Otomatis
Mode Gelap
Mode Terang

DPR dan Pemerintah Didorong Bentuk Kurikulum Ajarkan Anak Berani Terhadap Bentuk Pelecehan

Editor:  Rozie Winata
Reporter: Luki Setiawan
WhatsApp LogoTemukan Nusantaraterkini.co di WhatsApp!!
Wakil Ketua Komisi X DPR, Lalu Hadrian Irfani. (Foto: dok DPR)

Nusantaraterkini.co, JAKARTA - Komisi X DPR menyoroti maraknya kasus pencabulan di lingkungan pendidikan, terutama di sekolah dan pesantren

Komisi X DPR pun mendorong pemerintah bersama DPR untuk membentuk kurikulum yang mengajarkan anak memberi rasa hormat terhadap diri dan berani terhadap bentuk pelecehan.

"Kurikulum ini harus dirancang lintas disiplin, menginspirasi rasa hormat terhadap tubuh, mengajarkan batasan, mengenalkan hak-hak anak, serta membangun keberanian untuk berkata 'tidak' terhadap pelecehan," kata Wakil Ketua Komisi X DPR Lalu Hadrian Irfani, Rabu (23/7/2025).

Lalu mengatakan, sekolah dan pesantren yang mestinya memberi rasa aman justru masih ditemukan kasus yang membuat resah orang tua. Ia mengungkap 42 persen pencabulan tejadi di lingkungan pendidikan.

"Namun, fakta di lapangan menunjukkan sebaliknya, tempat yang seharusnya menjadi rumah kedua bagi anak-anak kini berubah menjadi arena teror, tempat di mana kepercayaan dilukai dan harapan dikhianati," ujarnya.

Baca Juga: APKPSI Gelar Pertemuan Terkait Peninjauan dan Pemetaan Kurikulum Inti Prodi Kesejahteraan Sosial/Pekerjaan Sosial

"Ironisnya, 42 persen di antaranya adalah pencabulan, menjadikannya bentuk kekerasan paling dominan di satuan pendidikan. Sebanyak 36 persen kasus bahkan terjadi di lembaga pendidikan berbasis agama, termasuk pesantren dan madrasah," sambungnya.

Menurut Lalu, tidak sedikit korban yang merupakan anak-anak usia SD dan SMP. Ia mengatakan pelaku pencabulan itu mayoritas adalah pihak yang dipercaya membimbing anak-anak seperti guru, ustaz hingga pengasuh pondok pesantren.

"Ini bukan lagi soal moral individu. Ini soal sistem. Maka, negara harus hadir dengan langkah struktural," ucapnya.

Ia menekankan semua pihak mesti berbicara tentang pencegahan sistemik. Menurutnya dibutuhkan kurikulum nasional yang berani menyentuh akar persoalan.

"Kurikulum ini harus dirancang lintas disiplin, menginspirasi rasa hormat terhadap tubuh, mengajarkan batasan, mengenalkan hak-hak anak, serta membangun keberanian untuk berkata 'tidak' terhadap pelecehan," kata dia.

Lalu mencontohkan di beberapa negara Eropa seperti Belanda, Jerman, dan Swedia, yang sudah lama menerapkan pendidikan seksual berbasis perlindungan anak (child protection curriculum). 

Baca Juga: Abdul Mu’ti Kembalikan Kurikulum IPA, IPS dan Bahasa, Warganet: Pendidikan Tergantung Menterinya

Dia mengatakan di Belanda, program 'Kriebels in je buik' (Butterflies in your stomach) bukan hanya untuk mengajarkan seksualitas, tetapi membangun pemahaman tentang batas tubuh, rasa aman, dan kepercayaan diri menolak sentuhan yang tidak nyaman.

Lalu Hadrian berharap Indonesia tidak tertinggal dengan upaya menghapuskan pencabulan di lingkungan pendidikan. 

Dia menyatakan pemerintah dan DPR bisa memulai langkah strategis pertama dengan penyusunan kurikulum berbasis pencegahan pencabulan.

"Kedua, pelatihan guru, pembina pesantren, dan seluruh tenaga kependidikan untuk memahami etika relasi kekuasaan dan sensitivitas perlindungan anak," katanya.

Baca Juga: Ketua DPD Sambut Baik Usulan Pendidikan Hijau Masuk dalam Kurikulum Pendidikan Nasional

Langkah ketiga melalui mekanisme pelaporan yang aman dan berpihak pada korban. Termasuk menyertakan pesantren yang selama ini dinilai tertutup dari pengawasan eksternal.

"Keempat dengan pemodelan sekolah dan pesantren percontohan sebagai zona aman (safe school and pesantren zone)," ujar dia.

"Saya percaya, bangsa ini masih memiliki nurani. Tapi nurani itu harus diperkuat oleh kebijakan yang berpihak dan regulasi yang tegas. Kita tidak bisa lagi menormalisasi kekerasan atas nama pendidikan. Kita tidak bisa diam saat tubuh dan jiwa anak-anak kita dihancurkan oleh mereka yang sejatinya harus menjadi pelindung," imbuhnya.

(cw1/Nusantaraterkini.co)

Advertising

Iklan