Otomatis
Mode Gelap
Mode Terang

Soal Pemberian Gelar Pahlawan Nasional 'Soeharto', Pengamat: Pemerintah Harus Punya Pertimbangan Logis

Editor:  hendra
Reporter: Luki Setiawan
WhatsApp LogoTemukan Nusantaraterkini.co di WhatsApp!!
Soal Pemberian Gelar Pahlawan Nasional 'Soeharto', Pengamat: Pemerintah Harus Punya Pertimbangan Logis. Teguh Yuwono (Foto: dok.UNDIP).

nusantaraterkini.co, JAKARTA - Nama Presiden ke-2 RI Soeharto masuk dalam daftar pemberian gelar pahlawan nasional yang sedang dibahas oleh Kemensos bersama pihak terkait. Namun, sejumlah pihak justru menolak jika Soeharto diberikan gelar pahlawan nasional karena pernah tersandung banyak skandal meskipun tak menutup mata sejarah jika Soeharto pernah membawa Indonesia menjadi negara disegani di eranya.

Menanggapi hal itu, Pengamat politik dari Universitas Diponegoro (undip) Semarang, Teguh Yuwono menilai rencana pemberian gelar pahlawan nasional kepada mantan Presiden Soeharto adalah dilematis.

"Dilematis karena selain pernah menjadi tentara dalam melawan penjajah Belanda dan mantan Presiden RI, Soeharto juga dikenal sebagai tokoh yang tidak demokratis saat memerintah sehingga memunculkan berbagai krisis di Indonesia," kata Teguh Yuwono, Kamis (24/4/2025).

Ia mengatakan, pemerintah dituntut berani dan tegas dalam mengambil kebijakan dan keputusan terkait dengan hal tersebut untuk meredakan situasi ketidakpastian yang ada di masyarakat saat ini.

Menurut dia, kebijakan dan keputusan yang diambil pemerintah harus melalui pertimbangan-pertimbangan yang logis dan penilaian yang berkesinambungan karena pahlawan mempunyai makna sebagai figur tanpa cela.

"Yang dimaksud penilaian berkesinambungan adalah penilaian yang dilakukan terhadap seseorang yang akan diberi gelar pahlawan nasional, apakah yang bersangkutan merupakan sosok yang menjalankan tugas dan peran pokoknya sebagai warga negara Indonesia dari lahir hingga wafat," ujarnya.

Selain itu, kata dia, juga perlu dilihat seberapa jauh kontribusi yang telah diberikan seseorang dalam hal ini Soeharto yang berperan besar dalam pembangunan di Indonesia serta tidak terlepas dari kesalahan yang telah dilakukan.

"Bahkan beberapa pahlawan nasional seperti Soekarno dan Mohammad Hatta juga bukan sosok yang tanpa cela," katanya.

Menurut dia, terlepas dari kebijakan dan keputusan apa yang akan diambil pemerintah nantinya pasti akan menimbulkan pro dan kontra dari masyarakat yang biasa terjadi pada sistem pemerintahan yang menganut paham demokrasi.

Jangan Dijadikan Alat Politik

Sementara itu, Wakil Ketua Fraksi Partai Golkar MPR Firman Soebagyo mendukung wacana pemberian gelar pahlawan nasional bagi Presiden Ke-2 RI Soeharto. Ia menilai secara fair, Pak Harto atas segala jasa-jasanya membangun Indonesia sangat layak untuk diberikan gelar pahlawan nasional.

Firman berharap, wacana pemberian gelar bagi Pak Harto ini tidak menjadi polemik apalagi hanya menjadi kepentingan politik sesaat. Lebih dari itu, pemberian gelar pahlawan nasional merupakan peletak prasasti sejarah kebangsaan Indonesia. Bahwa Pak Harto sebagai Presiden RI pernah memberikan kontribusi dan jasa hingga Indonesia menjadi seperti sekarang ini.

“Menyikapi terhadap pemberian penghargaan pahlawan nasional, hendaknya jangan dijadikan alat politik. Penghargaan itu diberikan karena ada kepentingan politik sesaat. Pemerintah kami berharap harus secara fair menentukan siapa yang berhak untuk menerima gelar pahlawan,” kata Firman.

“Mohon kepada bapak presiden, saya sebagai kader Partai Golkar mengusulkan sekali lagi, agar Pak Harto diberikan gelar pahlawan nasional. Pak Harto merupakan Presiden Ke-2 yang telah membawa kebangkitan bangsa kita dari ketertindasan di zaman penjajahan dan kemudian kita bisa bangkit karena ekonomi kita,” sambung Firman.

Pak Harto sendiri merupakan sosok penting hingga ia dijuluki sebagai bapak pembangunan Indonesia. Di masa kepemimpinannya, Indonesia menorehkan berbagai catatan gemilang. Seperti misalnya membangkitkan Indonesia dari keterpurukan ekonomi dari peninggalan pemerintahan orde lama.

Pada tahun 1967, Indonesia punya utang luar negeri sebesar US$700 juta, dan Soeharto dibantu para pakar ekonomi, terutama Soemitro Djojohadikoesoemo, yang merupakan ayah Prabowo Subianto. Soeharto membalikkan keadaan yang berpuncak pada swasembada pangan pada 1984.

“Tanpa Pak Harto, tanpa Orde Baru yang 32 tahun berkuasa tidak akan Indonesia seperti ini. Semangat perjuangan, disiplin yang beliau lakukan, bagaimana gerakan beliau untuk swasembada pangan, gerakan beliau untuk melawan intervensi asing, untuk mendirikan pabrik pupuk saja tidak boleh oleh World Bank, beliau menantangnya,” papar anggota Komisi IV DPR RI ini.

Di masa kepemimpinan Pak Harto pula, nilai dolar hanya Rp 378 saja pada tahun 1971. Dampaknya membuat barang murah dan sangat terjangkau. Angka Rp 378 ini kemudian makin naik tiap tahunnya, hingga pada 1997 nilainya menjadi Rp. 2.500. Dulu nilai ini termasuk sangat tinggi, namun lagi-lagi rakyat tidak begitu merasakan dampaknya.

Selain itu, jauh sebelum Presiden Prabowo menginisiasi program makan bergizi gratis, Pak Harto sudah seringkali menyampaikan pentingnya asupan gizi anak untuk meningkatkan pembangunan. Sebagai aset bangsa, generasi penerus harus tercukupi dari sisi gizi. Bila gizi terpenuhi, maka upaya pembangunan manusia pun akan makin mudah terwujud.

“Tetapi karena reformasi, apa yang menjadi konsep kontribusi pemikiran Pak Harto dianggap tidak baik. Semuanya itu dianggap sesuatu yang tidak bermanfaat. Kita sadar sekarang ini bahwa apa yang disampaikan beliau betul adanya. Semisal petani kita itu menjadi salah satu ujung tombak penyedia pangan, di Indonesia ini anak muda dipersiapkan untuk alih teknologi dan kemudian seperti konsep jalan tol,” tutur Firman.

Oleh karenanya, Firman yang juga menjabat sebagai Wakil Ketua Umum KADIN Indonesia ini berpendapat bahwa Pak Harto telah memberikan sejarah penting bagi perjalanan kemajuan pembangunan RI. Gelar pahlawan nasional bagi Pak Harto pun menjadi sebuah keniscayaan.

“Semua yang dibangun sudah ada perencanaan jangka panjang oleh beliau. Suara kami dari generasi muda, generasi penerus bahwa Pak Harto adalah bagian dari pembangunan Indonesia dan sudah layak untuk mendapatkan gelar pahlawan nasional,” tutup Firman Soebagyo.

Diketahui, Menteri Sosial Saifullah Yusuf menjelaskan pengusulan gelar pahlawan nasional, termasuk nama bekas Presiden Soeharto, bermula dari usulan masyarakat. Usulan tersebut, menurutnya, berawal dari masukan seminar dan tokoh setempat, yang kemudian disampaikan ke bupati atau wali kota.

"Setelah itu, nanti prosesnya naik ke atas, ke gubernur. Ada seminar lagi, setelahnya baru ke kami," ujar Saifullah Yusuf.

Kementerian Sosial, melalui Direktorat Jenderal Pemberdayaan Sosial, membentuk tim yang terdiri dari akademisi, sejarawan, tokoh agama, dan tokoh masyarakat untuk memproses semua usulan dari gubernur se-Indonesia.

"Nah, setelah itu, nanti kami matangkan. Saya akan mendiskusikan, dan memfinalisasi. Kami tanda tangani. Langsung kami kirim ke Dewan Gelar," lanjutnya. 

(cw1/nusantaraterkini.co).

Advertising

Iklan