Nusantaraterkini.co, JAKARTA - Peneliti Formappi, Lucius Karus mengatakan, sejak DPR memulai proses pembahasan revisi UU TNI pada 11 Maret 2025 lalu, terlihat ada keinginan dari Pemerintah agar RUU TNI tersebut bisa segera disahkan sebelum reses DPR pada 20 Maret.
Itu artinya, sejak awal Pemerintah menginginkan pembahasan RUU TNI hanya berlangsung 8 atau 9 hari saja atau kurang dari dua minggu.
Hal ini disampaikan Lucius merespon marathonnya pembahasan RUU TNI oleh Komisi I DPR yang baru-baru ini digelar dihari libur dan disebuah hotel berbintang di Jakarta.
Lucius melanjutkan,ancang-ancang waktu yang direncanakan ini sebenarnya sudah jelas memperlihatkan keinginan Pemerintah untuk memastikan RUU TNI tidak perlu melibatkan partisipasi publik yang bermakna.
"Bagaimana bisa dalam waktu kurang dari dua pekan, Pemerintah dan DPR berharap akan ada keterlibatan dari publik dari seantero penjuru Indonesia?," kata Lucius, Senin (17/3/2025).
"Dengan tempo yang begitu singkat jangankan masukan atau partisipasi, rencana atau substansi revisi yang sedang dibahas DPR dan Pemerintah saja mungkin belum mampu disosialisasikan ke publik? Jadi bagaimana berharap ada partisipasi, jika substansi pembahasan revisi UU TNI sendiri belum diketahui oleh publik," lanjut Lucius.
Ia berpandangan, tendensi mengabaikan pelibatan publik yang bermakna ini semakin nyata ketika tempat pembahasan Panja RUU TNI justru diadakan di hotel mewah selama dua hari.
"Semakin ketahuan deh, sesungguhnya revisi yang sedang dibahas DPR dan Pemerintah ini memang tak menginginkan masukan dari publik," ujarnya.
"Kalau DPR dan Pemerintah ingin membahas cepat-cepat dan menghindari publik, UU TNI macam apa yang akan dihasilkan?," tanya Lucius heran.
Yang jelas UU TNI yang sedang dirancang nampaknya adalah UU yang tidak menginginkan harapan publik agar amanat reformasi soal profesionalitas TNI dipertahankan. Menurut Lucius, UU TNI yang dibahas sembunyi-sembunyi dan buru-buru ini adalah UU TNI yang diinginkan Pemerintah, dan tentu TNI sendiri.
"Maka tak mengherankan jika pasal 47 yang mengatur soal lembaga non TNI yang bisa dijabat oleh aparat yang semula berjumlah 10 Kementerian/Lembaga, kini ditambah menjadi 15 lembaga. Pasal 7 ayat 2 terkaitan bidang cakupan OMSP (Operasi Militer selain Perang) yang semulah hanya mencakup 14 tugas pokok, kini diperluas menjadi 17," terang Lucius.
Jadi pilihan tempat dan waktu rapat di hotel mewah di akhir pekan dari Komisi I DPR dan Pemerintah ini jelas untuk kepentingan agar kegaduhan publik tak mengganggu mereka untuk memuluskan pasal-pasal yang ingin agar pelibatan TNI dalam Pemerintahan diperluas dari sebelumnya.
"Perluasan wilayah kerja TNI di sektor sipil nampaknya mengangkangi semangat mendorong TNI yang profesional. Bagaimana mau profesional kalau sebagian anggota TNI justru memimpikan jabatan sipil ketimbang mengasah kemampuan profesional mereka sebagai alat pertahanan negara?," tegasnya.
(cw1/nusantaraterkini.co)