Otomatis
Mode Gelap
Mode Terang

Maraknya Beras Oplosan Dipasaran, KRKP: Indikator Pengawasan dan Penegakan Hukum Masih Lemah

Editor:  hendra
Reporter: Redaksi
WhatsApp LogoTemukan Nusantaraterkini.co di WhatsApp!!
Said Abdullah (Foto: dok.CTSS IPB)

nusantaraterkini.co, JAKARTA - Menteri Pertanian (Mentan) Andi Amran Sulaiman mengakui maraknya beras oplosan beredar di pasar tradisional dan ritel modern.

Menanggapi hal itu, Koordinator Koalisi Rakyat Untuk Kedaulatan Pangan (KRKP), Said Abdullah mengatakan, pemerintah sudah memiliki sejumlah instrumen untuk mengendalikan harga dan pasokan dari jeratan mafia

Salah satu yang diatur ada di Undang-undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan. Beleid mengatur berbagai aspek terkait pangan, termasuk produksi, distribusi, keamanan, dan ketahanan pangan. 

Beberapa pasal dalam UU digunakan untuk menjerat pelaku yang melakukan tindakan yang merugikan bidang pangan, seperti penimbunan, oplosan, atau praktik curang lainnya yang dapat dikategorikan sebagai tindakan mafia pangan.

Hanya saja, implementasi atas regulasi tersebut belum optimal. Said merujuk pada sejumlah kasus oplosan dan tindakan kejahatan lain yang sering dilakukan para mafia pangan.

“Nah satu soal pengawasan dan menengahkan hukum, kita memang kan masih lemah terkait hal itu ya, sekalipun kita sebenarnya sudah punya instrumennya, ada undang-undang, di Undang-undang Pangan juga jelas ada klausul soal larangan itu kan dan sanksinya,” ujar Said, Selasa (15/7/2025).

Dalam menjalankan UU, Satgas Pangan Polri ikut terlibat, terutama menindak segala bentuk kecurangan di sektor pangan. Said menekan mekanisme pengawasannya harus diperkuat dan lebih terukur. 

Di mana, pemerintah harus punya mekanisme basis data yang mampu mengukur secara cermat ketika beras didistribusikan ke pasar hingga berapa pasokan yang tersedia.

Hal ini penting lantaran rantai pasok beras di dalam negeri begitu mengular alias panjang. Mekanis ini juga dipandang bisa mempermudah pengawasan karena distribusi dilacak atau ditelusuri.

”Nah ini saya kira yang perlu diperkuat ke depan soal pengawasan dan penegakan hukum. Misalnya soal mekanisme pengawasan yang selama ini saya kira perlu penguatan ya, tidak hanya di konteks pelibatan publik, tetapi juga perlu ada satu mekanisme dan proses monitoring yang lebih terukur,” paparnya. 

“Kita punya satu mekanisme dan basis data rantai pasok pangan yang lebih terukur. Jadi kita bisa tahu misalnya satu wilayah bergerak berapa banyak barang itu keluar, keluar daerah, dimana daerahnya, kemudian tersebarnya berapa, sisa stoknya berapa, dan seterusnya,” beber Said.

Merusak dan Rugikan Konsumen

Sementara itu, Anggota Komisi IV DPR Riyono Caping menyoroti maraknya peredaran beras oplosan yang merugikan konsumen dan mencederai petani lokal.

“Jika dihitung secara kasar, dengan kerugian Rp5.000 per kilogram, maka total beras oplosan yang beredar bisa mencapai 700.000 ton. Padahal, kebutuhan beras nasional per bulan adalah sekitar 2,6 juta ton," ujar Riyono.

"Artinya, hampir 25 persen beras di pasar diduga merupakan beras oplosan,” tambahnnya.

Ia menyesalkan praktik curang yang dilakukan oleh oknum perusahaan dalam menjual beras berkualitas rendah dengan label premium.

“Ini sangat merusak. Tidak hanya merugikan konsumen, tapi juga menciderai perjuangan petani kita yang sudah menghasilkan beras berkualitas tinggi musim ini,” tegas Riyono yang juga Ketua DPP PKS Bidang Petani, Peternak, dan Nelayan ini.

Menurut Riyono, keberhasilan petani dalam meningkatkan produksi nasional seharusnya dihargai dan dilindungi

“Petani layak mendapat reward atas capaian produksinya. Harga yang baik untuk Gabah Kering Panen (GKP), Gabah Kering Giling (GKG), dan beras di pasar akan menjadi puncak kebahagiaan mereka,” tambahnya.

Riyono menyatakan bahwa sebenarnya beras petani lokal sudah memiliki kualitas premium yang alami.

“Beras dari petani kita itu enak, cocok dengan lidah masyarakat Indonesia, dan masih sangat terjangkau di pasaran.”

Namun, menurutnya, fenomena beras oplosan ini menunjukkan lemahnya tata kelola perberasan nasional.

“Peredaran beras negara masih belum terkendali. Dari sekitar 2,5 juta ton beras yang beredar di pasar tiap bulan, hanya sekitar 5 persen atau 100 ribu ton yang dikendalikan oleh Bulog. Sisanya, 2,4 juta ton, sepenuhnya berada di tangan swasta,” ungkapnya.

Kondisi ini menurutnya sangat rawan penyimpangan, mulai dari pengoplosan hingga potensi penyelundupan. Karena itu, Riyono menyerukan agar negara hadir secara penuh dalam pengelolaan beras, dari hulu hingga hilir.

“Negara tidak boleh hanya menjadi penonton. Minimal negara harus mengendalikan 20 persen hingga 50 persen dari pasar beras, agar distribusi dan tata niaga tidak dikuasai oleh segelintir pemain swasta,” terangnya.

Ia juga menekankan pentingnya memperkuat kehadiran BUMN pangan untuk menjaga keamanan pangan rakyat.

“Satgas Pangan akan kewalahan bila negara tidak membenahi regulasi dan membentuk BUMN pangan yang kuat. Ini adalah solusi jangka panjang untuk mencegah praktik curang dan memastikan kesejahteraan petani serta keadilan bagi konsumen,” pungkas legislator dapil Jateng ini. 

Menteri Pertanian (Mentan) Andi Amran Sulaiman mengungkapkan, beras oplosan beredar bahkan sampai di rak supermarket dan minimarket, dikemas seolah-olah premium, tapi kualitas dan kuantitasnya menipu. 

Temuan tersebut merupakan hasil investigasi Kementerian Pertanian (Kementan) bersama Satgas Pangan yang menunjukkan 212 merek beras terbukti tidak memenuhi standar mutu, mulai dari berat kemasan, komposisi, hingga label mutu.  

Beberapa merek tercatat menawarkan kemasan “5 kilogram (kg)” padahal isinya hanya 4,5 kg. Lalu banyak di antaranya mengklaim beras premium, padahal sebenarnya berkualitas biasa. 

(Cw1/nusantaraterkini.co)