Otomatis
Mode Gelap
Mode Terang

Perpanjangan Masa Jabatan Anggota DPRD tak Sesuai Prinsip Demokrasi

Editor:  Feriansyah Nasution
Reporter: Luki Setiawan
WhatsApp LogoTemukan Nusantaraterkini.co di WhatsApp!!
Anggota DPR RI Firman Soebagyo foto (Foto: Instagram @firmansoebagyo)

Nusantaraterkini.co, JAKARTA - Anggota DPR RI Firman Soebagyo angkat bicara perihal putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memperpanjang masa jabatan DPRD yang memisahkan pemilu nasional dengan daerah yang dianggap telah menimbulkan perdebatan dan kontroversi. 

Baca Juga: Masa Jabatan Anggota DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota Berpeluang Ditambah 2,5 Tahun

Politikus senior Golkar ini menuturkan, dari segi dasar hukum argumen bahwa perpanjangan masa jabatan DPRD tidak memiliki dasar hukum yang kuat karena anggota DPRD dipilih langsung oleh rakyat melalui pemilu secara langsung dan dicalonkan melalui partai politik. 

"Tentunya hal ini dapat menimbulkan pertanyaan tentang legitimasi perpanjangan masa jabatan tersebut," kata Firman, Senin (30/6/2025).

Disisi lain, Firman yang juga legislator Dapil Jateng III ini menjelaskan, perpanjangan masa jabatan anggota DPRD dapat dianggap tidak sesuai dengan prinsip demokrasi yang menghendaki adanya pemilihan langsung dan berkala untuk memastikan bahwa wakil rakyat yang dipilih benar-benar mewakili kepentingan rakyat.

"Perpanjangan masa jabatan anggota DPRD dapat mempengaruhi keterwakilan rakyat, karena anggota DPRD yang dipilih langsung oleh rakyat mungkin tidak lagi mewakili kepentingan rakyat yang berubah-ubah selama masa jabatan yang diperpanjang," ujar anggota Baleg DPR ini.

Namun, Firman yang juga Wakil Ketua Fraksi Golkar di MPR ini mengingatkan bahwa putusan MK memiliki kekuatan hukum yang mengikat, dan perlu dilakukan analisis lebih lanjut tentang implikasi dan dampaknya terhadap sistem demokrasi dan keterwakilan rakyat di Indonesia.

Sementara itu, Koordinator Komite Pemilih Indonesia (KPI), Jeirry Sumampow, tawarkan sejumlah skema untuk menyikapi perpanjangan masa jabatan Anggota DPRD.

Ia berharap, skema yang diisampaikan bisa menjaga transisi tetap berada dalam koridor konstitusional dan demokratis serta tidak menjadi presedan buruk ke depan.

“Ada beberapa formula atau skenario dapat dipertimbangkan, pertama perpanjangan jabatan DPRD sebagai transisi sekali saja (One-Time Exception),” ucap Jeirry.

Jeirry menuturkan, masa jabatan DPRD hasil Pemilu 2024 dapat diperpanjang secara khusus hingga 2031 hanya untuk satu kali periode, sebagai bagian dari penyesuaian menuju jadwal pemilu daerah atua pemilu lokal serentak.

“Namun perpanjangan dalam kerangka ini tentu harus mempertimbangkan beberapa hal, yaitu diatur secara eksplisit dalam undang-undang, ditegaskan sebagai transisi sistemik, bukan norma baru, dan tidak dijadikan preseden permanen,” ujarnya.

Kemudian skema yang kedua, lanjut Jeirry, adalah tentang amandemen terbatas terhadap UUD 1945 atau Penegasan Tafsir MK.

“Jika ketegangan konstitusional ini ingin diakhiri secara tuntas, maka dapat ditempuh juga opsi berikut, amandemen terbatas terhadap Pasal 18 UUD 1945 untuk memberi ruang pengecualian dalam masa transisi sistem pemilu,” ucap dia.

“Atau penegasan melalui tafsir lanjutan MK bahwa ketentuan masa jabatan dalam Pasal 18 dapat dilenturkan untuk satu kali transisi sistemik,” sambungnya.

Selanjutnya dalam perpanjangan atau pemendekan masa jabatan tanpa pemilu harus dijaga ketat dalam kerangka legitimasi rakyat.

“Karena itu, seluruh proses transisi ini harus dilandasi oleh undang-undang yang jelas, melibatkan partisipasi publik yang luas, dan menghindari kesan bahwa perubahan ini dimanfaatkan untuk kepentingan politik jangka pendek,” jelas Jeirry.

Mengingat dengan desain baru pemisahan Pemilu Nasional dan Lokal yang dijadwalkan pada 2029 dan 2031, Indonesia memasuki fase penting dalam menata ulang sistem kepemiluan yang lebih efisien dan demokratis.

“Keberhasilan desain ini bergantung pada komitmen semua pihak untuk menjaga konstitusionalitas, menghormati prinsip kedaulatan rakyat, dan menghindari tafsir hukum yang oportunistik,” ujar Jeirry.

“Oleh karena itu, kami mendorong agar setiap langkah transisi dilakukan secara terbuka, legal, dan akuntabel agar reformasi pemilu tidak justru menggerus legitimasi demokrasi itu sendiri,” lanjutnya.

Baca Juga: Industri Rokok Didorong Jadi Pilar Penunjang Ekonomi Nasional

Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan memisahkan pemilu nasional dengan pemilu daerah atau lokal. MK mengusulkan pemungutan suara nasional dipisah dan diberi jarak paling lama 2 tahun 6 bulan dengan pemilihan tingkat daerah.

"Menyatakan Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 57, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5678) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang ke depan tidak dimaknai," ujar Ketua MK Suhartoyo mengucapkan Amar Putusan.

(cw1/nusantaraterkini.co)

Advertising

Iklan