Nusantaraterkini.co, JAKARTA - Perilaku hidup sehat dengan menjalankan protokol kesehatan selama pandemi Covid-19 diharapkan dapat memberikan pengalaman dan pembelajaran berharga bagi masyarakat Indonesia.
Kebiasaan rajin mencuci tangan dan memakai masker saat batuk atau flu sebaiknya diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, dan bukan hanya saat pandemi.
Meskipun Covid-19 telah menjadi endemi, bukan berarti penyakit ini hilang sepenuhnya. Virus SARS-CoV-2 penyebab Covid-19 terus bermutasi sehingga masih memungkinkan seseorang terpapar dan sakit.
Ketua Komisi Nasional Pengkajian dan Penanggulangan Kejadian Ikutan Pasca-Imunisasi (Komnas PP KIPI) Prof Dr dr Hinky Hindra Irawan Satari, MHK-IM mengimbau masyarakat untuk tetap waspada. Sebab, kasus Covid-19 masih terjadi pada masa endemi.
“Setelah pandemi berakhir, kita jadi endemi. Ada terus (yang sakit Covid-19), tapi kasusnya tidak banyak dan gejalanya tidak berat. Makanya, tetap waspada, jangan menurunkan kewaspadaan,” pesannya dilansir dari laman Kemenkes, Minggu (9/6/2024).
“Tetap rajin cuci tangan, pakai masker kalau batuk atau orang yang batuk harus pakai masker. Jangan terlalu lama di tempat kerumunan, jangan terlalu lama di tempat yang ventilasinya buruk. Itu protokolnya, seumur hidup mesti kita lakukan. Jangan menunggu sampai ada pandemi yang lain," sambungnya.
Prof Hinky menjelaskan, infeksi Covid-19 terjadi ketika terjadi gangguan keseimbangan pada tubuh. Proses terjadinya penyakit berawal dari interaksi antara agen penyakit (virus), manusia (host) dan lingkungan sekitarnya.
Menurutnya, vaksin bukanlah satu-satunya cara untuk mencegah Covid-19. Faktor lain yang sama pentingnya, yakni perilaku hidup sehat seperti mencuci tangan, menjaga jarak, dan memastikan sirkulasi udara yang baik.
“Itu semua ditambah vaksin. Sehingga meskipun sudah divaksinasi, tapi kalau tidak pakai masker, tidak menghindari kerumunan, ya, bisa saja kena. Kalau kita perhatikan, kita melaksanakan protokol kesehatan juga vaksinasi itu jauh lebih baik dari negara-negara lain di seluruh dunia,” katanya.
Sementara itu, hoaks seputar vaksin masih beredar luas di media sosial. Salah satunya yang mengklaim bahwa melakukan vaksinasi Covid-19 sebanyak empat kali atau lebih akan meruntuhkan sistem kekebalan tubuh.
Menurut Prof Hinky klaim tersebut tidak benar. Dia mengatakan, data menunjukkan bahwa orang-orang yang mendapatkan vaksinasi ulang justru memiliki risiko lebih rendah untuk terpapar Covid-19. Bahkan jika mereka terpapar, gejalanya biasanya ringan.
“Tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa vaksinasi ulang melemahkan sistem kekebalan tubuh,” tegasnya.
Klaim menyesatkan yang beredar di media sosial menyebutkan bahwa penerima vaksin Covid-19 mRNA akan meninggal dalam 3 atau 5 tahun. Narasi mengenai prediksi kematian akibat vaksin mRNA ini keliru atau tidak benar.
“Setelah pemberian vaksin Covid-19 dilakukan Post-Marketing Surveillance (PMS), dilihat keadaan orang yang menerima vaksin. Apabila dihitung sekarang, sudah lebih dari 3 tahun vaksin itu diberikan,” jelasnya.
“Kalau ada kematian secara masif (akibat vaksin) pasti sudah ada datanya di Post-Marketing Surveillance. Sampai saat ini, belum ada laporan di jurnal atau Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tentang kematian masif setelah 3 tahun karena vaksin mRNA, tidak ada satupun laporannya. Di Indonesia, juga tidak ada laporan seperti itu," pungkasnya.
(zie/nusantaraterkini.co)