nusantaraterkini.co, MEDAN - Di bawah matahari yang memanggang aspal Jalan Karya Wisata, Medan Johor, seorang perempuan paruh baya tampak sibuk merapikan dagangannya, pisang mas yang diikat rapi dalam sisir-sisir kecil. Di sisi lapak tenda yang dihibahkan orang itu, berdirilah sepeda yang mulai berkarat, setia menemaninya saban hari menempuh tujuh kilometer dari rumah, menuju tempat berdagang.
Namanya Nani berusia 58 tahun. Wajahnya dihiasi garis-garis usia, namun semangat hidupnya tetap menyala.
“Kalau tidak begini, siapa lagi yang kasih makan suami saya?” katanya sembari menejelaskan kondisi suaminya yang telah lama terbaring karena sakit, pada Senin (30/6/2025).
Setiap hari, sebelum fajar menyingsing, Nani sudah memulai rutinitasnya. Ia mengayuh sepeda tua miliknya dari rumahnya di pinggiran Jalan Marindal, Kecamatan Delitua, Kabupaten Deliserdang, menuju Medan Johor. Butuh waktu hampir satu jam. Jalanan menanjak dan berlubang tak menghalanginya. Beberapa kali dia mengaku pernah terjatuh.
“Kadang kalau hujan deras, saya tetap jalan. Pisang harus laku, karena itu yang jadi uang belanja hari itu,” tuturnya sambil mengencangkan ikatan tali plastik itu.
Pisang mas yang ia jajakan bukan hasil kebun sendiri. Nani membelinya dari sejumlah pasar. Kadang di pasar Setia Budi atau Sei Kambing. Dengan uang modal seadanya, ia memilih kualitas pisang yang matang sempurna.
“Yang manis dan kuning, itu orang suka. Tapi ya kadang rugi juga kalau hujan, orang malas berhenti beli,” ujarnya.
Dalam sehari, ia bisa membawa 10 sampai 15 sisir. Untung bersihnya tak seberapa, sekitar Rp30 ribu hingga Rp50 ribu. Tapi dari situlah ia membiayai kebutuhan sehari-hari, listrik, dan biaya perobatan suaminya.
Lapak Nani berada di pinggir jalan besar yang belakangan ramai dibicarakan setelah papan bunga bertuliskan “Terimakasih KPK” mendadak muncul lalu dibongkar misterius. Di tengah riuh kabar soal korupsi dan kekuasaan, ada kehidupan kecil yang tenang namun keras hidup dari sebongkah pisang dan kaki yang terus mengayuh.
“Capek pasti. Tapi kalau diam di rumah, lapar. Jadi lebih baik capek tapi bisa makan,” ujarnya seraya menghela napas panjang.
Nani bukan satu-satunya perempuan sepuh yang menggantungkan hidup dari pekerjaan informal. Tapi kisahnya mengingatkan bahwa di balik geliat kota, ada banyak kehidupan perempuan tangguh yang nyaris tak terdengar.
Tak ada bantuan tetap dari pemerintah, tak ada jaminan pensiun. Nani hanya bergantung pada tenaganya sendiri dan sepeda tua yang mulai rewel.
“Pernah rusak bannya di tengah jalan. Saya dorong sampai ke Johor. Nangis dalam batin juga waktu itu. Tapi harus dijual pisangnya,” katanya sembari tersenyum, mencoba menertawakan kesedihan itu.
Di antara lalu-lalang mobil dan motor yang tak sabar di jalan protokol Medan Johor, Nani adalah lambang dari kesunyian perjuangan kelas bawah. Ia hadir tanpa plakat, tanpa mikrofon, tapi dengan tubuh yang setiap hari menjadi saksi kerja keras tak kenal lelah.
Ketika ditanya apa harapan terbesarnya, Nani tak muluk-muluk. “Cuma sehat. Bisa terus jualan. Suami saya cepat sembuh. Udah itu aja.”
Di saat sebagian orang sibuk memoles citra atau menyusun strategi kekuasaan, perempuan tua itu terus mengikat pisang, mengikat hari-harinya dengan sabar. Mungkin kita akan melewatinya begitu saja tanpa menoleh.
Tapi jika sesekali memperlambat langkah, kita akan melihat bahwa di bawah terik kota Medan, ada kekuatan yang sesungguhnya: seorang perempuan dengan sepeda, pisang, dan hati yang tak pernah menyerah.
Terakhir, dia menyampaikan ribuan terimakasih untuk sejumlah orang yang pernah membantunya. Dia tak ingat jelas siapa saja. Tapi yang jelas, katanya, dia sangat bersyukur.
"Ribuan terimakasih untuk semua orang yang sudah bantu saya," tuturnya.
(Cw7/Nusantaraterkini.co)