Nusantaraterkini.co, JAKARTA - Wartawan istana kini tengah mengalami ketidakpuasan setelah terungkap bahwa wawancara dengan Presiden Joko Widodo, yang selama ini dikenal sebagai doorstop interview, ternyata diduga telah direkayasa oleh pihak Istana.
Hal ini memicu kontroversi dan ketidaknyamanan di kalangan jurnalis yang selama ini mengandalkan format wawancara tersebut untuk mendapatkan jawaban langsung dari Presiden Jokowi tanpa melalui filter resmi.
Doorstop interview, yang dikenal sebagai format wawancara mendadak di mana wartawan dapat langsung mengajukan pertanyaan kepada narasumber, dilansir dari akun Youtube Rocky Gerung Official, kini diduga telah diubah oleh kantor komunikasi Presiden Jokowi.
Wawancara yang seharusnya dilakukan secara spontan kini justru dilakukan oleh Aparatur Sipil Negara (ASN) di Istana dan baru kemudian hasilnya diserahkan kepada wartawan, seolah-olah itu adalah hasil wawancara langsung dengan Presiden Jokowi.
Baca Juga: Tiket Gratis PON Ludes tapi Penonton Sepi, PB PON Sumut Pastikan Tetap Tambah Jumlah Tiket
Pengamat Politik Rocky Gerung mengkritik keras perubahan ini. Menurut mereka, doorstop interview yang dahulu dikenal sebagai format yang memungkinkan interaksi langsung dan transparan kini berubah menjadi sebuah formalitas yang tidak mencerminkan keaslian komunikasi.
Mereka menilai bahwa rekayasa ini menunjukkan ketidakmampuan Presiden dalam menghadapi pertanyaan secara langsung dan menghindari pertanyaan tajam dari wartawan. Kritik lebih lanjut menyebutkan bahwa selama ini Presiden Jokowi tampak enggan menghadapi jurnalis secara langsung.
nusantaraterkini.co/uploads/images/202408/image_870x_66d1bf58c8eb5.jpg" alt="">
Ini diduga berkaitan dengan kekhawatiran tentang kemungkinan pertanyaan sulit yang dapat mengungkap kelemahan atau ketidakmampuan dalam menjelaskan kebijakan dan keputusan.
Mantan wartawan Istana Negara, Arif mengatakan bahwa saat ini para wartawan tidak lagi mendapatkan akses yang sama dengan sebelumnya, yang berdampak pada transparansi dan akuntabilitas publik.
Sebagai perbandingan, mereka juga mengacu pada kepemimpinan sebelumnya, seperti di era Presiden Soeharto, yang dianggap lebih terbuka dalam menghadapi wartawan.
Diskusi ini berlanjut dengan pertanyaan mengapa Jokowi, yang dianggap sebelumnya memiliki kemampuan komunikasi yang baik, kini memilih cara yang dianggap menghindari keterbukaan.
Rekayasa dalam wawancara ini dipandang sebagai langkah untuk menyembunyikan kekurangan dan kegagalan dalam manajemen komunikasi.
Para analis menilai bahwa kebijakan ini tidak hanya merusak reputasi Presiden Jokowi tetapi juga menciptakan kesan buruk tentang keaslian informasi yang disajikan kepada publik.
Dalam konteks pemilihan kepala daerah dan gubernur yang akan datang, diskusi ini menekankan pentingnya memilih pemimpin yang tidak hanya memiliki elektabilitas tinggi tetapi juga etika dan intelektualitas yang kuat.
Etika komunikasi yang transparan dan kemampuan intelektual yang memadai menjadi syarat penting dalam menentukan kualitas kepemimpinan.
(Akb/nusantaraterkini.co)