Otomatis
Mode Gelap
Mode Terang

Agenda Tahunan atau Alarm Bahaya? Saat Karhutla Dianggap Biasa di Samosir

Editor:  Feriansyah Nasution
Reporter: Redaksi
WhatsApp LogoTemukan Nusantaraterkini.co di WhatsApp!!
Ketua Pusat Studi Geopark Indonesia/Penggiat Lingkungan, Dr. Wilmar Eliaser Simandjorang, Dipl.Ec., M.Si. (Foto: Dok.Pribadi)

Oleh: Dr. Wilmar Eliaser Simandjorang, Dipl.Ec., M.Si

Kebakaran hutan dan lahan (karhutla) kembali terjadi di wilayah perbukitan sekitar Danau Toba, tepatnya di sekitar Menara Pandang Tele, Turpuk Limbong, Kecamatan Harian, Kabupaten Samosir, pada Sabtu malam 19 Juli 2025. Kobaran api melahap lahan, menghancurkan vegetasi, dan menghanguskan warung serta barang-barang milik warga.

Ironisnya, peristiwa ini dianggap hal biasa oleh sebagian warga. Kebakaran bahkan disebut sebagai “agenda tahunan musim kemarau”, sesuatu yang telah berlangsung bertahun-tahun dan dinilai tidak perlu dikhawatirkan. Pandangan ini justru menunjukkan lemahnya kesadaran masyarakat terhadap bahaya nyata kerusakan ekosistem.

“Kebakaran hutan di Samosir sudah biasa. Setiap musim kemarau pasti terjadi, karena angin kencang dan lahan kering. Jadi tidak perlu panik,” kata seorang warga setempat, saat dimintai tanggapan oleh wartawan, Minggu 19 Juli 2025, yang diberitakan oleh Nusantaraterkini.co.

Baca Juga: Tele Menangis: Ketika Warisan 300 Juta Tahun Terbakar

Pernyataan seperti ini perlu dikritisi. Normalisasi terhadap karhutla adalah sikap keliru yang bisa berdampak serius bagi lingkungan, pariwisata, dan kehidupan jangka panjang masyarakat itu sendiri.

Bencana Bukan Tradisi

Dilihat dari segi ekologis, sikap masyarakat yang menganggap kebakaran sebagai hal biasa dan menyebutnya sebagai “agenda tahunan musim kemarau” bukan hanya berbahaya, tetapi juga berlawanan dengan nilai-nilai budaya lokal. Narasi ini tidak mencerminkan kearifan masyarakat Kawasan Tele secara menyeluruh, melainkan menjadi bentuk penyimpangan terhadap tradisi dan nilai-nilai ekologis yang diwariskan leluhur.

Masyarakat Batak memiliki kearifan lokal yang tinggi dalam menjaga alam. Konsep "tokka" dalam budaya Batak menyiratkan adanya larangan adat terhadap tindakan yang merusak alam, termasuk pembakaran hutan. Hutan tidak hanya dianggap sebagai sumber kehidupan, tetapi juga sebagai ruang spiritual yang dihormati dan dijaga.

“Masyarakat Batak dahulu mengenal konsep tokka, yaitu pantangan adat yang melarang tindakan ceroboh terhadap alam, termasuk hutan yang dianggap sakral. Ketika hutan dibakar tanpa kendali, bukan hanya merusak ekosistem, tapi juga menodai nilai budaya,”

Dengan demikian, anggapan bahwa karhutla adalah kejadian “wajar” setiap tahun justru bertentangan dengan spirit budaya lokal. Jika dibiarkan, hal ini dapat menyebabkan tergerusnya nilai-nilai luhur serta mempercepat kerusakan lingkungan yang berdampak pada seluruh kehidupan sosial-ekonomi masyarakat.

Baca Juga: Toba Membara: Geopark di Persimpangan Krisis Iklim dan Harapan Keberlanjutan

Dampak Lingkungan dan Ancaman Terhadap Geopark

Secara geografis dan ekologis, kawasan Danau Toba, termasuk Samosir, adalah bagian dari Geopark Global UNESCO, yang berarti kawasan ini memiliki nilai geologi, ekologi, dan budaya yang luar biasa dan harus dijaga kelestariannya. 

Kebakaran hutan di area ini tidak hanya merusak vegetasi dan habitat satwa liar, tetapi juga menurunkan nilai konservasi dan mengancam status Geopark itu sendiri.

Jika kawasan ini terus mengalami karhutla secara berulang, maka bukan tidak mungkin akan ada evaluasi dari UNESCO terkait komitmen pengelolaan geopark oleh masyarakat dan pemerintah daerah.

Kehilangan status Geopark Global akan menjadi pukulan besar terhadap citra pariwisata Danau Toba, yang selama ini diandalkan sebagai motor ekonomi lokal.

Saatnya Menolak Pembiaran, Saatnya Bergerak

Menormalisasi karhutla sama dengan menunda kerusakan yang lebih besar. Kita tidak bisa terus-menerus mengandalkan alam, tanpa memberi timbal balik dalam bentuk perlindungan dan pengelolaan yang berkelanjutan. Pemerintah daerah, tokoh adat, pemuka agama, dan masyarakat sipil harus bersatu untuk menyuarakan dan menegakkan larangan terhadap pembakaran liar, serta mendorong penegakan hukum yang tegas.

Edukasi kepada generasi muda dan integrasi nilai-nilai kearifan lokal dalam kurikulum pendidikan juga menjadi langkah penting. Kita harus menghidupkan kembali semangat mencintai alam seperti yang diwariskan oleh para leluhur. Jika tidak, maka anak cucu kita hanya akan mewarisi cerita tentang keindahan Danau Toba, tanpa pernah melihatnya dalam kenyataan.

Penutup

Kebakaran hutan bukanlah agenda tahunan. Ia adalah alarm bahaya yang memperingatkan kita bahwa ada yang salah dalam cara kita memperlakukan alam. Di tengah krisis iklim global, Samosir seharusnya menjadi contoh pelestarian, bukan zona abu-abu pembiaran. Saatnya kita bangun, sadar, dan bertindak. Karena menjaga hutan, sama dengan menjaga kehidupan kita sendiri. (*) 

Penulis adalah Ketua Pusat Studi Geopark Indonesia/Penggiat Lingkungan