Nusantaraterkini.co, SAMOSIR - Kebakaran hutan dan Lahan (Karhutla) kembali melanda kawasan hutan pinus di Kabupaten Samosir, Sumatera Utara, sejak Selasa (1/7/2025).
Bahkan, hingga Kamis (3/7/2025) pagi, api masih terpantau di beberapa titik di wilayah Kecamatan Harian.
Berdasarkan data yang diperoleh, dalam tiga hari luas areal kebakaran telah mencapai 125 hektare. Kebakaran diduga dipicu oleh aktivitas pembakaran yang dilakukan secara sengaja oleh warga.
BACA JUGA: Dampak Kebakaran Hutan, Pelaku Usaha di Menara Pandang Tele Mengeluh Pendapatan Jeblok
“Kami melihat api pertama kali sekitar pukul 06.30 WIB. Api menyebar cukup cepat karena vegetasi yang kering,” ujar Damanik, seorang anggota Manggala Agni dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), saat ditemui Nusantaraterkini.co di lokasi.
Menurut Damanik, dugaan sementara mengarah pada pembakaran yang dilakukan warga dengan tujuan memanggil hujan. Kepercayaan ini masih diyakini sebagian masyarakat lokal, meskipun tidak dibenarkan oleh hukum dan regulasi lingkungan.
“Warga percaya, membakar hutan bisa mempercepat turunnya hujan. Tapi itu jelas tindakan yang merusak dan membahayakan,” kata dia.
"Jadi, jika seandainya semua titik terbakar 75 persen atau 80 persen, hujan akan segera turun. Setelah itu rumput baru tumbuh dan akan dijadikan sebagai pakan ternak warga," sambungnya.
Saat di lokasi, petugas Manggala Agni masih berupaya memadamkan titik-titik api yang tersisa hingga sekitar pukul 11.00 WIB. Namun, medan yang sulit dan peralatan yang terbatas menjadi tantangan tersendiri.
“Kami hanya mengandalkan selang dan alat manual karena kendaraan pemadam tidak bisa masuk ke lokasi,” jelas Kepala Tim Manggala Agni, Suliantono, saat diwawancarai terpisah.
Menanggapi kabar soal praktik pembakaran hutan untuk memanggil hujan, tokoh adat Samosir, Manogar Naibaho, menyatakan bahwa kepercayaan tersebut memang pernah ada, namun kini sudah lama ditinggalkan.
“Dulu memang ada kepercayaan semacam itu, tapi sekarang tidak lagi. Itu sudah hampir hilang dari masyarakat adat. Kalau masih ada yang melakukannya, itu bukan atas dasar adat,” tegasnya di lokasi berbeda.
Jikapun ada, lanjutnya, hal tersebut hanya dilakukan di kawasan rumah warga yang memiliki ternak, seperti hewan Kerbau.
Ia menekankan, masyarakat adat saat ini justru tengah berupaya menjaga kelestarian hutan, bukan sebaliknya.
“Kami sedang giat mengedukasi generasi muda untuk menghargai alam. Karena hutan adalah sumber kehidupan, bukan sesuatu yang bisa dikorbankan untuk ritual,” ujarnya.
BACA JUGA: BPBD Samosir: Kebakaran Hutan Pinus di Tele Capai 125 Hektare
Sementara itu, Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Samosir, Sarimpol Simanihuruk, memperkirakan luas lahan yang terbakar sejak 1 Juli hingga Kamis 3 Juli mencapai 125 hekatare lebih.
"Kalau ditotal sejak awal kejadian (kebakaran) itu, sudah sampai 125 hektar lebih yang terbakar," ujarnya saat ditemui pada Kamis sore.
Saat disinggung terkait dugaan penyebab kebakaran Sarimpol hemat bicara. Pihaknya belum mampu untuk menyimpulkannya.
"(Dibakar atau terbakar) kalau itu kita belum bisa tentukan," tandasnya.
(Cw7/Nusantaraterkini.co)