Otomatis
Mode Gelap
Mode Terang

Toba Membara: Geopark di Persimpangan Krisis Iklim dan Harapan Keberlanjutan

Editor:  Feriansyah Nasution
Reporter: Redaksi
WhatsApp LogoTemukan Nusantaraterkini.co di WhatsApp!!
Kolase Foto. Ketua Pusat Studi Geopark Indonesia/Penggiat Lingkungan, Wilmar Eliaser Simandjorang saat observasi Lereng Gunung Pusuk Buhit yang tampak botak setelah terus menerus terbakar. Kondisi api membara pada kebakaran lahan di Pusuk Buhit beberapa waktu lalu, dan kebakaran yang terjadi malam ini. (Foto-foto: Istimewa)

Oleh: Dr. Wilmar Eliaser Simandjorang, Dipl.Ec., M.Si

Danau Toba, dengan bentang alamnya yang memukau serta kisah geologisnya yang menakjubkan, menyimpan warisan alam dan budaya yang kaya. 

Namun, hampir setiap tahun, dari Mei hingga awal Juli, lanskap perbukitan yang membingkai kawasan Geopark Toba menyala oleh jilatan api. 

Fenomena ini bukan lagi sekadar insiden ekologis musiman, melainkan cerminan dari krisis yang lebih besar: perubahan iklim dan pemanasan global.

Kebakaran di kawasan perbukitan—mulai dari Huta Ginjang Muara, Bakkara Tipang, Sigulatti, Pusuk Buhit, Sillahi Nabolak, Tongging, Haranggaol—telah menjadi pola berulang.

Api membakar vegetasi kering yang terpapar suhu tinggi dan kelembapan rendah, kondisi yang kian ekstrem akibat pemanasan global.

Tahun ini, tren kebakaran muncul lebih awal dan meluas.

Dari Mei hingga saat tulisan ini disusun menjelang akhir Juli 2025, telah tercatat sejumlah kejadian kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) sebagaimana disampaikan dalam Rapat Koordinasi Penanganan Karhutla yang bertujuan meningkatkan koordinasi dan sinergi antara Pemerintah Provinsi Sumatera Utara, TNI/Polri, pemerintah kabupaten, dan instansi terkait di Kawasan Toba Caldera UNESCO Global Geopark.

Menurut data BPBD Sumatera Utara dalam rapat yang digelar pada 17 Juli 2025 di Kabupaten Samosir, tercatat:

• Samosir: 12 kejadian

• Toba: 9 kejadian

• Karo: 8 kejadian

• Simalungun: 4 kejadian

• Humbang Hasundutan: 3 kejadian

• Dairi: 3 kejadian

• Tapanuli Utara: 2 kejadian

Hingga Sabtu, 19 Juli 2025, kebakaran masih terus berlangsung di kawasan Geopark.

Ironisnya, banyak dari titik api tersebut berada di zona-zona strategis geosite, bagian penting dari warisan geologi dunia yang telah diakui UNESCO.

Jejak Krisis Iklim di Tanah Geologi Purba

Pemanasan global bukan lagi sekadar statistik atau wacana akademis—ia telah menapak langsung di tanah kita. Peningkatan suhu permukaan dan perubahan pola hujan mengubah ekosistem hutan tropis menjadi kawasan yang mudah terbakar.

Data satelit menunjukkan bahwa anomali suhu permukaan di kawasan Sumatera Utara meningkat signifikan dalam satu dekade terakhir, menciptakan kondisi pra-kering yang memicu kebakaran liar.

Secara ekologis, kebakaran berulang mempercepat degradasi keanekaragaman hayati dan merusak struktur tanah.

Secara sosial, hal ini mengguncang komunitas lokal yang menggantungkan hidup pada hasil hutan, pertanian, dan pariwisata.

Dari sudut pandang geopark, kebakaran ini mengancam integritas warisan geologi, budaya, dan hayati—tiga pilar utama pengakuan Geopark Toba oleh UNESCO.

Toba dalam Bingkai Pembangunan Berkelanjutan (SDGs): Mengelola Warisan dengan Visi Masa Depan

Kawasan Geopark Toba seharusnya menjadi etalase penerapan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs)—bukan hanya karena nilai geologisnya, tetapi juga karena potensi transformasinya.

Namun untuk itu, pengelolaan geopark harus direorientasikan: dari pendekatan yang eksploitatif atau seremonial menuju paradigma adaptif dan berketahanan iklim.

Berikut adalah beberapa langkah konkret yang dapat dilakukan:

1. Pemantauan Risiko dan Pencegahan Kebakaran Berbasis Komunitas (SDG 13: Aksi Iklim)

Pembangunan sistem peringatan dini berbasis data satelit, serta pelibatan masyarakat adat sebagai penjaga lanskap, dapat menekan laju kebakaran. Kearifan lokal—seperti pemetaan angin dan siklus musim—harus diintegrasikan ke dalam kebijakan mitigasi iklim.

2. Restorasi Ekosistem Perbukitan (SDG 15: Kehidupan di Darat)

Program penghijauan dengan vegetasi asli dan tanaman konservasi air dapat mengurangi risiko kebakaran serta memulihkan daya dukung ekologis kawasan.

3. Pariwisata Berkelanjutan yang Tahan Iklim (SDG 8 dan SDG 12)

Mengembangkan paket wisata geologi yang rendah emisi karbon serta melatih pelaku wisata sebagai duta konservasi adalah strategi menjaga keseimbangan antara nilai ekonomi dan ekologis geopark.

4. Pendidikan Iklim Berbasis Geowisata (SDG 4: Pendidikan Berkualitas)

Geopark harus menjadi pusat literasi perubahan iklim—di mana setiap kunjungan tidak hanya menjadi pengalaman visual, tetapi juga membangkitkan kesadaran kritis terhadap krisis planet yang tengah berlangsung.

Menjaga Api Warisan, Memadamkan Api Kehancuran

Kawasan Danau Toba bukan sekadar situs geologi, tetapi simbol relasi manusia dengan bumi purba.

Dalam konteks krisis iklim, geopark bukan lagi hanya destinasi wisata, tetapi medan perjuangan antara keberlanjutan dan kehancuran.

Api yang membakar perbukitan tak hanya melahap vegetasi, tapi juga menghanguskan harapan akan bumi yang layak diwariskan kepada generasi mendatang.

Pengelolaan Geopark Toba harus sejalan dengan semangat Pembangunan Berkelanjutan (SDGs)—mengintegrasikan pelestarian alam, partisipasi masyarakat, dan transformasi kebijakan.

Tanpa itu, kebakaran tidak hanya akan terus terjadi, tetapi juga akan menjadi simbol kegagalan kolektif kita dalam menjawab tantangan terbesar abad ini: perubahan iklim. (*) 

Penulis adalah Ketua Pusat Studi Geopark Indonesia/Penggiat Lingkungan

Advertising

Iklan