Otomatis
Mode Gelap
Mode Terang

DPR-Pemerintah Dinilai Kangkangi Konstitusi dengan Merevisi UU Pilkada Pasca Putusan MK

Editor:  Rozie Winata
Reporter: Luki Setiawan
WhatsApp LogoTemukan Nusantaraterkini.co di WhatsApp!!
Baleg DPR saat menyepakati Revisi UU Pilkada (Foto: istimewa)

Nusantaraterkini.co, JAKARTA - Mahkamah Konstitusi (MK) membuat putusan nomor 60/PUU-XXII/2024 mengubah ambang batas pencalonan. Putusan itu mengubah ketentuan dalam pasal 40 ayat (1) UU Pilkada.

Partai atau gabungan partai politik tak lagi harus mengumpulkan 20 persen kursi DPRD atau 25 persen suara sah untuk mencalonkan kepala daerah dan wakil kepala daerah.

Namun, pasca putusan ini terbit. DPR melalui Badan Legislasi (Baleg) bersama Pemerintah terus lanjut dan telah menyetui revisi Undang-Undang Pilkada dan akan disahkan dalam rapat paripurna.

Sontak hal ini mengundang respon dari berbagai kalangan menilai jika DPR-Pemerintah sudah tidak menghormati lagi MK sebagai lembaga hukum dalam soal UU.

Peneliti Formappi Lucius Karus Lucius menilai, pembahasan revisi UU Pilkada di DPR-Pemerintah tak bisa dilepaskan dari keluarnya Putusan MK Nomor 60 soal Pilkada.

Dia menjelaskan, yang umum diketahui adalah bahwa keputusan MK itu sifatnya 'final dan mengikat'. Karena sifatnya seperti itu maka seharusnya tak ada lagi pembahasan mengenai substansi keputusan itu. Namun yang terjadi di DPR, keputusan MK yang final dan mengikat itu justru dibikin tidak final dan tidak mengikat lagi.

"Ini kan jelas mengangkangi konstitusi yang memberikan mandat bagi MK untuk menafsirkan UU terhadap konstitusi itu sendiri," katanya kepada Nusantaraterkini.co, Kamis (22/8/2024).

Lucius menjelaskan, konstitusi itu jelas lebih tinggi dari UU. DPR itu pembentuk UU, jadi perannya jelas berada di bawah terang konstitusi. Sementara MK itu bekerja untuk dan atasnama konstitusi itu terhadap UU yang dihasilkan oleh DPR. Dan dari logika ini saja jelas bahwa tindakan DPR mengubah keputusan MK jelas merupakan tamparan terhadap konstitusi itu sendiri.

"Jadi sangat jelas sih kalau kita menilai bahwa perubahan UU Pilkada khusus terkait Pasal 40 dan syarat usia yang dilakukan DPR adalah menabrak konstitusi," tegasnya.

Lebih lanjut Lucius menilai, melawan konstitusi itu adalah kesalahan besar dalam praktek ketatanegaraan bangsa ini. Presiden itu bisa diimpeach kalau terbukti melakukan pelanggaran terhadap konstitusi. Begitu juga seharusnya DPR, walau mungkin bukan impeachmen yang akan dilakukan, tetapi mungkin perlawanan langsung melalui demonstrasi harus dilakukan.

"Karena DPR bukanlah konstitusi, tetapi penbuat UU, maka jelas ia tak bisa suka-suka pada putusan yang dikeluarkan oleh lembaga yang berwenang menafsirkan konstitusi. Itu sudah keterlaluan," ujarnya.

Bahwa DPR punya catatan evaluasi terhadap kinerja MK yang mungkin dinilai tidak konsisten atau semacamnya, ya ada panggung untuk mengevaluasi kinerja kelembagaan MK. Juga ada ruang bagi DPR untuk menyempurnakan kerja-kerja MK melalui revisi UU MK. Tapi keputusan resmi yang dibuat MK ngga bisa dihubung-hubungkan dengan soal lain terkait kinerja kelembagaan MK atau kapasitas hakim MK. Kan sama saja dengan DPR.

"Keputusan DPR itu juga kan mengikat semua warga negara walau keputusan itu mungkin tidak sempurna, walau kepercayaan publik terhadap DPR rendah. Kepercayaan terhadap DPR yang rendah tak membuat publik merasa bisa mengabaikan perintah UU yang dihasilkan oleh DPR kan? Jadi pisahkan urusan kepercayaan terhadap lembaga dan keputusan lembaga yang sifatnya mengikat. dan untuk keputusan MK sifatnya tak hanya mengikat tetapi juga FINAL. Masa yang begitu DPR ngga paham sih?," sindir Lucius.

Pasca proses di DPR yang mengutak-atik keputusan MK melalui revisi UU Pilkada, Lucius menambahkan respons publik di dunia maya menjadi nampak begitu luar biasa untuk menolak keputusan DPR mengubah keputusan MK.

"Publik nampaknya sudah capek membiarkan DPR dan Pemerintah semakin suka-suka melakukan sesuatu. Publik jengah dengan pengabaian DPR dan Pemerintah pada aspirasi dan pada aturan hukum yang ada," katanya menegaskan.

"Maka saya kira respons ini akan semakin masif ditunjukkan hingga bisa membatalkan arogansi sepihak DPR dan Pemerintah yang ingin mensegerakan pengesahan revisi UU Pilkada esok hari. Kita semua berharap ini akan ditangguhkan oleh DPR, dan keputusan MK yang akhirnya harus dijalankan," tandasnya.

Vetokrasi Elite Politik

Hal senada juga disampaikan SETARA Institute menilai persetujuan revisi UU Pilkada itu sebagai bentuk vetokrasi elite politik bernafsu menguasai seluruh ruang-ruang politik Pilkada 2024.

"Persetujuan Badan Legislasi DPR RI atas revisi UU Pilkada yang mengklaim merupakan tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi terkait syarat pengajuan calon gubernur, bupati, walikota, merupakan bentuk vetokrasi sebagian elite politik yang terlanjur nafsu menguasai seluruh ruang-ruang politik kontestasi Pilkada serentak 2024," demikian keterangan Ketua Badan Pengurus SETARA Institute, Ismail Hasani.

"Vetokrasi dalam konteks revisi UU Pilkada berbentuk kesepakatan elite yang memveto aspirasi publik dan kepemimpinan interpretasi konstitusi, yang sebelumnya oleh Mahkamah Konstitusi, melalui Putusan 60/PUU-XXII/2024 berupaya menyelamatkan demokrasi dari hegemoni dan tirani mayoritas," lanjutnya.

SETARA menilai revisi UU Pilkada itu cacat materiil. Menurutnya revisi UU itu berlangsung kilat karena selesai dalam 7 jam.

"Bukan hanya membangkangi putusan MK, revisi 7 jam atas UU Pilkada mengandung cacat materiil dan formil, karena rumusan syarat pencalonan ditafsir sesuai selera para vetokrat untuk kepentingan menguasai semua jalur dan saluran kandidasi Pilkada," tuturnya.

SETARA menyebut Baleg DPR melakukan akal-akalan dalam mentafsir putusan MK. SETARA juga mengkritik soal RUU Pilkada itu yang mengatur usia calon gubernur/wakil gubernur dihitung setelah dilantik.

"Penetapan syarat bervariasi yang telah ditetapkan MK, ditafsir oleh DPR sebagai tidak berlaku bagi partai yang memperoleh kursi di DPRD. Akal-akalan tafsir juga diberlakukan terkait tafsir konstitusional genapnya usia 30 tahun bagi seorang calon gubernur/wakil gubernur, yang dihitung sejak pencalonan," sebutnya.

SETARA menilai putusan MK seharusnya berlaku apa adanya ketika sudah dinyatakan berkekuatan hukum tetap, final, mengikat dan self executing. Kedudukan berlakunya Putusan MK adalah selayaknya berlakunya UU.

"Bentuk ketidakpatuhan DPR terhadap Putusan MK tersebut juga merupakan suatu pelanggaran hukum, yang selain menabrak tatanan konstitusional juga telah merobohkan prinsip checks and balances," jelasnya.

SETARA menambahkan revisi kilat UU Pilkada ini hanya untuk kepentingan elite. Hal itu sebagai bukti tidak adanya kepemimpinan dalam interpretasi konstitusi.

"Peragaan kehidupan demokrasi yang semakin rapuh, revisi kilat UU Pilkada untuk kepentingan elite dan pembangkangan putusan Mahkamah Konstitusi telah menjadi bukti tidak adanya kepemimpinan dalam interpretasi konstitusi (constitutional leadership) meski Indonesia memiliki Mahkamah Konstitusi. Tidak ada badan lain yang paling berwenang dalam menafsir konstitusi kecuali Mahkamah Konstitusi yang memegang judicial supremacy dalam menegakkan supremasi konstitusi," jelasnya.

"Konstitusi dan Mahkamah Konstitusi tidak lagi memegang supremasi judisial dalam menafsir konstitusi, karena pada akhirnya kehendak para vetokrat telah memenangkan kehendak segelintir elit yang tidak berpusat pada kepentingan rakyat. Tanpa kepemimpinan konstitusi, sistem ketatanegaraan Indonesia akan semakin rapuh dan semakin menjauh dari mandat respublika, karena rakyat dan aspirasi rakyat bukan lagi menjadi sentrum perumusan legislasi dan kebijakan publik," pungkasnya.

Sebelumnya, Badan Legislasi (Baleg) DPR bersama Pemerintah yang dihadiri langsung oleh Menteri Hukum dan HAM Supratman Andi Agtas dan Menteri Dalam Negeri RI sepakat mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pilkada .

Usai rapat Panja, lantas dilanjutkan Rapat Kerja Pengambilan Keputusan/Pembicaraan Tingkat I Atas Hasil Pembahasan RUU Tentang Perubahan Keempat Atas UU Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati Dan Walikota Menjadi UU.

Dalam Rapat Kerja Pengambilan Keputusan yang juga turut dihadiri oleh perwakilan Menteri Keuangan serta Pimpinan Komite I DPD RI tersebut, masing-masing Fraksi diberikan kesempatan menyampaikan Pandangan Fraksi. Setelah pandangan fraksi, Wakil Ketua Baleg DPR RI Achmad Baidowi selaku pimpinan sidang menyampaikan pernyataan kesimpulan bahwa RUU Pilkada disetujui oleh mayoritas Fraksi.

"Kita minta persetujuan dulu ya. Apakah penetapan, apakah hasil pembahasan RUU tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Walikota menjadi Undang-Undang dapat diproses lebih lanjut sesuai peraturan perundang-undangan?" ujar Awiek yang lantas dijawab,”setuju,” oleh mayoritas Fraksi.

“Alhamdulillah terima kasih kepada semua Fraksi yang tadi sudah menyampaikan pendapat akhirnya,” pungkas Awiek sapaan akrab Achmad Baidowi. Selanjutnya, Awiek mempersilakan kepada perwakilan Pemerintah untuk menyampaikan tanggapan.

Merespon hal itu, Mendagri Tito Karnavian menyampaikan Pemerintah menghormati pendapat semua fraksi yang berkembang dalam pembahasan terutama di Panja dan juga tentu menghormati pendapat mini satu persatu dari tiap-tiap Fraksi yang ada di Baleg DPR RI.

“Kami atas nama Pemerintah mengucapkan terima kasih sekaligus apresiasi kepada segenap Pimpinan dan anggota Badan Legislasi DPR RI juga Pimpinan dan Anggota DPD RI tim perumus tim sinkronisasi yang telah mencurahkan waktu dan pikiran dan mendapatkan secara umum umum mayoritas kesepakatan terhadap perubahan keempat atas UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang penetapan peraturan pemerintah pengganti undang-undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang pemilihan Gubernur, Bupati, Walikota menjadi Undang-Undang,” tuturnya.

“Demikian beberapa hal yang dapat kami sampaikan pada rapat kerja Tingkat Badan Legislasi DPR RI saat ini dan sikap Pemerintah setuju dan berhadap kesepakatan yang telah diperoleh ini dapat diteruskan untuk diambil keputusan dalam pengambilan keputusan tingkat dua atau rapat paripurna,” lanjutnya.

Selanjutnya, dilaksanakan penandatanganan draf RUU oleh anggota yang mewakili Fraksi (DPR RI), Pemerintah dan DPD RI. “Namun izinkanlah kami terlebih dahulu menutup rapat kerja sore ini dan nanti dilanjutkan dengan penandatanganan dan menjadi bagian tidak terpisahkan. Dengan mengucapkan Alhamdulillahi Robbil ‘Aalamin rapat kerja kami nyatakan ditutup. Terima kasih kurang lebihnya, mohon maaf, wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh,” tutupnya.

(cw1/Nusantaraterkini.co)

Advertising

Iklan