Otomatis
Mode Gelap
Mode Terang

Kemendag Diminta Tinjau Ulang Bea Masuk 0 Persen untuk Impor Susu

Editor:  Rozie Winata
Reporter: Luki Setiawan
WhatsApp LogoTemukan Nusantaraterkini.co di WhatsApp!!
Aksi petani susu ternak buang hasil produksi sebagai bentuk protes ke pemerintah. (Foto: istimewa)

Nusantaraterkini.co, JAKARTA - Aksi protes para peternak sapi perah di Jawa Timur dan Jawa Tengah dengan melakukan mandi susu hingga membuang susu perah secara cuma-cuma viral di media sosial. Penyebabnya, karena industri dituding lebih memilih menggunakan susu impor ketimbang susu lokal.

Terlebih lagi, dengan adanya kebijakan bea masuk yang dibebaskan alias gratis untuk produk susu semakin menekan keberadaan nasib susu lokal.

Menanggapi itu, Pengamat Peternakan dari Universitas Padjajaran (Unpad) Rochadi Tawaf meminta agar Kementerian Perdagangan (Kemendag) meninjau ulang tarif bea masuk 0% terhadap produk susu. Dia pun menyarankan agar pemerintah menetapkan bea masuk 5–10% terhadap produk susu yang masuk ke Indonesia.

Rochadi menjelaskan adanya bea masuk hingga 10% ini agar peternak sapi perah lokal mampu bersaing dengan produk susu luar negeri. Terlebih, pemerintah harus melindungi peternak rakyat. Menurutnya, pemerintah perlu menghidupkan kembali Peraturan Presiden (Perpres) tentang Persusuan Nasional yang salah satunya memuat bea masuk atau proteksi.

Di sisi lain, Rochadi juga menyoroti kebijakan perdagangan WTO terkait susu. Menurutnya, dengan kebijakan WTO ini apakah memungkinkan Indonesia melakukan proteksi untuk peternak rakyat.

Kendati demikian, dia mengaku setuju akan adanya proteksi terhadap peternak susu perah lokal. Hal ini mengingat produktivitas susu sapi perah dalam negeri masih rendah atau hanya 10-15 liter per ekor per hari.

“Kita harus memproteksi [peternak sapi perah lokal] sekarang menjadi misalnya katakan 5%—10% bea masuk. Itu sama dengan memproteksi peternak dalam negeri,” katanya, Kamis (14/11/2024).

Rochadi mengatakan, jika bea masuk yang dikenakan 0%, maka peternak lokal tidak mampu bersaing dengan negara lain yang memiliki teknologi yang jauh lebih canggih.

Revisi Tarif Bea Masuk

Sedangkan, Ketua Komite IV DPD Ahmad Nawardi, mendesak pemerintah untuk segera merevisi Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 101 Tahun 2009 tentang Tarif Bea Masuk atas Impor Produk Susu Tertentu dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 49 Tahun 2022 tentang Pajak Pertambahan Nilai (PPN).

Revisi ini, menurut Nawardi, sangat mendesak guna melindungi peternak susu lokal yang semakin tertekan oleh tingginya impor produk susu, terutama dari negara-negara mitra dagang seperti Selandia Baru dan Australia.

Menurut Nawardi, kebijakan tarif bea masuk produk susu impor yang hanya sebesar 5%, serta pemanfaatan perjanjian perdagangan bebas (FTA) yang membebaskan bea masuk untuk susu dari beberapa negara, telah menciptakan ketidakseimbangan yang merugikan industri susu nasional. Oleh karena itu, Ketua Komite IV ini mendesak agar tarif bea masuk produk susu impor dinaikkan menjadi 20%.

“Pemerintah harus segera mengubah regulasi ini. Penyelesaian masalah peternak susu dalam negeri tidak cukup hanya dengan kebijakan jangka pendek seperti menghentikan impor dari lima pabrik pengolah susu. Kebijakan itu hanya mengatasi masalah sementara, tetapi belum menyentuh akar persoalan, yaitu ketidakseimbangan regulasi impor,” ujarnya.

Nawardi menegaskan, pemerintah perlu tegas memihak peternak lokal dengan menerapkan kebijakan berbeda pada susu impor dan susu produksi dalam negeri, khususnya terkait PPN. Perlakuan yang sama pada tarif bea masuk antara susu impor dan lokal saat ini membuat peternak Indonesia semakin tersisih.

Karena itu, revisi PMK Nomor 101 Tahun 2009 untuk menaikkan tarif bea masuk susu impor menjadi 20% dianggap sangat perlu agar produk lokal mampu bersaing dengan produk impor yang lebih murah.

“Pemerintah tidak boleh menyamakan perlakuan antara susu impor dan susu lokal. Produk susu dalam negeri harus diprioritaskan. Jika regulasi ini tidak segera diubah, industri susu dalam negeri akan semakin terpuruk dan ketergantungan terhadap impor akan semakin meningkat,” tambahnya.

Beri Sanksi Perusahaan

Sementara itu, Wakil Ketua DPR Cucun Ahmad Syamsurijal meminta pemerintah tak hanya mengawasi kebijakan soal kewajiban perusahaan menggunakan susu sapi dari peternak lokal. Baginya, harus ada sanksi tegas yang diberikan pada perusahaan yang tidak menjalankan kebijakan tersebut.

“Pemerintah harus betul-betul mengawasi kemitraan ini agar pihak perusahaan memperbanyak penggunaan susu dari peternak lokal. Beri sanksi bila aturan tidak dijalankan,” ujar Cucun.

Ia menyampaikan, sebenarnya kewajiban perusahaan mengambil susu sapi dari peternak lokal sudah diatur dalam Peraturan Menteri Pertanian Nomor 33 Tahun 2018. Namun, aturan itu dianggap belum berjalan optimal di lapangan. Apalagi, dengan adanya susu impor yang seringkali lebih dipilih oleh perusahaan karena harganya lebih murah.

Cucun mendorong agar pemerintah menunjukkan langkah nyata untuk berpihak pada peternak lokal.

“Pemerintah harus memastikan bahwa kebijakan yang diterapkan adil dan transparan. Peternak harus mendapatkan kesempatan yang sama untuk menjual produksi susu mereka tanpa adanya diskriminasi atau pembatasan yang tidak adil,” tutur dia.

Terakhir, ia mengingatkan bahwa swasembada pangan tidak akan tercapai tanpa terjaminnya kesejahteraan para petani dan peternak. “Kasihan para peternak, membanjirnya susu impor membuat peternak lokal kita semakin ‘diperah’ dan harus diingat, kedaulatan pangan kita tidak akan maju manakala para petani dan peternak kurang mendapat dukungan,” imbuh dia.

Kementerian Koperasi meminta pemerintah, dalam hal ini Kementerian Perdagangan, untuk mengkaji ulang bea masuk 0 persen pada susu impor.

Wakil Menteri Koperasi Ferry Juliantono mengatakan, hal itu untuk melindungi peternak sapi perah lokal.

“Sebaliknya pemerintah (harus) mengkaji ulang. Kalau bisa jangan 0 persen,” kata Ferry.

Ferry menyebutkan, pemerintah seharusnya mempertimbangkan pemberlakuan tarif sesuai kepentingan nasional seperti dalam aturan Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization/WTO).

Ferry mengatakan, peraturan bea masuk 0 persen membuat para industri pengolahan susu (IPS) lebih memilih impor bubuk susu. Akibatnya, penyerapan susu segar dari peternak lokal tidak maksimal.

“Kemendag juga mempertimbangkan kalau diberikan bea masuk 0 persen, akibatnya seperti ini,” kata Ferry.

“Ini bisa dimintakan (dibahas) kembali, dalam rangka melindungi peternak susu sapi perah di Indonesia. Kami meminta ada barrier,” tambah dia.

Apabila pemerintah tetap menjalankan bea masuk 0 persen, Ferry berharap ada insentif yang diterima para peternak sapi perah.

“Yang sedang kami kaji, insentif apa yang diberikan peternak sapi perah, baik koperasi, UD, maupun perorangan, supaya mereka tidak terkena dampak,” kata Ferry.

Adapun para peternak sapi pernah menggelar demonstrasi dengan aksi mandi susu di Tugu Susu Tumpah, Boyolali, Jawa Tengah, pada Sabtu (9/11/2024) lalu.

Aksi itu dilakukan sebagai bentuk protes atas pembatasan kuota susu yang masuk ke pabrik atau industri pengolahan susu (IPS).

Peternak juga menggelar aksi dengan membuang 50.000 liter atau 50 ton susu ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Winong, Boyolali.

Di Pasuruan, Jawa Timur, para peternak sapi perah juga membuang 500.000 liter susu akibat kalah bersaing dengan susu impor.

Dalam video yang beredar di media sosial, tertulis narasi "Pabrik pengolah lebih pilih impor, peternak sapi buang 500 ribu liter susu segar."

(cw1/Nusantaraterkini.co)

Advertising

Iklan