Otomatis
Mode Gelap
Mode Terang

RUU Perampasan Aset Tak Masuk Prolegnas, Formappi Sebut DPR dan Pemerintah Hanya Gimmick

Editor:  Rozie Winata
Reporter: Luki Setiawan
WhatsApp LogoTemukan Nusantaraterkini.co di WhatsApp!!
Ilustrasi. (Foto: istimewa)

Nusantaraterkini.co, JAKARTA - Pemerintah melalui Kementerian Hukum mengaku sudah mendorong agar RUU Perampasan Aset bisa dimasukkan dalam Prolegnas 2025. Namun pada kenyataannya DPR RI akhirnya resmi tidak memasukkan RUU Perampasan aset dalam prolegnas tersebut.

Peneliti Formappi Lucus Karus mengaku khawatir pembicaraan RUU Perampasan Aset oleh DPR dan Pemerintah hanya gimmick saja. Sebab, dengan ikut membicarakannya terus menerus, seolah-olah DPR dan Pemerintah peduli dengan RUU Perampasan Aset itu.

Terlebih, pembicaraan terus menerus itu berbanding terbalik dengan komitmen mereka sesungguhnya. Dan itu tercermin dalam keputusan mereka tak memasukkan RUU Perampasan Aset dalam Daftar RUU Prioritas 2025.

"Dengan hanya menempatkan RUU itu dalam Daftar Prolegnas 2025-2029, maka ngga ada jaminan sama sekali RUU Perampasan Aset ini disentuh pada periode DPR saat ini," kata Lucius kepada Nusantaraterkini.co, Kamis (21/11/2024).

Lucius berpandangan dengan terdaftar di Prolegnas, mereka akan selalu punya alasan untuk menjawab kritikan publik, bahwa RUU itu sudah ada dalam rencana, walau entah kapan mau dibahas.

"Saya melihat gambaran besar pemberantasan korupsi di periode ini memang nampak kian sulit. Tak hanya soal RUU Perampasan Aset, proses memperkuat KPK nampaknya sekali tiga uang," ujarnya.

"Jadi sangat mungkin sih janji-janji pemberantasan korupsi, bahkan dari Presiden, itu hanya janji ala politisi yang memang gemar sekali membuat janji," tambahnya.

Lucius menilai, momentum awal pemberantasan korupsi yang dijanjikan Presiden Prabowo sesungguhnya mulai berantakan. DPR yang diharapkan bisa berkontribusi melalui legislasi dalam memperkuat sistem pemberantasan korupsi nampak sudah kehilangan semangat sejak awal.

"Ya dari berbagai hal dan kebijakan sejak pelantikan DPR dan Presiden, kita nampak menjauh dari semangat pemberantasan korupsi itu," terangnya.

Lebih lanjut Lucius menilai, prolegnas kembali hanya akan menjadi semacam formalitas yang berisi daftar keinginan elit, bukan Daftar kebutuhan publik dan rakyat. Karena hanya berisi keinginan elit, maka hanya sedikit RUU dari Daftar itu yang akan dibahas DPR dan Pemerintah di periode ini.

"DPR nampak mengulangi kebiasaan yang lalu-lalu, yang hanya menjadikan Prolegnas sebagai Daftar keinginan saja sehingga sampai akhir sebagian besar RUUnya tak disentuh. Dan DPR akan lebih suka membahas cepat RUU yang memang diinginkan elit walaupun tak tercantum di prolegnas. Tanda-tandanya sudah ada di awal periode melalui revisi UU DKJ. seperti itu model pembentukan legislasi periode ini. Maka partisipasi publik pun nampaknya akan menemui jalan terjal lagi," sesalnya.

Lucius menambahkan, yang jelas dampaknya yang paling utama adalah partisipasi bermakna itu akan tinggal nama saja. Pembahasan cepat dengan alasan khas DPR, untuk menjawab kebutuhan mendesak sesungguhnya lebih terlihat sebagai siasat untuk menghindari  partisipasi. Kasarnya ini model otoritarianisme melalui regulasi.

Apalagi, kualitas RUU tanpa proses yang partisipatif sudah jelas buruknya. RUU IKN, Omnibus Law Cipta Kerja, UU DKJ, adalah beberapa contoh bagaimana pembahasan RUU yang kilat dan buru-buru menyimpan banyak kekurangan, dan rendahnya kualitas RUU.

"Bagaimana bisa DPR dan Pemerintah baru sadar belum mengatur pasal-pasal yang sekarang ingin mereka masukkan dalam UU DKJ? Kok bisa saat pembahasannya ngga ada yang menyadari? Ya begitulah kalau buru-buru dan menghindari publik, akan banyak detail yang dilewatkan. Padahal UU itu harus menjamin kepastian," tegasnya.

"Kalau UU belum juga dijalankan sudah direvisi, ya kepastian itu menjadi tak punya makna lagi. Sulit membangun sistem dengan modal ketidakpastian regulasi. Kapan-kapan semua aturan bisa dirubah sesuka hati. Terus apa panduan kita untuk menjalankan sesuatu kalau UUnya begitu mudah dirubah?," lanjutnya.

"Hukum menjadi alat kekuasaan juga jadi dampak lain. Kalau RUU suka-suka muncul mendadak dan tetiba langsung jadi, ya kita tahu ada keinginan kekuasaan pada RUU-RUU itu. Dan hukum sebagai panglima menjadi hukum sebagai alat Penguasa. Kapan saja penguasa mau mengubah aturan, maka DPR akan segera mengeksekusinya melalui pembahasan cepat," tandasnya.

Lobi Ketum Parpol

Sedangkan, Menteri Hukum Supratman Andi Agtas mengaku akan berupaya untuk melobi para ketua umum parpol dan DPR untuk memuluskan proses pembahasan RUU Perampasan Aset.

"Karena itu sekarang kami lagi melakukan upaya dialog (soal RUU Perampasan Aset) bersama dengan Parlemen, dengan Ketua-ketua Umum Partai Politik," kata Supratman

Supratman menjelaskan upaya lobi itu dibutuhkan untuk memastikan RUU Perampasan Aset akan langsung dibahas ketika Presiden Prabowo mengirim surat presiden (surpres).

Terlebih, kata dia, terdapat preseden Presiden ke-7 RI Joko Widodo telah mengirim surpres terkait perampasan namun diabaikan oleh DPR.

"Supaya begitu Presiden Prabowo akan mengirim supres untuk masuk di dalam prolegnas yang akan datang, memastikan bahwa itu akan dijamin untuk dibahas dan dilakukan pembahasan di Parlemen," jelas dia.

Di sisi lain, Supratman menegaskan Presiden Prabowo berkomitmen untuk melakukan pemberantasan korupsi tanpa pandang bulu.

Ia menyinggung kinerja aparat penegak hukum di bawah Presiden Prabowo yang terus melakukan upaya pemberantasan korupsi.

"Nah karena itu sekali lagi, mohon bersabar, kami lakukan dialog dengan kekuatan-kekuatan yang ada di Parlemen," ujar dia.

Harus Dilakukan Kajian

Sementara itu, Wakil Ketua Baleg DPR Ahmad Doli Kurnia beralasan pengesahan RUU Perampasan Aset tak bisa tergesa-gesa dan harus dilakukan kajian terlebih dahulu terkait kecocokan dengan sistem hukum di Indonesia sehingga RUU ini tak termasuk ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) prioritas 2025.

Ia mengklaim seyogianya RUU Perampasan Aset kurang cocok diterapkan di Indonesia yang menggunakan aturan tertulis terkodifikasi sebagai sistem hukum primer (Eropa Kontinental).

"Ya itu tadi, kita harus mengkaji. Tapi soal tadi itu ya, kalau menurut saya, kalau kita lihat ya, undang-undang itu (Perampasan Aset) lebih tepat dipergunakan oleh negara yang bermazhab hukum Anglo-Saxon," kata Doli

"Nah, sementara kan kita Eropa Kontinental. Nah, ini yang nanti harus kita sesuaikan," sambungnya.

Oleh karena itu, Doli menilai hal yang paling krusial dalam pembahasan RUU Perampasan Aset adalah menyusun aturan yang sesuai dengan sistem hukum Indonesia.

"Di mana misalnya konten-konten materi-materi yang sekarang ada di draft yang sudah dibuat, kalaupun sudah ada gitu ya yang memang tidak bertentangan dengan sistem hukum kita, itu yang paling penting," tutur dia.

Di sisi lain, Doli menjelaskan RUU Perampasan Aset juga perlu dilakukan kajian ulang meski telah masuk prolegnas menengah 2025-2029.

Ia menyoroti redaksional 'Perampasan' dalam RUU Perampasan Aset yang dinilai memiliki artian yang keliru dan tidak sesuai Konvensi Anti Korupsi Internasional (UNCAC).

"Makanya waktu itu saya bilang, kalaupun misalnya disetujui substansi undang-undang itu adalah bagian dari pemberantasan korupsi, kenapa enggak namanya kita buat pemulihan atau pengelolaan aset," ujar dia.

RUU Perampasan Aset ini mandek selama lebih dari satu dekade setelah naskah RUU tersebut pertama kali disusun pada 2008.

Pada 2023 RUU Perampasan Aset masuk ke dalam Prolegnas Prioritas 2023. Presiden ke-7 RI Joko Widodo juga telah mengirim surat presiden (surpres) RUU Perampasan Aset.

Surpres itu bernomor R 22-Pres-05-2023 dikirim tanggal 4 Mei 2023 untuk dibahas bersama DPR. Namun, setahun berlalu RUU tersebut tak kunjung selesai.

(cw1/Nusantaraterkini.co)

Advertising

Iklan