Otomatis
Mode Gelap
Mode Terang

Pakar Sebut Revisi UU Polri Sebuah Kebutuhan dan Keniscayaan

Editor:  Feriansyah Nasution
Reporter: Luki Setiawan
WhatsApp LogoTemukan Nusantaraterkini.co di WhatsApp!!
Pakar Hukum Pidana, Prof. Suparji Ahmad./Ist

Nusantaraterkini.co, JAKARTA - Pakar Hukum Pidana, Prof. Suparji Ahmad mengatakan, rancangan Undang-Undang Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (RUU Polri), merupakan sebuah kebutuhan dan keniscayaan.

Pasalnya, RUU tersebut untuk menyesuaikan dengan perkembangan zaman, dinamika sosial, budaya, dan hukum masyarakat. 

"Secara historis, 20 tahun sudah usia UU Polri mengharuskan dilakukan perubahan agar relevan dengan situasi dan perkembangan yang ada," kata Suparji, Kamis (25/7/2024).

Selain itu, lanjut Suparji, revisi terbatas sudah dilakukan terhadap sejumlah UU yang mengatur aparatur penegak hukum. Seperti revisi UU No.16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan yang memberikan penguatan kelembagaan pada tugas penuntutan. Begitu pula revisi terhadap UU No.30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi.

"Kinerja penegakan hukum dalam beberapa hal, seperti fungsi penyelidikan dan penyidikan, keberpihakan, merekayasa kasus, menghilangkan fakta, membuat laporan bohong pada atasan, hingga membuat berita acara pemeriksaan (BAP), perlu dilakukan perbaikan," ujarnya.

Lebih lanjut Suparji mengatakan pengawasan, penyelidikan dan penyidikan oleh internal mesti melibatkan unsur masyarakat. Seperi unsur masyarakat masuk sebagai tim tetap di pengawasan penyidikan (Wasidik). Kemudian unsur masyarakat dalam komposisi Komisi Kode Etik Profesi (KKEP).

"Pengaturan tersebut mesti diatur dalam revisi UU 2/2002. Termasuk pula soal formasi Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) mesti lebih banyak unsur publik," tegasnya.

Suparji yang juga Guru besar ilmu hukum Universitas Al Azhar Indonesia ini memaparkan beberapa point-point atau pasal-pasal dalam RUU Polri yang dianggap bermasalah oleh berbagai kalangan.

Pertama, Pasal 14 Ayat 1 huruf b yang berkaitan dengan pembinaan dan pengawasan di ruang siber yang dinilai akan mengakibatkan pembatasan akses internet yang dapat berujung pada pembatasan kebebasan berekspresi yang berlebihan.

Menurut Suparji, pasal tersebut tidak boleh sewenang-wenang, melanggar hak asasi manusia serta demokrasi.

"Implementasinya berkoordinasi dengan kementerian dan badan lain yang terkait," ujarnya.

Kedua, Pasal 14 ayat 1 huruf o yang memberikan kewenangan polisi melakukan penyadapan dalam lingkup tugas kepolisian sesuai dengan undang-undang yang mengatur mengenai penyadapan.

Suparji berpendapat pasal tersebut perlu berkoordinasi dengan institusi lain, seperti Kementerian Komunikasi dan Informasi atau Kominfo. "Dan juga tidak tumpang tindih dengan UU lain," katanya.

Ketiga, Pasal 30 Ayat (4) mengatur batas usia pensiun Kapolri atau polisi berpangkat perwira tinggi bintang 4.

Pasal ini mengatur batas usia pensiun kapolri dapat diperpanjang melalui Keputusan Presiden (Keppres) setelah mendapat pertimbangan dari DPR. Namun, tidak diatur secara rinci berapa lama batas usia maksimum pensiun kapolri bisa diperpanjang.

Suparji menilai penambahan batas usia pensiun harus di ikuti dengan peningkatan kinerja pengawasan dan tidak menghambat regenerasi.

Dari kesemuanya itu, Suparji meminta RUU Polri ini perlu di diskusikan oleh semua pihak terkait serta melibatkan masyarakat. Dengan tujuan mendorong Polri yang Presisi dan pengayom masyarakat.

Perluas Kewenangan Kompolnas

Sementara itu, Pakar Hukum Tata Negara, Prof Sugianto mengatakan, Pemerintah harus memberikan kewenangan lebih luas bagi Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas). Bahkan, Kompolnas harus memiliki kedudukan penting sebagai lembaga pengawas eksternal kepolisian di revisi UU Polri.

“Saya minta dalam Revisi UU Polri, Kompolnas bisa melakukan sinkronisasi dalam penegakan hukum. Sehingga Kompolnas dapat memberikan rekomendasi pada Kapolri dengan mengedepankan pendekatan restorative justice,” kata Sugianto.

Selain itu, Sugianto meminta Revisi UU Polri juga harus memberikan kewenangan kepada Kompolnas untuk memeriksa kode etik bagi anggota Polri berpangkat perwira menengah dan perwira tinggi jika terjadi dugaan pelanggaran.

“Jadi selain diperiksa internal Polri seperti Propam yang diibaratkan seolah 'jeruk makan jeruk', sebaiknya diserahkan ke Kompolnas sebagai pengawas eksternal Polri,” paparnya.

Menurut Gurubesar Hukum pascasarjana UIN Siber Syekh Nurjati Cirebon tersebut, publik sangat berharap Revisi UU Polri membuat Pemerintah dan DPR melalui Kompolnas melakukan pengawasan ketat terhadap institusi penegak hukum.

“Terjadi abuse of power dari para penegak hukum setelah reformasi. Karena pengawasan dan wewenang dari lembaga eksternal Polri yang tidak gereget, karena wewenang yang terbatas,” tutupnya.

Sekedar informasi, RUU Polri ini sudah disetujui menjadi usulan inisiatif DPR RI dalam Rapat Paripurna DPR RI ke-18 Masa Persidangan V Tahun Sidang 2023-2024 yang digelar di Jakarta, Mei 2024, yang diajukan Badan Legislasi (Baleg) DPR. Namun RUU ini belum masuk dalam program legislasi nasional (prolegnas) prioritas 2024. (cw1/nusantaraterkini.co)

Advertising

Iklan