Nusantarterkini.co, SAMOSIR - Objek wisata Huta Siallagan salah satu Geosite Geopark Kaldera Toba, tempat ini menjadi incaran bagi turis dan wisatawan lokal yang berlibur ke Samosir berlokasi di Huta Siallagan, Ambarita, Kecamatan Simanindo, Kabupaten Samosir.
Huta Siallagan merupakan objek wisata adat dan budaya yang menyajikan perkampungan batak yang dikeliling batu-batu setinggi 2 meter, uniknya tempat berdiri kokoh batu parsidangan, tempat pasung dan batu eksekusi.
Tempat ini memiliki sejarah penting bagi orang batak yang dikenal sebagai kanibal dan banyak orang batak menjadi hakim maupun pengacara.
Baca Juga: Turis Mulai Padati Geosite Hutan Siallagan Jelang Revalidasi Geopark Toba di Samosir
Dalam bahasa Batak, kata Huta dapat diartikan sebagai desa atau kampung.
Jadi, bisa bisa diartikan Huta Siallagan adalah kampung masyarakat Batak yang bermarga Siallagan.
Kepercayaan masyarakat yang tinggal Huta Siallagan, menganggap Huta Siallagan merupakan kampung kanibal yang ada di Samosir.
Pintu masuk Huta Siallagan berdiri tegak patung ulu balang (penjaga kampung) yang dulunya, dipercaya memiliki kekuatan magis menjaga kampung dan menghalangi orang jahat ketika hendak ingin masuk ke kampung tersebut.
Tempat ini memiliki luas kurang lebih 2.000 meter persegi yang dikelilingi oleh tembok batu yang disusun bertingkat setinggi 2 meter, batu diperkirakan berumur ratusan tahun lamanya yang dibangun untuk melindungi kampung dari serangan orang jahat maupun hewan buas.
Setelah membayar tiket masuk, langsung bisa melihat delapan rumah bolon yang berjejer di sepanjang lokasi ini satu diantaranya ada rumah bolon bisa di masuki.
Paling menarik dari objek wisata ini merupakan batu persidangan, batu persidangan ini merupakan saksi sejarah penegakan keadilan di Samosir.
Uniknya, tumbuh pohon besar ditengah-tengah kampung yang diperkirakan berumur ratusan tahun lamanya, tepat dibawah pohon ada patung bersujud dan memohon, menandakan dulu Raja meminta petunjuk di bawah pohon hariara yang dianggap sakral bagi orang batak.
Disekitar area pohon hariara, berdiri kokoh batu parsidangan yang dimana dulunya raja dan tokoh-tokoh penting duduk mengadili pelaku kejahatan.
Tak hanya itu, dibawah rumah raja ada tempat pemasungan pelaku kejahatan sebelum menuju persidangan dan eksekusi.
Setelah itu ada tempat eksekusi, setelah dilakukan persidangan dan diadili menurut kejahatannya.
Pelaku kejahatan akan dieksekusi sesuai putusan peradilan.
Ditempat ini juga ada patung sigale-gale yang menambah kesan majis perkampungan tersebut, namun patung sigale-gale akan bergerak ketik dimainkan oleh seseorang saat pengunjung hendak ingin menortor bersama.
Pengelola Huta Siallagan juga menyediakan sejumlah Ulos dan Sortali untuk dipakai oleh pengunjung yang akan menari tor-tor Batak.
Tepat ini bukan hanya sekedar objek wisata budaya dan adat batak Toba, melainkan wisata yang mengenalkan sejarah bagaimana orang batak menegakkan keadilan pada zamannya.
Pada Rabu 23 Juli 2025, pihak UNESCO akan melakukan revalidasi Geosite Huta Siallagan yang merupakan bagian dari Geopark Kaldera Toba, kedatangan Assecor nantinya akan melihat dan meneliti Geosite Huta Siallagan apakah dijaga dan dilestarikan atau tidak.
Salah satu pemandu berinisial Jn Siallagan, menjelaskan sejarah Huta Siallagan kepada pengunjung.
"Dulu ada raja bermarga Siallagan mendirikan kampung yang sekarang di kenal Huta Siallagan, sebelum mendirikan kampung ia terlebih dahulu menanam pohon hariara yang dimana jika pohon tersebut tumbuh besar dan subur artinya perkampungan akan bagus di bangun ditempat ini. Bisa kalian lihat ada pohon besar ditengah-tengah disana yang sudah berumur ratusan tahun lamanya, pohon tersebut pernah terbakar bersama rumah adat lalu ditanam kembali dan rumah juga dibangun kembali di bangun," ucapnya.
Ia juga mengatakan bahwa pada zaman dulu, raja membangun kampung ini dikelilingi dengan batu-batu agar menghindari orang jahat dan binatang buas, selain itu didepan pintu masuk Huta juga di bangun ulu balang(penjaga kampung).
Tak hanya itu, raja juga membuat peraturan barang siapa yang berbuat kejahatan dan kesalahan fatal akan diadili dan hukum.
"Pada zaman itu, raja membangun kampung ini dikelilingi batu-batu yang tersusun rapi yang tinggi menghindari orang jahat dan binatang buas, lalu raja juga membuat peraturan yang berbuat kejahatan dan kesalahan fatal akan diadili dan dihukum, pelaku aku di adili oleh raja maupun tokoh adat dan panglima raja serta tokoh-tokoh penting. Sebelum di eksekusi pelaku akan di pasung di bawah rumah raja agar membatasi gerak sipelaku," tuturnya.
Ia juga melanjutkan, bahwa setelah itu pelaku akan di bawa ke batu eksekusi.
"Sebelum pelaku di eksekusi, dilakukan terlebih dahulu penaklukan kekebalan ditubuh pelaku kejahatan agar proses eksekusi mudah dan lancar. Setelah darah pelaku berceceran baru lah dilakukan eksekusi pembelahan dibagian perut, lalu hati dan jantung diambil di serahkan kepada raja dan panglima raja maupun tokoh-tok kerjaan untuk disantap agar kekebalan dan kekuatanya mengalir kepada raja dan panglima maupun tokoh adat.
Baca Juga: Jelang Revalidasi Geopark Toba di Samosir, Turis Asing Padati Geosite Hutan Siallagan
Kemudian kepala pelaku akan dipotong ditempatkan di depan pintu masuk Huta sebagai penjaga, lalu untuk potongan tubuh di buang ke hutan,"terangnya
Ia juga mengatakan bahwa peristiwa tersebut terjadi dan berlaku pada zaman dulu, sekarang tidak berlaku lagi dan sudah dianggap sejarah.
"Peristiwa tersebut terjadi zaman dahulu di kampung ini, sekarang tinggal cerita sejarah karena dulu di stop oleh raja ketika masuk nya agama ke Tanah Batak. Untuk alat eksekusi seperti piso, tongkat dan lainya yang sesungguhnya telah di berada di Belanda, yang sekarang disini merupakan replika atau palsu," tutupnya.
(jas/Nusantaraterkini.co)