Otomatis
Mode Gelap
Mode Terang

DPR: Penerapan KRIS Belum Kategori Proses Penghapusan Kelas BPJS Kesehatan

Editor:  Rozie Winata
Reporter: Luki Setiawan
WhatsApp LogoTemukan Nusantaraterkini.co di WhatsApp!!
Anggota Komisi IX DPR RI Nurhadi. (Foto: istimewa)

Nusantaraterkini.co, JAKARTA - Presiden Jokowi meminta rumah sakit yang bekerja sama dengan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan (BPJS Kesehatan) menerapkan kelas rawat inap standar (KRIS) Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) paling lambat 30 Juni 2025.

Menanggapi hal itu, Anggota Komisi IX DPR RI Nurhadi menyambut baik kebijakan pemerintah terkait dengan penerapan KRIS di BPJS Kesehatan tersebut.

"Saya apresiasi positif setiap kebijakan yang akan diterapkan oleh pemerintah untuk kepentingan Rakyat Indonesia khusus dalam pelayanan Jaminan kesehatan Nasional (JKN)," katanya kepada Nusantaraterkini.co, Rabu (15/4/2024).

"Sistem KRIS itu bisa dibilang standarisasi atau peningkatan kualitas dari ruang perawatan," sambungnya.

Secara normatif, Nurhadi menuturkan, program KRIS dapat dikatakan sebagai upaya untuk lebih memanusiakan pasien, seperti ruang rawat inap tidak boleh lebih dari 4 orang, jarak antar pasien harus longgar, minimal 1,5 meter, sebagaimana standarisasi 12 kriteria yang harus dipenuhi oleh rumah sakit

Karena itu, perlu penegasan terkait Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 59 Tahun 2024 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan dimana salah satu point  terkait Kelas Rawat Inap Standar (KRIS) yang di tanda tangani Presiden Jokowi tgl 8 Mei 2024 kemaren.

Disisi lain, Nurhadi yang juga politikus NasDem melihat belum ada kategori dalam proses penghapusan kelas 1,2,3 dalam Perpres tersebut.

Pencermatan dirinya bahwa untuk penerapan KRIS membutuhkan proses panjang, dan hingga sekarang ini yang diketahui masih dalam tahap uji coba. KRIS secara logis akan berdampak pada perubahan besaran iuran BPJS Kesehatan, di mana seharusnya tidak ada lagi kelas iuran.

"Saat ini pelayanan rawat inap peserta BPJS Kesehatan masih menggunakan pola lama, demikian juga besaran iurannya. Bahwa saya menilai  rencana penerapan KRIS dan dampaknya terhadap besaran iuran peserta BPJS Kesehatan harus diperhitungkan dengan matang oleh Pemerintah jangan ini menjadi beban masyarakat," ujar legislator dapil Jatim VI ini.

Lebih lanjut Nurhadi menilai, kebijakan KRIS tersebut bertujuan untuk menyederhanakan sistem layanan kesehatan dan memastikan standar pelayanan yang lebih merata di seluruh rumah sakit yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan.

Untuk itu, Nurhadi terus mendorong dan mengawasi pemerintah dalam upaya mewujudkan KRIS, di antaranya dengan terus memantau dan memberikan masukan kepada Kementerian Kesehatan dan lembaga terkait guna mewujudkan RS-RS yang memenuhi 12 kriteria yang ditentukan.

"Selain itu, kami di Komisi IX DPR juga mendorong terus untuk perlu mendiskusikan secara cermat terkait besaran iuran peserta BPJS Kesehatan pada saat KRIS diberlakukan nanti. Perlu dilakukan beberapa simulasi untuk membuat kebijakan iuran yang dapat dijangkau dan tidak memberatkan masyarakat terutama peserta kategori mandiri," tandasnya.

Sementara itu, BPJS Watch mengingatkan otoritas kesehatan untuk menjamin akses ruang perawatan peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) seiring penerapan Kelas Rawat Inap Standar (KRIS).

"Peraturan Presiden Nomor 59 tahun 2024 tentang Jaminan Kesehatan memang mengatur KRIS dengan ruang perawatan mengarah ke satu ruang perawatan dengan maksimal empat tempat tidur, dan 12 kriteria ruangan," kata Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar.

Ia mengatakan pelaksanaan KRIS yang ditetapkan bergulir paling lambat 30 Juni 2025 berpotensi menghambat akses peserta JKN pada ruang perawatan.

Alasannya, pelaksanaan KRIS akan merujuk pada Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2021, yang di pasal 18 disebutkan rumah sakit swasta dapat mengalokasikan ruang perawatan KRIS minimal 40 persen dari total yang ada dan rumah sakit pemerintah minimal mengalokasikan 60 persen.

"Bila rumah sakit swasta mengalokasikan 50 persen, maka itu sudah memenuhi ketentuan tersebut. Jadi yang bisa diakses peserta JKN hanya 50 persen, sementara 50 persen lagi untuk pasien umum," katanya.

Demikian juga bila rumah sakit pemerintah memasang 80 persen untuk KRIS, maka 80 persen untuk pasien JKN dan 20 persen untuk pasien umum, kata Timboel menambahkan.

"Ini artinya terjadi pembatasan akses bagi peserta JKN ke ruang perawatan di rumah sakit. Saat ini saja, di mana ruang perawatan kelas 1, 2, dan 3 diabdikan semuanya untuk pasien JKN, masih terjadi kesulitan mengakses ruang perawatan, apalagi nanti dengan KRIS," katanya.

Sebelumnya diberitakan, Presiden Jokowi baru-baru ini mengeluarkan aturan baru berisi penghapusan kelas layanan 1, 2, 3 BPJS Kesehatan.

Aturan penghapusan itu tertuang dalam Perpres Nomor 59 Tahun 2024 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan.

Beleid itu salah satunya mengatur penerapan fasilitas ruang perawatan rumah sakit KRIS dalam layanan BPJS Kesehatan. Dengan kata lain, tidak ada lagi layanan BPJS kelas 1,2,3.

Terpisah, Menkes Budi Gunadi Sadikin membantah pemerintah bakal menghapus kelas 1, 2, 3 dalam program oleh JKN BPJS Kesehatan.

Budi menyebut Peraturan Presiden Nomor 59 tahun 2024 mengatur soal penyederhanaan standar kelas layanan BPJS Kesehatan. Penyederhanaan dilakukan dengan pertimbangan; memperbaiki kualitas layanan BPJS Kesehatan.

"Jadi itu bukan dihapus, standarnya disederhanakan dan kualitasnya diangkat," kata Budi usai meninjau RSUD Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara.

Budi menjelaskan masyarakat pengguna BPJS yang sebelumnya berada dalam kategori kelas 3, maka nantinya akan naik menjadik elas dua dan kelas satu.

(cw1/nusantaraterkini.co)

Advertising

Iklan