Otomatis
Mode Gelap
Mode Terang

Gerakan Kaum Perempuan di Titik Nol Kota Medan Kritik Model Rezim Prabowo sebagai Toxic Maskuliniti

Editor:  Rozie Winata
Reporter: Junaidin Zai
WhatsApp LogoTemukan Nusantaraterkini.co di WhatsApp!!
Seorang perempuan sedang melukis sebuah gambar sepatu boot yang tampak akan menginjak rakyat kecil, di tengah unjuk rasa kaum perempuan berlangsung, pada Sabtu (6/9/2025) sore. (Foto: Junaidin Zai/Nusantaraterkini.co)

Nusantaraterkini.co, MEDAN - Gelombang unjuk rasa di Kota Medan, Sumatera Utara (Sumut), terus meningkat. Kali ini, puluhan kaum perempuan yang menyebut dirinya sebagai Kolektif Kelompok Rentan turun ke jalan, pada Sabtu (6/9/2025).

Mereka menyoroti model pemerintahan Prabowo Subianto yang dianggap dekat dengan praktik kekerasan, tidak ramah pada kelompok rentan, hingga hal-hal yang feminim. Istilahnya adalah Toxic Maskuliniti.

Lusty, seorang pegiat isu perempuan, menjelaskan bahwa gaya rezim Prabowo Subianto dapat dilihat dari kondisi sosial, ekonomi, dan politik di Indonesia saat ini yang dianggap diselimuti dengan praktik kekerasan.

Baca Juga : Menangis saat Bacakan Tuntutan, Unjuk Rasa Kaum Perempuan Menolak Rezim Represif di Medan Berkabung

“Bukan karena pemimpinnya laki-laki atau tidak ada perempuan, tapi cara memimpinnya yang penuh penindasan, kekerasan, dan intimidasi itu yang dimaksud toxic maskuliniti,” jelas Lusty saat diwawancarai di lokasi, Sabtu malam.

Meski dalam kabinet merah putih milik Prabowo Subianto saat ini terdapat sejumlah menteri yang diisi oleh perempuan seperti Sri Mulyani Indrawati, Meutya Viada Hafid, Rini Widyantini, Widianti Putri, dan Arifatul Choiri Fauzi, menurut Lusty, mereka semua tidak berpihak pada kelompok-kelompok rentan seperti perempuan itu sendiri.

“Jika kita lihat ada pemimpin perempuan, ada representasinya. Tetapi tidak pernah memberikan representasi kepada keberadaan perempuan dan kelompok rentan,” ujar Lusty.

Penting untuk diketahui, aksi yang berlangsung damai ini merupakan eskalasi gerakan rakyat yang terus berlanjut sejak periode 25 Agustus hingga 2 September 2025. Sejumlah wilayah di Indonesia termasuk Kota Medan, terlihat terus mengawal isu-isu kekerasan, kebijakan, hingga pembubaran lembaga perwakilan rakyat.

Namun, dalam gerakan perempuan di Kota Medan ini menghitung amukan massa yang terjadi ini dipicu sejak sepuluh tahun terakhir. Semuanya bermula dari pengesahan yang justru berdampak buruk bagi rakyat.

Mulai dari Omnibus Law Cipta Kerja yang merugikan buruh, pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), proyek Food Estate yang merampas tanah rakyat sekaligus merusak lingkungan sampai manipulasi aturan demi melanggengkan politik dinasti.

Baca Juga : Kaum Perempuan di Medan Berkabung, Tabur Bunga untuk 10 Nyawa yang Hilang dalam Gelombang Unjuk Rasa

Mereka juga menyoroti kabinet gemuk yang dinilai berpotensi pada pemborosan anggaran seperti, kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang memberatkan rakyat kecil, serta pembahasan Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) dan Rancangan Undang-Undang Kepolisian (RUU Polri) yang dikhawatirkan menjadikan TNI dan Polri sebagai lembaga superpower.

Tak ketinggalan, Proyek Strategis Nasional (PSN) disebut-sebut merampas ruang hidup rakyat. Program makan bergizi gratis pun dinilai lebih banyak pencitraan ketimbang solusi. Bahkan, pembahasan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) dilakukan secara sembunyi-sembunyi dan dikhawatirkan menyimpan pasal-pasal bermasalah.

Menurut mereka, itu baru sebagian dari sederet persoalan yang telah memicu gelombang kritik yang berlangsung dengan unjuk rasa dan menelan korban jiwa.

Baca Juga : MPR Sayangkan Aksi Demonstrasi Berujung Anarkis yang Merusak Fasilitas Umum

Amatan Nusantaraterkini.co, aksi mereka dirangkai dengan orasi-orasi secara bergantian, memajang foto-foto korban kekerasan aparat, puisi, lukisan langsung, hingga membagikan makanan dan minuman gratis kepada warga dan peserta aksi. Mereka juga tampil dengan dominasi warna merah muda dan hijau.

Aksi ini berakhir dengan membacakan 10 tuntutan. Ditengah-tengah itu suasana haru tercipta setelah Annisa Sheren Koordinator aksi terisak saat menyebutkan bunyi tiap butir tuntutan mereka.

Saat yang bersamaan, mereka menegaskan bahwa perjuangannya tidak hanya soal gender, melainkan perlawanan terhadap pola kekuasaan yang sarat kekerasan dan intimidasi.

(Cw7/Nusantaraterkini.co)

Advertising

Iklan