Nusantaraterkini.co, MEDAN - Keamanan merupakan hak dasar setiap warga negara. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, masyarakat di berbagai kota besar dan kecil di Indonesia kembali dihadapkan pada ancaman nyata, yakni kejahatan jalanan.
Begal, geng motor, dan aksi penjambretan telah meresahkan publik, menciptakan rasa takut dan ketidaknyamanan, bahkan di ruang-ruang publik yang seharusnya menjadi tempat aman bagi semua orang.
Dalam konteks inilah, peran Polri sebagai garda terdepan penegakan hukum dan penjaga ketertiban menjadi sangat krusial.
Masyarakat menggantungkan harapan besar kepada Polri bukan hanya untuk menindak para pelaku kejahatan, tetapi juga untuk menghadirkan rasa aman yang berkelanjutan.
Namun, fakta di lapangan menunjukkan bahwa tantangan yang dihadapi Polri dalam menangani kejahatan jalanan masih cukup kompleks.
Maka dari itu, perlu kiranya dilakukan refleksi kritis terhadap strategi yang digunakan selama ini, disertai dengan saran-saran membangun yang bertujuan memperkuat peran Polri sebagai pelindung dan pengayom masyarakat.
Maraknya Kejahatan Jalanan dan Dampaknya
Fenomena kejahatan jalanan bukanlah hal baru, namun akhir-akhir ini kembali menjadi sorotan karena intensitas dan keberaniannya yang meningkat. Di sejumlah kota seperti Jakarta, Medan, Palembang, hingga Makassar, kasus begal dan aksi brutal geng motor menghiasi berita kriminal yang kemungkinan hampir setiap pekan.
Korbannya tidak hanya orang dewasa, tapi juga remaja, bahkan anak-anak. Tak jarang korban mengalami luka parah, kehilangan harta benda, hingga kehilangan nyawa.
Kejahatan semacam ini tidak hanya merugikan secara fisik dan materiil, tetapi juga menyisakan trauma psikologis mendalam dan menciptakan rasa ketidakpercayaan terhadap lingkungan sekitar.
Ketika masyarakat merasa takut keluar rumah pada malam hari atau enggan melintasi jalan tertentu, maka secara tidak langsung kejahatan jalanan telah menggerogoti kualitas hidup warga negara.
Upaya Polri dan Tantangan yang Dihadapi
Polri sejatinya tidak tinggal diam. Berbagai operasi penertiban telah dilakukan, seperti Operasi Sikat, Operasi Cipta Kondisi, dan patroli rutin oleh tim khusus seperti Tim Resmob dan Tim Presisi.
Di beberapa wilayah, langkah-langkah represif membuahkan hasil, sejumlah pelaku begal berhasil ditangkap, dan geng motor dibubarkan.
Namun demikian, efektivitas jangka panjang dari pendekatan ini masih menjadi tanda tanya. Masalah muncul ketika penanganan hanya bersifat reaktif—menunggu kejadian terjadi— baru kemudian melakukan penindakan.
Di sisi lain, keterbatasan jumlah personel, kurangnya integrasi data antarkepolisian daerah, serta lambatnya adaptasi terhadap teknologi modern menjadi hambatan dalam menciptakan sistem keamanan yang benar-benar preventif.
Baca Juga: Operasi Pekat Toba 2025 Berakhir, Polda Sumut Tindak 1.153 Kasus Premanisme
Tidak kalah penting adalah persoalan kepercayaan publik. Citra Polri yang sempat tercoreng oleh kasus-kasus pelanggaran etik dan kekerasan berlebihan membuat sebagian masyarakat enggan melapor atau bekerja sama. Dalam konteks penanggulangan kejahatan jalanan, kepercayaan ini adalah modal sosial yang sangat vital.
Dalam rangka memberikan pelayanan kepada masyarakat, Polda Sumatera Utara (Sumut) mengimbau masyarakat untuk memanfaatkan layanan Call Center Polisi 110 saat menghadapi situasi darurat yang membutuhkan kehadiran cepat aparat kepolisian.
Layanan ini siaga 24 jam penuh, bebas pulsa dan langsung ditangani oleh petugas kepolisian yang profesional dan responsif.
Kabid Humas Polda Sumut, Kombes Pol Ferry Walintukan menyampaikan, masyarakat dapat melaporkan berbagai kejadian seperti tindak kriminal, kecelakaan, kehilangan, hingga gangguan ketertiban umum.
“Call Center 110 adalah layanan kepolisian berbasis teknologi yang dapat diakses masyarakat kapan saja, tanpa dikenakan biaya. Layanan ini didesain untuk memastikan setiap laporan masyarakat segera ditangani secara cepat dan tepat,” ujarnya, Senin (27/5/2025).
Adapun masalah yang Bisa Dilaporkan ke Call Center 110, antara lain:
* Tindak kejahatan seperti pencurian, perampokan, kekerasan, perkelahian, atau KDRT.
* Gangguan ketertiban seperti kebisingan, keributan, atau kerusuhan lingkungan.
* Situasi darurat seperti kecelakaan lalu lintas atau kebakaran yang membutuhkan koordinasi dengan instansi terkait.
* Laporan kehilangan barang atau orang hilang.
Juru bicara Polda Sumut ini menjelaskan, saat ini pihaknya beserta seluruh jajaran tengah menggencarkan Kegiatan Rutin Yang Ditingkatkan (KRYD) dalam rangka pemberantasan aksi premanisme.
Operasi ini menyasar berbagai bentuk potensi gangguan (PG), ambang gangguan (AG), maupun gangguan nyata (GN) yang berpotensi menimbulkan keresahan di tengah masyarakat.
“Polda Sumut berkomitmen memberantas segala bentuk aksi premanisme yang meresahkan, serta menjamin keamanan dan ketertiban masyarakat. Call Center 110 menjadi bagian penting dari sistem deteksi dan respon cepat terhadap berbagai laporan masyarakat, termasuk yang berkaitan dengan premanisme,” tegasnya.
Untuk itu Polda Sumut mengajak seluruh elemen masyarakat untuk tidak ragu melapor jika menemukan indikasi tindak kejahatan atau gangguan kamtibmas lainnya.
Dengan sinergi yang kuat antara masyarakat dan Polri, keamanan wilayah Sumatera Utara dapat terus terjaga.
Mencari Solusi, Pendekatan yang Lebih Strategis dan Humanis
Kritik terhadap Polri dalam menangani kejahatan jalanan bukanlah bentuk penolakan, melainkan dorongan untuk melakukan evaluasi dan perbaikan.
Ada beberapa hal yang bisa menjadi langkah strategis ke depan:
1. Pemetaan dan Patroli Berbasis Data
Teknologi harus menjadi tulang punggung keamanan modern. Polri perlu memperkuat sistem pemetaan daerah rawan kejahatan berbasis data yang real-time dan akurat.
Patroli tidak bisa lagi bersifat rutin tanpa arah; harus berbasis intelijen dan data kriminal yang valid. Kerja sama dengan pemerintah daerah, dinas transportasi, dan penyedia layanan internet dapat membantu menciptakan sistem pemantauan yang efektif.
2. Keterlibatan Komunitas dan Restorative Approach
Tidak semua pelaku kejahatan jalanan adalah kriminal profesional. Banyak di antaranya adalah remaja putus sekolah, korban kemiskinan, atau terpengaruh lingkungan.
Polri harus lebih aktif menggandeng komunitas lokal, tokoh agama, dan lembaga pendidikan untuk membangun pendekatan preventif yang melibatkan edukasi dan pembinaan.
Restorative justice bukan hanya cocok diterapkan pada kasus ringan, tapi juga bisa diterapkan dalam program pembinaan remaja pelaku geng motor.
3. Modernisasi SDM dan Transparansi Kinerja
Reformasi internal Polri harus terus dilakukan, terutama dalam bidang rekrutmen, pelatihan, dan promosi. Polisi yang ditempatkan di lapangan harus punya kompetensi teknis dan empati sosial yang seimbang.
Baca Juga: Patroli Jam Rawan, Polres Binjai Prioritaskan Antisipasi Begal dan Geng Motor
Selain itu, transparansi dalam proses penindakan—termasuk membuka laporan berkala tentang kasus kejahatan jalanan dan proses penanganannya—akan membantu membangun kepercayaan publik.
4. Revitalisasi Peran Bhabinkamtibmas
Peran Bhabinkamtibmas di desa dan kelurahan sangat potensial dalam mencegah tindak kejahatan. Sayangnya, peran ini masih belum dimaksimalkan.
Dengan pelatihan tambahan dan dukungan teknologi sederhana seperti aplikasi pelaporan cepat berbasis warga, Bhabinkamtibmas bisa menjadi ujung tombak pencegahan kejahatan jalanan sejak dini.
5. Kampanye Edukasi Publik dan Literasi Hukum
Polri juga perlu aktif membangun kesadaran hukum di kalangan masyarakat. Kampanye anti-begal, bahaya geng motor, dan pentingnya menjaga keselamatan diri harus dijalankan secara berkelanjutan melalui portal berita, media sosial, sekolah, hingga tempat ibadah.
Masyarakat yang melek hukum akan lebih siap berperan sebagai mitra Polri, bukan sekadar penonton.
Tidak Hanya Sigap, Tapi Juga Proaktif dalam Mencegah
Masyarakat mendambakan Polri yang tidak hanya sigap dalam menindak, tetapi juga proaktif dalam mencegah. Keamanan jalanan adalah pondasi dari stabilitas sosial yang lebih luas. Oleh karena itu, Polri perlu memperkuat perannya sebagai lembaga modern yang adaptif, transparan, dan berorientasi pada pelayanan publik.
Kritik terhadap Polri dalam menangani kejahatan jalanan sejatinya adalah bagian dari kepedulian warga negara terhadap institusi yang menjadi tumpuan harapan.
Dengan pendekatan yang lebih strategis, keterlibatan komunitas, dan peningkatan transparansi, Polri dapat menjadi institusi yang benar-benar hadir untuk masyarakat—bukan hanya saat kejahatan terjadi, tetapi sejak potensi kejahatan mulai tumbuh.
Ke depan, harapannya bukan hanya pada Polri yang kuat, tapi juga Polri yang dipercaya dan dicintai masyarakat. Karena keamanan bukan hanya tentang penindakan, tetapi juga tentang kepercayaan.
(Akb/nusantaraterkini.co">nusantaraterkini.co)