Otomatis
Mode Gelap
Mode Terang

Rantai Distribusi Tidak Adil, Harga Beras di Grosir Naik, Petani Tetap Merugi

Editor:  Rozie Winata
Reporter: Elvirida Lady Angel
WhatsApp LogoTemukan Nusantaraterkini.co di WhatsApp!!
Ilustrasi petani padi. (Foto: istimewa)

Nusantaraterkini.co, MEDAN - Harga beras yang terus merangkak naik di pasar tidak hanya membebani konsumen, tetapi juga memberikan dampak signifikan bagi petani dan pedagang grosir.

Proses panjang yang harus dilalui petani dari mulai penanaman hingga beras siap dikonsumsi membutuhkan waktu, tenaga, dan modal yang besar, namun keuntungan yang diperoleh masih minim.

Anton, seorang petani asal Sidikalang, menyampaikan bahwa harga beras yang dijual dari kilang tetap bertahan di angka Rp8.000 per kilogram, meski harga di grosir dan pasar mengalami kenaikan.

“Harga beras di grosir bisa naik, tapi yang kami terima dari kilang tetap saja Rp8.000 per kilogram. Dengan harga itu, sulit sekali bagi kami untuk balik modal, apalagi menutupi biaya produksi,” keluhnya, Sabtu (28/9/2023).

Padahal, sebutnya, proses menanam padi sendiri cukup menguras waktu dan energi.

"Kami harus merendam benih semalaman untuk mendapatkan tunas yang baik, dan tanah harus lembap dengan air yang cukup agar padi bisa tumbuh dengan baik. Setelah itu, pupuk seperti Urea, SP36, ZA, NPK, dan Petroganik harus digunakan agar padi subur, dan pupuk itu tidak murah,” jelasnya.

Meski demikian, ancaman hama seperti tikus dan cuaca ekstrem juga sering kali membuat panen terhambat dan merugi.

Proses panen sendiri membutuhkan waktu hingga 6 bulan. Setelah panen, padi harus dijemur selama dua hingga tiga hari sebelum digiling dan dijual ke kilang padi.

“Sudah melelahkan prosesnya, tapi harga yang kami terima dari kilang tidak cukup untuk menutupi biaya operasional,” tuturnya.

Anton juga menyoroti panjangnya rantai distribusi beras di Indonesia sebagai salah satu penyebab tingginya harga beras di pasar.

“Beras harus melalui empat hingga enam titik distribusi sebelum sampai ke konsumen. Setiap titik mengambil margin keuntungan, yang menyebabkan harga terus meningkat. Sementara itu, kami petani hanya mendapat sedikit, dan sulit untuk meraih keuntungan,” jelasnya.

Sementara itu, Amin, seorang pedagang grosir beras di Pasar MNTC, mengaku turut merasakan dampak kenaikan harga beras. Dia menjelaskan bahwa harga beras sempat naik hingga Rp10.000 dari harga biasanya pada bulan Juli hingga Agustus, yang mengakibatkan banyak pembeli menunda pembelian. 

“Walaupun sekarang harga sudah mulai stabil, pembeli masih sedikit. Penurunan pendapatan kami terasa sekali dibandingkan empat bulan yang lalu,” ungkap Amin.

Menurut Amin, meski harga beras mulai stabil, konsumen masih enggan membeli dalam jumlah besar.

“Kami berharap harga segera benar-benar stabil dan pembeli kembali, karena pendapatan kami masih terpengaruh,” katanya.

Dengan kondisi ini, baik petani seperti Anton maupun pedagang grosir seperti Amin berharap ada solusi untuk menyeimbangkan keuntungan di setiap rantai distribusi agar mereka tidak terus merugi dan harga beras bisa lebih stabil bagi konsumen.

“Satgas Pangan harus bergerak cepat untuk mengungkap apakah ada pihak yang dengan sengaja mempermainkan harga beras sehingga distribusinya tidak adil,” ujar Anton.

(cw9/Nusantaraterkini.co)