Otomatis
Mode Gelap
Mode Terang

Insiden Bentrok Brimob dan Polantas di Tual Dinilai Kurangi Profesionalisme Kepolisian

Editor:  Rozie Winata
Reporter: Luki Setiawan
WhatsApp LogoTemukan Nusantaraterkini.co di WhatsApp!!
Insiden bentrok personel Brimob vs Polantas di Tual, Maluku. (Foto: istimewa)

Nusantaraterkini.co, JAKARTA - Insiden bentrokan antara aparat kepolisian dari unsur Brimob BKO Resimen Pas 3 Pelopo  terhadap personel Lantas Polres Tual yang melaksanakan Kegiatan Rutin Yang Ditingkatkan (KRYD) di Pos SS, Polres Tual, Maluku dinilai menunjukkan kurangnya profesionalisme aparat kepolisian.

“Kejadian ini tentu saja sangat memprihatinkan dan memalukan. Sebagai institusi yang bertugas menjaga keamanan dan ketertiban, tindakan penganiayaan sesama aparat Kepolisian menunjukkan adanya pelanggaran serius terhadap prinsip-prinsip profesionalisme dan etika kerja," kata Direktur Eksekutif Human Studies Institute (HSI), Rasminto, Rabu (31/7/2024).

Ia menuturkan, bahwa solidaritas di antara personel Polri seharusnya menjadi hal yang utama.

"Namun dalam kasus ini, korsa atau semangat kebersamaan yang seharusnya dijunjung tinggi justru disalahgunakan," sesal Rasminto.

Rasminto mengutuk keras tindakan brutal yang ditunjukan oleh sesama aparat Kepolisian di Tual Maluku dengan mendesak pihak pimpinan Polri untuk mengambil tindakan tegas.

“Pimpinan Polri harus segera ambil tindakan tegas untuk melakukan investigasi menyeluruh untuk mengungkap pelaku dan motif di balik insiden ini. Tindakan disipliner yang tegas akan diambil terhadap mereka yang terbukti bersalah," ujarnya.

Ia juga menyampaikan keprihatinannya atas peristiwa bentrok antar aparat kepolisian di Kabupaten Tual Maluku ini.

"Kejadian ini sangat memprihatinkan dan mencerminkan masalah mendasar dalam kultur organisasi kepolisian kita. Insiden seperti ini menunjukkan bahwa reformasi kelembagaan untuk menciptakan kepolisian yang lebih humanis belum sepenuhnya terwujud," tandasnya.

Baginya, Bentrok antar aparat kepolisian memiliki dampak serius yang dapat merusak kepercayaan publik terhadap institusi penegak hukum.

“Ketika aparat yang seharusnya menjaga keamanan justru terlibat dalam konflik internal, masyarakat mungkin merasa khawatir dan tidak aman," jelasnya.

Ia membeberkan, selain menyebabkan cedera fisik dan kerusakan properti, bentrok ini juga bisa memperparah ketegangan sosial yang ada.

"Berdampak juga pada ketidakpercayaan publik yang dapat mengakibatkan penurunan trust antara masyarakat dan kepolisian, yang pada akhirnya menghambat efektivitas penegakan hukum dan pelayanan publik," sebutnya.

Ia melanjutkan, bentrok antar aparat kepolisian juga berdampak negatif pada moral dan disiplin anggota kepolisian itu sendiri.

“Konflik internal dapat mengganggu semangat kerja dan menurunkan kinerja, yang berpotensi memperburuk situasi keamanan daerah," tegasnya.

Ia juga mengungkapkan, insiden bentrok sesama aparat ini sering kali dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu untuk tujuan politik.

"Kejadian bentrok sesama aparat dapat memperkeruh suasana kondusifitas dan menimbulkan ketidakstabilan politik lokal, apalagi saat ini menjelang Pilkada serentak 2024," bebernya.  

Ia menambahkan bahwa kejadian ini menegaskan pentingnya pembenahan sistem rekrutmen dan pengawasan dalam institusi kepolisian.

"Profesionalisme dan etika kerja harus menjadi fokus utama dalam setiap rekrutem dan pelatihan. Tanpa itu, kita akan terus menghadapi masalah-masalah seperti ini yang merusak citra dan kepercayaan masyarakat terhadap aparat kepolisian," katanya.

Ia berharap bahwa kejadian serupa tidak akan terulang dan mendesak pihak kepolisian untuk memperkuat sistem rekrutmen dan pengawasan terhadap personel.

“Dalam situasi yang semakin kompleks dan penuh tantangan, profesionalisme dan solidaritas antar personel keamanan sangatlah penting, namun solidaritas yang terbangun jangan disalahgunakan untuk kepentingan yang merugikan banyak orang," harapnya.

Ia mendesak adanya langkah-langkah tegas dari pihak pimpinan kepolisian sendiri dalam pembenahan kelembagaan.

"Reformasi kelembagaan yang lebih mendalam dapat terwujud, sehingga kejadian seperti ini tidak akan terulang dan kepercayaan masyarakat terhadap aparat Polri dapat kembali pulih," pungkasnya.

Hal senada pun disampaikan Komisi III DPR menyoroti bentrokan aparat kepolisian antara personel Brimob dan Polantas yang terjadi di Tual yang dinilai mencederai tugas dan wewenang kepolisan yang seharusnya menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat.

“Itu kan tindakan yang memalukan dan tidak patut dilakukan. Kepolisian yang memiliki tugas dan fungsi menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat malah justru membuat kegaduhan. Apalagi ini sesama internal anggota kepolisian,” ujar Anggota Komisi III Gilang Dhielafararez.

Sebelumnya, anggota Polres Kota Tual dan Brimob BKO Resimen Pas 4 Pelopor Polda Maluku terlibat bentrokan di Jalan Raya Kota Tual tidak jauh dari Mapolres Tual. Bentrokan tersebut diwarnai letusan senjata api secara bertubi-tubi.

Video bentrokan tersebut viral di media sosial. Dalam video berdurasi sekitar dua menit itu terlihat kedua kelompok bentrok hingga terdengar suara tembakan. Adapun yang menjadi sorotan penting ialah bentrokan terjadi di depan Gereja Maranatha.

Saat itu bertepatan dengan Umat Kristiani tengah mengadakan ibadah malam, di mana tampak dalam video warga merasa ketakutan dan khawatir karena suasana mencekam akibat bentrokan aparat kepolisian. Gilang menilai, perbuatan para anggota korps kepolisian tersebut tidak pantas dicontoh.

“Itu fatal, mengingat bentrokan dilakukan di depan rumah ibadah. Jelas itu mengganggu kenyamanan dan keamanan umat untuk beribadah, kami mendorong kepolisian untuk segera menuntaskan permasalahan tersebut. Arogansi aparat seperti ini meresahkan masyarakat,” tegasnya.

Gilang menambahkan, apa yang terjadi di Tual itu bukanlah cerminan dari anggota kepolisian yang sesungguhnya. Ia mendorong agar semua personel polisi yang terlibat dalam bentrokan diberikan sanksi.

“Wajah baik Polri dipertaruhkan dalam hal ini. Harus ada sanksi tegas bagi yang terlibat sesuai dengan peraturan di Kepolisian,” ucap Gilang.

Gilang menilai, harusnya peristiwa ini tidak terjadi, dan meminta Polri untuk semakin mengedepankan soliditas internal.

“Kalau antar-sesama satuan solid, harusnya hal semacam ini tidak perlu terjadi apalagi sampai baku tembak dan mengganggu masyarakat,” ungkap Legislator dari dapil Jawa Tengah II itu.

Gilang pun meminta agar pimpinan Polri menindaklanjuti kasus tersebut demi menjaga integritas institusi dan kepercayaan masyarakat terhadap kepolisian. Komisi III DPR sebagai mitra Polri juga mendorong agar ada evaluasi internal guna mengantisipasi agar kejadian seperti di Tual tidak terjadi lagi di kemudian hari.

“Kalau tidak ada tindakan tegas dan perbaikan dari jajaran Polri, bisa-bisa masyarakat semakin ragu dengan kredibilitas kepolisian. Kami DPR mendorong keutuhan Polri,” sebutnya.

“Ingat, tugas polisi adalah mengayomi dan memberi keamanan bagi masyarakat. Berikan contoh yang baik, jangan sampai Polri merugikan masyarakat karena arogansi aparatnya,” pungkas Wakil Ketua Badan Kerja Sama Antar-Parlemen (BKSAP) DPR tersebut.

Polda Maluku Harus Minta Maaf

Sementara itu, Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) telah mengirimkan surat kepada Kapolda Maluku Irjen Eddy Sumitro terkait insiden kontak senjata antara Brimob Polda Maluku dengan Polantas.

“Kemarin telah mengirimkan surat klarifikasi ke Polda Maluku menanyakan penyebab bentrokan, apa dampak bentrokan, dan bagaimana Polda Maluku dapat memulihkan kondisi,” kata Anggota Kompolnas, Poengky Indarti.

Kompolnas pun memberikan lima catatan kepada Polda Maluku terkait peristiwa tersebut. Ia menilai Polda Maluku harus meminta maaf kepada masyarakat Maluku atas kontak senjata yang terjadi.

"Pimpinan harus meminta maaf kepada masyarakat atas keonaran yang dibuat para anggotanya," katanya.

Catatan kedua, lanjut Poengky, para anggota harus diingatkan agar tak memunculkan sikap ego sektoral. Menurutnya, ego sektoral merusak kerja sama yang terjalin antar satuan kerja ditubuh Polri.

"Brimob adalah bagian dari Polri, sehingga tidak benar jika Brimob dianggap bukan bagian dari Polri," ucap dia.

Catatan ketiga, jika peristiwa itu diakibatkan semangat solidaritas yang ditafsirkan secara keliru. Kemudian, catatan ke-4, yakni terkait penyebab kontak senjata yang perlu diungkap.

"Kelima, para pelaku semuanya harus diperiksa dan diproses hukum, termasuk atasan langsung yang gagal mengawasi para anggotanya, sehingga ada efek jera dan peristiwa serupa tidak akan terjadi lagi," ujarnya.

(cw1/nusantaraterkini.co)

Advertising

Iklan