nusantaraterkini.co, MEDAN - State Capture merupakan fenomena sistemik di mana kebijakan publik, regulasi, dan institusi negara secara diam-diam atau terang-terangan dikendalikan oleh kepentingan segelintir elit politik, oligarki ekonomi, atau kelompok berkepentingan tertentu. Dalam kondisi ini, negara yang seharusnya menjadi entitas yang netral dan berfungsi untuk melayani kepentingan publik secara luas, justru bertransformasi menjadi instrumen yang melayani kepentingan pribadi, keluarga atau kelompok dominan.
Konsep State Capture pertama kali diperkenalkan oleh Bank Dunia (World Bank) pada awal tahun 2000-an melalui laporan mereka yang berjudul "Anticorruption in Transition: A Contribution to the Policy Debate". Laporan ini dirilis dalam konteks studi mengenai negara-negara transisi di Eropa Timur dan Asia Tengah pasca-runtuhnya Uni Soviet.
Dalam laporan tersebut, Bank Dunia mendefinisikan State Capture sebagai fenomena di mana kelompok elit atau individu berpengaruh mampu mempengaruhi pembentukan kebijakan, hukum, dan peraturan negara demi kepentingan pribadi atau kelompok mereka. Konsep ini dikaitkan dengan korupsi politik yang sistematis, di mana kekuatan ekonomi digunakan untuk menguasai proses pembuatan kebijakan publik.
State Capture di Indonesia
Joel S. Hellman ekonom dari World Bank, adalah aktor penting salah satu peneliti utama yang pertama kali mendokumentasikan fenomena ini. Hellman berfokus pada perilaku oligarki ekonomi di negara-negara transisi mampu mendikte kebijakan publik melalui infiltrasi kekuasaan politik. Menurut Hellman, negara-negara yang sedang mengalami transisi demokrasi atau negara yang system demokrasinya belum kuat dan mapan, sangat rentan terhadap State Capture, karena lemahnya institusi negara, pengawasan dan maraknya praktik korupsi politik.
Tokoh lainnya seperti Daniel Kaufman seorang ekonom terkemuka yang juga bekerja di Bank Dunia, mengindikasikan fenomena State Capture ada pada pemerintahan yang tidak transparan, tidak jujur, suka memberi informasi ke publik yang manipulatif. Beliau menekankan pentingnya Governance yang transparan dan jujur.
Jeffrey Winters (2011) dalam bukunya “Oligarchy”, Indonesia telah terjebak dalam perangkap perilaku oligarkhi yang kuat, di mana segelintir elite ekonomi memiliki kekuasaan untuk mempengaruhi kebijakan publik melalui modal ekonomi dan akses politik. Hal ini tampak dari keterkaitan antara elite bisnis dan kekuasaan politik yang kerap kali menjadi aktor utama dalam pembuatan kebijakan dan regulasi strategis, khususnya yang berdampak pada ekonomi sumber daya alam, energi, dan pembangunan infrastruktur. Praktik "patronase politik" dan "rent-seeking behavior" oleh elite ekonomi dan politik memperkuat indikasi adanya potensi State Capture.
Indonesia menghadapi ancaman korupsi sistemik yang menjelma dalam bentuk korupsi kebijakan, di mana regulasi disusun untuk menguntungkan pemilik modal, bukan kepentingan rakyat. Kasus reklamasi pantai, kebijakan tambang, dan konsesi sumber daya alam menjadi bukti bahwa kebijakan publik sering kali tunduk pada kepentingan ekonomi-politik oligarki, mengorbankan keadilan sosial dan keberlanjutan lingkungan. Fenomena ini menempatkan Indonesia di ambang State Capture, di mana negara berisiko menjadi alat akumulasi kekayaan segelintir elit, bukan penjaga kesejahteraan rakyat. Reformasi struktural yang transparan dan akuntabel adalah kunci untuk memutus rantai korupsi ini.
State Capture di Institusi Hukum
Dalam beberapa tahun terakhir, independensi lembaga penegak hukum dan pengawas di Indonesia semakin diragukan kemandiriannya. Isu intervensi dan pelemahan terhadap KPK mencerminkan upaya sistematis untuk mereduksi efektivitas pemberantasan korupsi. Di sisi lain, munculnya politisasi institusi Polri, yang merambah ke ranah politik elektoral, mengkaburkan batas antara penegakan hukum dan kepentingan politik praktis.
Independensi Mahkamah Konstitusi kini berada dalam titik yang mengkhawatirkan, di tengah indikasi kuat telah terperangkap dalam jebakan State Capture demi kepentingan politik kekuasaan. Lembaga yang seharusnya menjadi penjaga konstitusi dan pilar keadilan justru menghadapi erosi kepercayaan publik akibat potensi intervensi elite politik. Di sisi lain, Mahkamah Agung turut terimbas oleh pola serupa, memperlihatkan kerentanan terhadap pengaruh oligarki yang mengaburkan prinsip supremasi hukum. Fenomena ini mengancam integritas peradilan dan menegaskan bahwa State Capture telah merasuk hingga ke lembaga yudikatif, menempatkan hukum sebagai instrumen kekuasaan, bukan sebagai penjaga keadilan dan kepentingan rakyat.
Sementara itu, penguasaan media dan opini publik oleh kepentingan oligarki telah menciptakan distorsi dalam proses demokrasi, menghambat ruang kritik yang sehat dan membentuk persepsi publik sesuai agenda elite penguasa. Kondisi ini menandai krisis serius dalam tata kelola hukum dan demokrasi, yang jika dibiarkan, akan melemahkan fondasi negara hukum dan kepercayaan publik.
Ancaman Demokrasi Menjadi Kosong
Daniel Kaufmann mengatakan “In a captured state, democratic processes are hollowed out, as policymaking no longer reflects the will of the people but serves the narrow interests of oligarchs. Legal institutions lose their independence, turning into instruments of power rather than justice” (Dalam negara yang terperangkap State Capture, proses demokrasi menjadi kosong, karena pembuatan kebijakan tidak lagi mencerminkan kehendak rakyat, melainkan melayani kepentingan sempit para oligarki. Lembaga hukum kehilangan independensinya, berubah menjadi alat kekuasaan daripada penegak keadilan).
Keterjalinan antara kekuatan politik dan ekonomi menciptakan siklus di mana demokrasi hanya menjadi sebuah fasad, sementara integritas kelembagaan secara sistematis terkikis. Untuk menyelamatkan masa depan, mengatasi State Capture membutuhkan transparansi, institusi yang kuat, dan komitmen baru terhadap tata kelola demokratis yang memprioritaskan keadilan, kesetaraan, dan akuntabilitas publik di atas kepentingan elit.
Terdapat kaitan erat pula antara State Capture dan politik dinasti, terutama dalam konteks demokrasi yang dijadikan kedok untuk melanggengkan kepentingan keluarga atau kelompok tertentu dalam ranah politik elektoral. Fenomena ini mencerminkan bagaimana demokrasi yang seharusnya bersifat inklusif dan kompetitif justru “dibajak” untuk kepentingan segregasi kekuasaan yang menguntungkan segelintir elite politik.
Politik dinasti memungkinkan keluarga atau kelompok elite politik untuk mengendalikan lembaga-lembaga negara, baik eksekutif, legislatif, maupun yudikatif, dengan tujuan mempertahankan kekuasaan. Dalam kondisi State Capture, politik dinasti sering kali berkolaborasi dengan oligarki ekonomi untuk mempertahankan status quo. Dinasti politik dan State Capture melemahkan institusi demokrasi, seperti lembaga pengawas dan penegak hukum, melalui intervensi politik yang sistematis. Ini menciptakan impunitas bagi keluarga penguasa dan membungkam kelompok oposisi.
Penutup
Dalam pusaran State Capture dan politik dinasti, demokrasi perlahan kehilangan roh sejatinya sebagai instrumen keadilan dan kesejahteraan rakyat. Ketika hukum tunduk pada kekuasaan, kebijakan dikendalikan oleh segelintir elite, dan demokrasi hanya menjadi ilusi yang memanjakan oligarki, maka bangsa ini berdiri di tepi jurang ketidakadilan yang menganga lebar. Masa depan demokrasi hanya akan selamat jika semua pihak—pemimpin, lembaga negara, dan masyarakat—bersama-sama menjaga komitmen luhur terhadap keadilan, transparansi, dan keberpihakan pada kepentingan publik. Karena tanpa itu, demokrasi hanyalah fatamorgana di tengah padang tandus kekuasaan yang rakus
Oleh: Nasrullah (Bung Inas)
Authors and Social-Law Researchers
(Dra/nusantaraterkini.co).