Otomatis
Mode Gelap
Mode Terang

Kasus Siswa yang Dihukum Belajar di Lantai Bentuk Dehumanisasi

Editor:  Feriansyah Nasution
Reporter: Junaidin Zai
WhatsApp LogoTemukan Nusantaraterkini.co di WhatsApp!!
Siswa SD yang dihukum belajar di lantai oleh gurunya lantaran tunggak SPP. (Dok.Tangkapan Layar)

Nusantaraterkini.co, MEDAN - Fenomena ruang pendidikan di Medan, terkait kasus siswa SD yang dihukum gurunya belajar dilantai karena menunggak biaya SPP, sangat banyak menuai kritikan, baik secara kelembagaan dan individu.

Baca Juga: Ombudsman Sumut Minta Disdikbud Medan Perhatikan Psikis Siswa yang Dihukum Belajar di Lantai

Ahmad Sayyidulhaq Arabbani Lubis, seorang mahasiswa magister Sosoilogi Universitas Sumatera Utara (USU) dan juga seorang penulis, memandang kasus itu sebagai bentuk dehumanisasi atau tindakan yang merendahkan manusia.

"Tindakan itu menunjukkan bagaimana pendidikan seringkali menjadi instrumen yang mereproduksi ketidakadilan sosial, alih-alih menjadi alat emansipatoris dan membebaskan," ucap Sayid kepada Nusantaraterkini.co, Selasa (14/1/2025).

Menurutnya, tenaga pendidik dalam hal ini guru dan Sekolah, justru harus lebih mempertajam kepekaannya. Mereka, harus lebih berempati dan memahami bagaimana kondisi dan situasi latar belakang para siswa.

Dalam wacana yang lebih serius, ruang pendidikan saat ini semakin tercederai. Dari kasus itu, ucap Sayid, mencerminkan wajah pendidikan di Indonesia yang semakin jauh dari esensinya.

"Pendidikan yang seharusnya menjadi hak dasar setiap individu telah terkomodifikasi menjadi barang dagang. Narasi besar tentang pendidikan gratis 12 tahun yang terus digaungkan oleh pemerintah, hanya omong kosong," ucapnya.

Hukuman yang diberikan kepada siswa karena tidak mampu membayar SPP, sebagai bukti nyata bahwa pendidikan telah bergeser menjadi arena transaksi jual-beli. Bukan lagi berdasarkan prinsip pemerataan akses antara yang miskin-menengah dengan yang kaya.

"Kasus ini hanyalah salah satu dari sekian banyaknya permasalahan pendidikan di Indonesia, kita melihat fakta bahwa banyak anak Indonesia yang harus berhenti sekolah atau diskriminasi karena alasan ekonomi," tuturnya.

Lebih lanjut, orientasi institusi pendidikan terhadap profit, katanya, telah menggeser tujuan utama pendidikan, yakni sebagai ruang untuk mencetak manusia yang merdeka dan bermartabat.

"Realitas ini juga, semakin diperparah dengan kurangnya regulasi pemerintah di tingkat lokal yaitu Medan hingga nasional yang tegas dalam mengawasi praktik komersialisasi pendidikan, dari tingkat sekolah dasar hingga perguruan tinggi," ucap Sayyid.

Perlu diketahui, komersialisasi di dunia pendidikan merupakan penghalang besar bagi masyarakat untuk keluar dari lingkaran kemiskinan, dan pada sisi lain sebagai bukti bahwa kemiskinan adalah persoalan struktural yang diciptakan.

Pendidikan yang tidak dapat diakses oleh semua kalangan, akan memperparah kesenjangan sosial, dan mobilitas sosial akan semakin sulit dicapai. Kondisi ini menunjukkan ketidakseriusan pemerintah dalam menempatkan pendidikan sebagai prioritas pembangunan.

Baca Juga: Komunal Resmi Adukan Oknum Pejabat Diskanla Sumut, Masukkan Bukti-bukti A1 terkait Pungli Izin Kapal

Jika pemerintah terus membiarkan komersialisasi pendidikan tanpa adany intervensi, maka semakin banyak anak-anak yang akan kehilangan kesempatan untuk belajar, dan cita-cita bangsa semakin jauh dari kenyataan.

"Permasalahan pendidikan ini tidak dapat dijawab dengan sudut pandang negara yang membantu masyarakatnya, negara haruslah bertanggungjawab penuh atas permasalahan ini," pungkasnya.

(cw7/nusantaraterkini.co)

Advertising

Iklan