Otomatis
Mode Gelap
Mode Terang

Sekolah Harus Proaktif Bangun Sistem Inklusivitas Mencegah Diskriminasi dan Bullying

Editor:  Rozie Winata
Reporter: Redaksi
WhatsApp LogoTemukan Nusantaraterkini.co di WhatsApp!!
Ilustrasi. (Foto: istockphoto)

Oleh: Nova Rajagukguk & Emilia Banjarnahor

Keberagaman dalam lingkungan pendidikan merupakan modal penting untuk menciptakan masyarakat yang toleran dan inklusif. Namun, masih banyak tantangan yang harus dihadapi, salah satunya adalah kasus bullying yang terjadi karena perbedaan fisik, seperti warna kulit.

Menurut penulis, bullying bukan hanya merusak harga diri dan kesejahteraan psikologis siswa, tetapi juga mengganggu proses belajar mengajar serta perkembangan akademik dan karakter mereka. Bullying juga merusak harga diri dan kesejahteraan psikologis siswa, sehingga mengganggu proses belajar mengajar secara signifikan.

Ketika seorang siswa menjadi korban perundungan, kondisi emosionalnya menjadi terganggu. Hal ini berimbas langsung pada konsentrasi di kelas, partisipasi dalam diskusi, dan kemampuan untuk menyerap materi pelajaran. Selain itu, suasana kelas yang dipenuhi oleh tindakan bullying juga dapat menciptakan lingkungan yang tidak kondusif, di mana rasa takut dan kecemasan lebih mendominasi daripada semangat belajar.

Untuk menciptakan lingkungan pendidikan yang benar-benar bebas dari bullying, diperlukan pendekatan yang lebih komprehensif. Sekolah harus mengambil langkah proaktif dalam membangun sistem yang mendukung inklusivitas dan mencegah segala bentuk diskriminasi.

Salah satu caranya adalah dengan memperkuat peraturan anti-bullying yang jelas dan tegas, disertai dengan mekanisme pelaporan yang mudah diakses oleh siswa. Selain itu, pendidikan karakter harus menjadi bagian integral dari kurikulum, di mana siswa diajarkan tentang empati, toleransi, dan pentingnya menghargai perbedaan. Guru dan tenaga pendidik juga perlu mendapatkan pelatihan khusus untuk mengenali tanda-tanda bullying dan menangani kasus perundungan dengan pendekatan yang tepat dan berempati.

Baca Juga: Kecam Kasus Bullying Dokter Koas di Jakarta, Komisi X Akan Panggil Fakultas Kedokteran

Selain peran sekolah, keluarga juga memegang peranan penting dalam membentuk sikap anak terhadap keberagaman. Orang tua harus memberikan pemahaman sejak dini tentang pentingnya menghormati perbedaan dan tidak menilai seseorang hanya berdasarkan aspek fisik. Komunikasi yang terbuka antara orang tua dan anak akan membantu anak merasa lebih nyaman dalam mengungkapkan pengalaman atau masalah yang mereka hadapi di sekolah.

Dengan adanya dukungan dari lingkungan sekolah dan keluarga, siswa akan merasa lebih aman dan percaya diri untuk mengembangkan potensi mereka tanpa takut mengalami diskriminasi atau perundungan. Jika semua pihak berperan aktif, diharapkan tidak ada lagi kisah seperti yang dialami Sawitri Khan, dan dunia pendidikan dapat menjadi tempat yang benar-benar aman dan inklusif bagi semua.

Salah satu contoh nyata yang menggambarkan dampak bullying adalah kisah Sawitri Khan, seorang gadis yang tumbuh di Bali. Selama 11 tahun, Sawitri harus menghadapi perundungan secara terus-menerus hanya karena warna kulitnya yang gelap.

Di sekolah, ia seringkali merasa harus mengambil langkah ekstrem demi keselamatan dirinya; misalnya, ia terpaksa makan sambil berlari di kantin agar dapat menghindari geng pembully yang selalu mengincarnya. Bahkan, suatu ketika tas pribadinya diambil dan dibuang ke tong sampah, suatu tindakan yang membuatnya semakin merasa terasing dan diremehkan oleh teman-temannya.

Menurut penulis, pengalaman pahit yang dialami Sawitri tidak hanya berdampak pada kondisi emosionalnya, tetapi juga mengganggu proses pendidikannya secara keseluruhan. Bullying yang terus menerus menciptakan atmosfer ketakutan dan isolasi di lingkungan sekolah.

Hal ini membuat siswa seperti Sawitri kehilangan konsentrasi saat belajar, menurunkan motivasi untuk berpartisipasi aktif dalam kegiatan kelas, dan bahkan berdampak pada prestasi akademik mereka. Ketika suasana belajar dipenuhi dengan tekanan emosional, siswa tidak dapat mengoptimalkan potensi diri mereka, yang pada akhirnya mengganggu kualitas pendidikan.

Di sisi lain, kisah Sawitri Khan juga memberikan pelajaran berharga tentang kekuatan untuk bangkit dari keterpurukan. Menurut kami, alih-alih menyerah pada situasi yang sulit, Sawitri memilih untuk mengubah pengalaman traumatisnya menjadi sumber motivasi.

Dengan tekad yang kuat dan semangat pantang menyerah, ia berhasil menembus dunia modeling internasional dan meraih kesuksesan di kancah global. Keberhasilan ini bukan hanya tentang pencapaian dalam dunia mode, tetapi juga sebagai simbol bahwa setiap tantangan dalam pendidikan dan kehidupan dapat diatasi dengan keberanian dan kerja keras.

Kisah inspiratif Sawitri menjadi bukti nyata bahwa sistem pendidikan seharusnya mampu menyediakan ruang aman dan mendukung bagi setiap siswa. Menurut penulis, peran guru, tenaga pendidik, serta kebijakan sekolah sangat krusial dalam menciptakan lingkungan belajar yang inklusif.

Program pembinaan karakter dan penerapan nilai-nilai toleransi harus menjadi bagian integral dari kurikulum. Dengan demikian, setiap siswa akan merasa dihargai dan aman untuk mengekspresikan diri tanpa takut dihakimi atau menjadi korban bullying.

Baca Juga: Polres Palas Hadiri Gebyar Deklarasi Kampanye Anti Bullying

Selain itu, pengalaman seperti yang dialami Sawitri Khan juga membuka mata akan pentingnya dukungan psikologis dalam lingkungan pendidikan. Sekolah seharusnya tidak hanya fokus pada aspek akademik, tetapi juga memperhatikan kesejahteraan mental dan emosional siswa.

Konseling dan pendampingan psikologis yang tepat dapat membantu siswa mengatasi trauma dan membangun kepercayaan diri, sehingga mereka dapat lebih siap menghadapi tantangan di dalam maupun di luar kelas.

Kisah Sawitri Khan adalah cermin bagi untuk terus berinovasi dalam dunia pendidikan. Bullying yang terjadi di sekolah merupakan cerminan dari permasalahan sosial yang lebih luas, namun dengan pendekatan yang tepat, sekolah dapat menjadi agen perubahan yang membawa dampak positif bagi kehidupan siswa.

Melalui integrasi nilai-nilai keberagaman, inklusivitas, dan empati dalam setiap aspek pendidikan, kita tidak hanya membentuk individu yang cerdas secara akademis, tetapi juga manusia yang kuat secara emosional dan sosial.

Semoga kisah dan pengalaman Sawitri Khan menginspirasi seluruh pihak terkait untuk bekerja sama menciptakan lingkungan pendidikan yang aman, mendukung, dan penuh semangat positif. Dengan begitu, setiap anak, tanpa memandang perbedaan fisik atau latar belakang budaya, memiliki kesempatan untuk tumbuh, belajar, dan meraih impian mereka dengan optimal.

Penulis adalah Mahasiswa Antropologi Unimed Angkatan 2022

Advertising

Iklan