nusantaraterkini.co, MEDAN - Ketua Umum Jaringan Media Siber Indonesia (JMSI) Teguh Santosa sebut radikalisme merupakan ekspresi dari ketimpangan ekonomi dan kegagalan pembangunan.
"Ketika orang merasa bahwa dirinya tertinggal dan tidak mendapatkan apa yang dia inginkan maka dia punya kecenderungan untuk mencari alasan untuk mencari pembenaran gitu. Di era digitalisasi ini sebaik-baik tempat untuk mencari pembenaran itu adalah tadi smartphone yang dia miliki," kata Teguh dikutip kanal YouTube RRI, Kamis (19/6/2025).
Teguh menambahkan, saat ini banyak paham-paham radikalisme, kampanye di media sosial, platfrom digital yang membawa dampak baik dan buruk bagi anak muda. Kurangnya literasi anak muda, kata Teguh, dapat menyalah artikan fungsi gadget yang berdampak buruk bagi keberlangsungan
"Pola-pola seperti ini ada dua fakta yang menurut saya agak membingungkan, yang pertama kalau menurut UNESCO itu negara kita ini adalah negara dengan tingkat baca, minat baca yang rendah, ini fakta pertama. Fakta kedua, negara kita ini adalah negara dengan kepemilikan gadget terbesar di muka bumi. Bayangkan, ada sekumpulan sekelompok masyarakat yang kemauan minat baca atau literasinya rendah tetapi penggunaan gadgetnya tinggi dan memiliki akses yang cukup luas," pungkasnya.
Rendahnya minat baca anak muda serta tingginya penggunaan gadget menurut Teguh, bukan hanya pekerjaan media dan pemerintah, tetapi menjadi pekerjaan semua sektor, baik pendidikan, ekonomi dan lainnya.
"Kapasitas kemampuan literasi yang rendah membuat seperti botol ketemu dengan tutupnya. Mereka jadi merasa terbenarkan tentang apa namanya kebencian, tentang ketidaksukaan, tentang perasaan terzolimi dan seterusnya. Maka saya hendak mengatakan bahwa ini bukan cuma fenomena keyakinan seseorang terkait pengetahuan, pemahaman yang sangat rendah, tetapi juga fenomena pembangunan," ujarnya.
Teguh mengatakan, pelaku radikalisme ini bukan masyarakat ekonomi bawah, bahkan masyarakat yang memiliki ekonomi berkecukupan dan pendidikan yang memadai. Biasanya kelompok ini memanfaatkan masyarakat yang bisa digerakkan dan digunakan untuk kepentingan politik.
"Ada juga motifnya adalah motif politik. Mereka ini mencari yang bisa digerakkan, bisa digunakan oleh orang-orang yang ada di lingkungan politik dan yang punya ini pasti bukan dari kelompok yang literasinya rendah, justru karena mereka memiliki kemampuan untuk memahami karakter masyarakat. Saudara-saudara kita ini bisa digerakkan dengan mudahnya dan mereka juga menggunakan sumber daya finansial untuk kampanye lebih besar," papar Teguh.
"Radikalisme itu kan tidak hanya melulu terkait dengan masalah terorisme, bentuk-bentuk kekerasan dan kebencian lainnya juga termasuk. Pola-pola kampanye radikalisme oleh pihak-pihak tertentu untuk mempengaruhi anak bangsa juga sudah memanfaatkan kecanggihan teknologi digital," cetusnya.
Teguh juga bersyukur dalam beberapa tahun belakangan ini, hampir tak terdengar lagi kasus terorisme di Indonesia.
Teguh juga berharap agar pemerintah memberikan solusi bagi anak muda untuk membuka lapangan pekerjaan sebesar-besarnya buat mereka, sering sekali dimulai dengan istilah bonus demografi
"Saya ingin menggarisbawahi bahwa bonus demografi ini adalah situasi di mana kita bisa memanfaatkan kelebihan tenaga produktif sehingga mereka menjadi produktif baru kita bisa sebut itu bonus demografi. Tetapi kalau ada situasi dimana masyarakat kita tenaga produktifnya melebihi yang tidak produktif yang menggembung di garis tengah, tetapi kita tidak bisa memanfaatkan mereka itu bukan bonus demografi itu bencana demografi," tegasnya.
"Jadi kalau kita memang ingin memanfaatkan kelebihan sumber daya produktif tadi sehingga dia menjadi bonus demografi itu memang harus memberikan peluang yang cukup besar lapangan pekerjaan yang bisa dijadikan penghidupan bagi keluarganya," tutup Teguh.
(Dra/nusantaraterkini.co).