Otomatis
Mode Gelap
Mode Terang

Dilema Kurikulum Merdeka: Aturan Longgar, Guru Tak Berdaya, Siswa Sesuka Hati

Editor:  hendra
Reporter: Redaksi
WhatsApp LogoTemukan Nusantaraterkini.co di WhatsApp!!
Sejumlah siswa melakukan penghormatan saat upacara bendera di halaman yang tergenang air dan berlumpur di SD Negeri Basirih 10, Banjarmasin, Kalimantan Selatan, Senin (29/7/2024). Foto: Bayu Pratama S/ANTARA FOTO

nusantaraterkini.co, MEDAN - Kurikulum Merdeka yang dicanangkan pemerintah ternyata banyak menimbulkan efek yang tidak baik. Seperti cerita Salman (34), seorang wali kelas sekaligus guru Agama Islam di salah satu SMP negeri di Kota Depok.

Salman bercerita bahwa anak didiknya sering tidak mengerjakan tugas. Dari 40-an muridnya di kelas, ada 15-20 anak yang tidak mengumpulkan tugas. Padahal deadline-nya cukup panjang yaitu sepekan.

Kurikulum merdeka, kata dia, membuat semua siswa bisa naik kelas meski nilai yang diperoleh buruk. Penilaian rapor akhir tengah maupun akhir semester, lanjutnya, juga menjadi tidak efektif. Hal itu karena siswa tahu seburuk apa pun nilainya, mereka akan tetap naik kelas.

"Soalnya mereka sudah pasti naik kelas. Sudah pasti lulus. Ya terus buat apa lagi belajar," jelas Salman dikutip kumparan, Jumat (1/11/2024).

"Sebenarnya mereka tuh sekolah sudah nggak peduli sama pelajaran. Kalau menurut saya mereka kayaknya ngejar ijazah doang," lanjutnya.

Salman kemudian menyoroti sistem zonasi. Menurutnya, anak didiknya semakin malas belajar. Sistem zonasi sendiri sudah berlaku sejak 2017 lalu.

"Yang pertama mereka pikirin adalah sekolah mana yang masuk zonasi. Jadi udah enggak mikirin kerja keras lagi," ungkapnya.

Dulu, kenang Salman, guru masih dapat menghukum murid dengan hukuman yang membuat jera seperti squat jump, lari keliling lapangan, atau hukuman fisik lainnya. Namun, semenjak pemberlakuan kurikulum merdeka, guru tidak lagi memiliki kebebasan untuk menghukum murid dengan cara-cara seperti itu.

Salman pada dasarnya memang tak setuju dengan hukuman fisik. Namun, kata dia, hal yang bisa dilakukan guru saat murid berbuat salah hanyalah memberi peringatan. Jika kesalahan sudah besar, guru hanya bisa memanggil orang tua ke sekolah.

"Hilangnya hukuman fisik salah satunya itu ya, jadi enggak ada efek jera, itu sih. Guru jadi nggak punya gigi lagi. Enggak punya taringlah," ungkapnya.

Sementara itu, kata dia, format pendisiplinan siswa pun tak jelas bentuknya. Menurutnya, guru-guru pun khawatir orang tua bisa komplain jika terlalu keras menegur siswa.

"Dinas itu enggak punya SOP khusus juga buat mereka. Untuk anak-anak [bandel] kayak gini enggak ada pengangannnya," sambungnya.

Menurut Salman, salah satu siswanya bahkan ada yang tidak bisa membaca. Namun, sekolah tetap membiarkannya naik kelas bahkan sampai lulus ke SMA.

"Enggak bisa baca. Enggak bisa baca teks sama sekali. Tahu huruf, tapi itu pun ketuker-tuker hurufnya. Anak lulus SMP masih ketuker huruf B dengan huruf D. Bacanya masih mengeja. Ditanya apa poin inti dari paragraf itu, dia enggak paham," jelas Salman.

(Dra/nusantaraterkini.co)