Otomatis
Mode Gelap
Mode Terang

Tarif AS untuk RI Turun 19%, Ekonom: Kebijakan Fiskal & Moneter Tanah Air Tertekan

Editor:  hendra
Reporter: Luki Setiawan
WhatsApp LogoTemukan Nusantaraterkini.co di WhatsApp!!
Syafruddin Karimi (Foto: dok. universitasandalas)

nusantaraterkini.co, JAKARTA - Presiden Amerika Serikat Donald Trump memutuskan tarif resiprokal sebesar 19 persen kepada pemerintah Indonesia. Angka ini turun dibandingkan besaran sebelumnya sebesar 32 persen kepada barang-barang Indonesia yang masuk ke Amerika Serikat. 

Ekonom Universitas Andalas Syafruddin Karimi menilai ketimpangan tarif dagang 19% yang disepakati antara Indonesia dan Amerika Serikat (AS) berpotensi menekan kondisi fiskal dan moneter di Tanah Air.

Hal tersebut, menurutnya, dilatarbelakangi dampak di berbagai sektor akibat Amerika Serikat yang cenderung akan mendominasi pasar dalam negeri melalui keran impor. Sedangkan dari sisi ekspor, Indonesia tidak melakukan upaya penguatan atau tidak adanya kebijakan berimbang.

"Dalam kondisi seperti ini, kebijakan fiskal dan moneter pun akan semakin tertekan," ujar Syafruddin, Kamis (17/7/2025).

Lebih detail, Syafruddin menyebut, banjirnya barang-barang impor berpotensi melemahkan industri dalam negeri, terutama sektor-sektor yang belum sepenuhnya kompetitif. Tekanan ini bisa memicu penurunan produksi, pemutusan hubungan kerja, bahkan gejala deindustrialisasi dini.

Akibatnya, pemerintah bukan tidak mungkin harus mengalokasikan subsidi tambahan untuk meredam dampak sosial ekonomi. Sementara ketimpangan pasar dapat menimbulkan tekanan terhadap nilai tukar rupiah, memicu inflasi berbasis impor, dan meningkatkan volatilitas harga pangan.

Lebih detail, Syafruddin menyebut, banjirnya barang-barang impor berpotensi melemahkan industri dalam negeri, terutama sektor-sektor yang belum sepenuhnya kompetitif. Tekanan ini bisa memicu penurunan produksi, pemutusan hubungan kerja, bahkan gejala deindustrialisasi dini.

Akibatnya, pemerintah bukan tidak mungkin harus mengalokasikan subsidi tambahan untuk meredam dampak sosial ekonomi, sementara ketimpangan pasar bisa menimbulkan tekanan terhadap nilai tukar rupiah, memicu inflasi berbasis impor, dan meningkatkan volatilitas harga pangan. 

"Semua ini menciptakan tantangan serius bagi stabilitas ekonomi makro yang justru tergerus akibat skema dagang yang tidak imbang," tambahnya.

Syafruddin juga mengingatkan kesepakatan dagang yang membuka keran impor secara besar-besaran dari AS tanpa memperkuat daya saing ekspor, justru berisiko menjadi beban terhadap pertumbuhan ekonomi nasional. Dia menyebut, ekspor yang stagnan dan impor yang melonjak dari AS dikhawatirkan dapat menggerus laju pertumbuhan berdasarkan postur perhitungan PDB.

"Dalam kerangka perhitungan PDB di mana pendapatan sama dengan konsumsi ditambah dengan investasi, belanja pemerintah, serta neraca ekspor-impor (Y = C + I + G + X – M), jika ekspor (x) stagnan akibat tarif sepihak 19% dan impor (M) melonjak karena akses penuh produk AS terhadap pasar domestik, maka kontribusi sektor eksternal dapat menyumbang posisi negatif, atau dalam hal ini menggerus laju pertumbuhan secara keseluruhan," urai Syafruddin.

Momentum Genjot Ekspor

Sementara itu, Ketua Umum Apindo Shinta Wijaya Kamdani menyebut penurunan tarif ini merupakan kemajuan yang signifikan bagi ekspor Indonesia, khususnya ke pasar Negeri Paman Sam tersebut.

Saat ini, sekitar 61 persen dari total ekspor Indonesia ditujukan ke AS, sehingga tarif yang lebih rendah akan meningkatkan daya saing produk nasional di pasar global.

"Justru ini akan membantu ekspor kita ke Amerika dan meningkatkan daya saing kita dibanding negara-negara tetangga. Tapi kita juga harus cermat melihat produk impor dari Amerika, karena banyak di antaranya bukan produk yang kompetitif di pasar Indonesia," kata Shinta.

Apindo melihat peluang besar dari penurunan tarif tersebut dan siap menyusun strategi untuk mengoptimalkan manfaatnya bagi sektor ekspor.Shinta menyebut saat ini proses negosiasi antara Indonesia dan AS masih berlangsung dan belum mencapai kesepakatan akhir. 

Oleh karena itu, Apindo terus berkoordinasi dengan pemerintah untuk menyamakan posisi dan menjaga agar kebijakan tersebut tidak merugikan industri dalam negeri.

Asosiasi pengusaha berharap penurunan tarif ini diharapkan menjadi angin segar bagi pengusaha nasional, terutama di tengah upaya memperluas akses pasar ekspor dan menjaga stabilitas ekonomi nasional.

"Tapi memang ini masih tahap negosiasi, jadi kita belum tahu finalnya, angkanya didapat angka berapa. Karena kini tarifnya juga sudah rendah di Indonesia. Makanya ini masih tahap proses negosiasi, kita harus samakan posisinya bagaimana. Jadi dari awal kita katakan produk impor Amerika ke Indonesia itu bukan produk yang kompetitif. Dan memang kenapa saat ini tarifnya rendah, hampir nol," ujarnya.

Apindo juga mengapresiasi langkah strategis pemerintah dalam melakukan negosiasi dengan Amerika Serikat, termasuk dalam menyusun proposal dan komitmen pembelian produk AS sebagai bagian dari syarat penurunan tarif.

"Kami sangat mengapresiasi upaya pemerintah dalam diplomasi ini. Semua proses negosiasi sudah sejak awal dikonsultasikan dengan pelaku usaha, termasuk identifikasi produk-produk yang dibutuhkan dari Amerika seperti gandum, kedelai, kapas, jagung, crude oil, hingga pesawat Boeing," ujar Shinta.

Seimbangkan Neraca Perdagangan

Terpisah, Anggota Komisi XI DPR Bertu Merlas mengatakan, pengenaan tarif adalah upaya amerika untuk menyeimbangkan neraca perdagangan yang selama ini surplus bagi indonesia.  

“Keputusan tarif resiprokal sebesar 19 persen kepada produk Indonesia yang masuk ke Amerika Serikat ini harus diapresiasi. Ini artinya pemerintah Indonesia serius melakukan negoisiasi kepada pemerintah Amerika Serikat. Penurunan angka yang ditetapkan ini berdampak baik karena angka yang ditetapkan tidak sebesar angka sebelumnya. Ini adalah upaya menyeimbangkan neraca perdagangan Amerika yang selama ini surplus bagi Indonesia,” ungkap Bertu.

Keputusan tarif resiprokal sebesar 19 persen ini berbarengan dengan kompensasi Indonesia membeli komoditas energi Amerika Serikat sebesar US$ 15 miliar atau sekitar Rp 243,9 triliun (asumsi kurs Rp 16.260 per dolar Amerika Serikat). Selain itu, Indonesia juga akan membeli 50 pesawat Boeing sebagai bagian kesepakatan perdagangan yang dinegosiasi kedua negara. 

Terkait pembelian komoditas energi Amerika Serikat sebesar US$ 15 miliar, Bertu mengatakan ini merupakan strategi menyeimbangan neraca perdagangan. Selama ini neraca perdagangan Indonesia dan Amerika Serikat sejak tahun 2024, surplus sebesar 14,5 miliar dolar atau sekitar Rp 200 triliun berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS). 

“Surplus sebesar 14,5 miliar dollar ini adalah angka yang cukup besar. Saya yakin neraca perdagangan kita terhadap Amerika akan tetap surplus di tahun ini maupun tahun-tahun mendatang. Kita harus percaya diri bahwa neraca perdagangan Indonesia ke Amerika Serikat akan selalu surplus,” tambahnya. 

Pemerintah Indonesia selama ini, kata Bertu, selama ini telah melakukan impor energi. Pada awal Juli 2025, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) telah memetakan komoditas belanja energi Indonesia dari Amerika Serikat senilai 15,5 miliar dollar AS sekitar Rp 250,87 triliun yang terdiri atas LPG dan crude (minyak mentah) sebagai bagian upaya negosiasi tarif. 

Untuk pembelian pesawat Boeing sebanyak 50 unit, Bertu mengatakan adanya antrean, saat ini membutuhkan waktu tiga tahun jika dipesan sekarang. Berdasarkan aturan Administrasi Penerbangan Federal (FAA) untuk menjamin mutu, pesawat Boeing hanya bisa memproduksi 10 hingga 38 unit per bulan tergantung tipe pesawat.   

“Beli pesawat Beoing itu butuh waktu tiga tahun. Jadi setahun misalnya beli 15 unit, maka butuh waktu sekitar tiga tahun. Nilai pesawat boeing dan impor energi tidak akan menutupi surplus tersebut,” pungkasnya.

Sebelumnya, Presiden Donald Trump memutuskan untuk mengurangi besaran tarif resiprokal terhadap produk impor Indonesia. Tarif imbal balik yang awalnya dipatok 32 persen dipangkas menjadi 19 persen.

Penurunan tarif impor ini datang dengan konsekuensi. 

Ekspor dari Amerika Serikat ke Indonesia akan bebas dari tarif dan hambatan non-tarif. 

“Indonesia akan membayar kepada Amerika Serikat tarif sebesar 19 persen atas semua barang yang diekspor ke AS, sementara ekspor AS ke Indonesia akan bebas dari tarif dan hambatan non-tarif,” tulis Trump melalui akun @realDonaldTrump di media sosial Truth Social, Selasa, 16 Juli 2025. 

(Cw1/nusantaraterkini.co).

Advertising

Iklan