalankan adalah semacam pesantren kilat bagi siswa-siswi muslim. Namun bagaimana dengan yang non-muslim?” kata Edi.

Menurut Edi, semangat dari momentum Ramadan hanya akan dirasakan oleh siswa-siswi muslim. Sehingga, kata dia, jangan sampai kebijakan ini memicu ketidaknyamanan bagi siswa-siswi beragama lain.

Kedua, Edi menilai wacana libur ini harus dilengkapi dengan perencanaan kurikulum. Sebab, kata dia, perlu dipikirkan pembelajaran mata pelajaran lain apabila selama selama satu bulan itu yang difokuskan adalah pendidikan agama. Apabila selama satu bulan itu yang dipelajari adalah pendidikan agama, Edi menilai perlu kebijakan yang memayunginya.

“Di bulan Ramadan, misalnya, fokusnya pembelajaran agama Islam, sementara bulan lainnya tidak perlu. Atau juga bisa dibagi, misalnya, sebagian besar topik (agama) dijalankan di bulan puasa, lalu topik lainnya disebar di bulan lain secara tipis-tipis,” kata Edi.

Dikaji dengan Matang

Sementara itu, Komisi X DPR meminta wacana libur sekolah saat bulan ramadan itu dirancang secara inklusif sebelum diterapkan.

"Wacana meliburkan anak sekolah selama satu bulan saat bulan puasa memiliki potensi dampak positif dan negatif yang perlu dipertimbangkan secara matang," kata Ketua Komisi X DPR Hetifah Sjaifudian.

Hetifah memaparkan dampak positif jika keputusan ini diterapkan. Dia menyebut libur selama sebulan Ramadan itu memberikan ruang bagi siswa muslim untuk fokus menjalankan ibadah puasa dan aktivitas agama tanpa terganggu aktivitas sekolah.

"Mereka juga bisa memanfaatkan waktu untuk belajar agama lebih mendalam, mengikuti kegiatan sosial keagamaan di komunitas, atau mempererat hubungan keluarga," tutur dia.

Hetifah menilai, libur panjang selama sebulan ini tentu akan berdampak pada kalender pendidikan. Sehingga, kata dia, perlu dipertimbangkan mengenai hal ini.

"Di sisi lain, libur panjang dapat mengganggu kalender pendidikan, terutama dalam menyelesaikan kurikulum yang telah ditetapkan. Jika tidak ada solusi kompensasi yang tepat, seperti perpanjangan jam pelajaran atau tahun ajaran, siswa mungkin akan kesulitan mengejar ketertinggalan," tutur dia.

Lebih lanjut, Hetifah menilai kebijakan libur penuh saat Ramadan ini cenderung lebih relevan untuk siswa muslim. Sebab, kata dia, bulan Ramadan memiliki nilai religius dan spiritual yang signifikan bagi mereka.

"Namun, siswa non-Muslim mungkin tidak merasakan manfaat langsung, sehingga perlu dipertimbangkan dampaknya terhadap mereka, agar inklusifitas dan kesetaraan dalam sistem pendidikan tetap terjaga. Bagi siswa non-Muslim, libur penuh selama Ramadan bisa menjadi waktu kosong yang tidak produktif, terutama jika mereka tidak memiliki kegiatan alternatif yang dirancang khusus," jelas dia.

"Di sisi lain, libur panjang dapat mengganggu kalender pendidikan, terutama dalam menyelesaikan kurikulum yang telah ditetapkan. Jika tidak ada solusi kompensasi yang tepat, seperti perpanjangan jam pelajaran atau tahun ajaran, siswa mungkin akan kesulitan mengejar ketertinggalan," tutur dia.

Lebih lanjut, Hetifah menilai kebijakan libur penuh saat Ramadan ini cenderung lebih relevan untuk siswa muslim. Sebab, kata dia, bulan Ramadan memiliki nilai religius dan spiritual yang signifikan bagi mereka.

"Namun, siswa non-Muslim mungkin tidak merasakan manfaat langsung, sehingga perlu dipertimbangkan dampaknya terhadap mereka, agar inklusifitas dan kesetaraan dalam sistem pendidikan tetap terjaga. Bagi siswa non-Muslim, libur penuh selama Ramadan bisa menjadi waktu kosong yang tidak produktif, terutama jika mereka tidak memiliki kegiatan alternatif yang dirancang khusus," jelas dia.

Hatifah kemudian menyarankan untuk mengatasi potensi ketimpangan ini, sekolah atau pemerintah dapat menyediakan kegiatan opsional bagi siswa non-Muslim selama Ramadan. Program itu di antaranya pendidikan tambahan hingga kegiatan seni.

"Misalnya, program pendidikan tambahan, kegiatan seni, atau olahraga yang tetap berjalan untuk mereka yang tidak menjalankan puasa. Dengan begitu, waktu mereka tetap dimanfaatkan dengan baik, tanpa harus mengganggu kebijakan libur untuk siswa muslim," ucap dia.

Hetifah berharap agar kebijakan libur sebulan saat Ramadan ini dipertimbangkan secara matang. Sehingga, harapnya, tidak ada siswa yang dirugikan.

"Pada dasarnya, kebijakan semacam ini harus dirancang secara inklusif, mempertimbangkan kebutuhan seluruh siswa, dan memastikan bahwa tidak ada kelompok yang merasa diabaikan atau dirugikan," pungkasnya.

Adanya wacana sekolah diliburkan selama Ramadan diungkap Wakil Menteri Agama Muhammad Syafi’i. “Sudah ada wacana,” kata Syafi’i. Namun, menurut dia, wacana ini belum dibahas lebih lanjut di dalam Kementerian Agama.

Sementara itu, Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Abdul Mu’ti mengatakan kementeriannya belum melakukan pembahasan mengenai libur selama puasa. “Sekarang kami belum melakukan pembahasan mengenai libur Ramadan, yang saya kira di Kementerian Agama juga masih menjadi wacana juga, dan belum menjadi keputusan,” kata Mu’ti kepada awak media di Kantor Kemendikdasmen, Jakarta Pusat, Selasa, 31 Desember 2024.

Menurut Mu’ti, jika ada keputusan mengenai diterapkannya libur selama bulan puasa, maka itu harus menjadi keputusan bersama dari lintas kementerian.

Libur sekolah selama bulan puasa pernah diberlakukan di masa pemerintahan Presiden ke-4 Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, tepatnya pada Ramadan 1999. Selain meliburkan sekolah selama sebulan penuh, Gus Dur juga mengimbau sekolah-sekolah membuat kegiatan pesantren kilat. Tujuannya, agar para siswa dapat lebih fokus untuk belajar agama Islam. Selain itu, sekolah juga meminta siswanya untuk melaporkan kegiatan ibadah selama Ramadan, seperti tadarus hingga tarawih.

Selama ini, pada awal puasa Ramadan umumnya siswa akan mendapat libur selama tiga hari pertama puasa. Libur awal puasa untuk anak sekolah diatur oleh Dinas Pendidikan dan kebijakan masing-masing sekolah. Sementara itu, berdasarkan Surat Keputusan Bersama atau SKB 3 Menteri, pada 2025 mendatang akan ada 27 hari libur. Hari libur itu terdiri dari 17 hari untuk tanggal merah atau libur nasional dan 10 hari untuk libur cuti bersama. Namun, tidak tercantum adanya libur puasa Ramadan 2025.

Merujuk Kalender Hijriyah Global Tunggal 1446 H Muhammadiyah, 1 Ramadhan 1446 Hijriah atau awal puasa Ramadan diperkirakan akan jatuh pada Sabtu, 1 Maret 2025. Sementara itu, berdasarkan SKB 3 Menteri, 1 Syawal 1446 H atau Idulfitri 2025 diperkirakan akan jatuh pada Senin, 31 Maret 2025.

(cw1/Nusantaraterkini.co)