Nusantaraterkini.co, MEDAN - Deru kendaraan dan suara-suara kaum perempuan saat berunjuk resah di Titik Nol Kota Medan, pada Sabtu (6/9/2025) petang itu bercampur menjadi satu. Di tengah-tengah itu Amanda Gustari atau akrab disapa Mandut membentangkan kanvas.
Dia melukis sebuah gambar sepatu bot besar yang diinjakkan ke arah tangan-tangan kecil yang menjulang, seolah menggambarkan simbol perlawanan terhadap represi. Lukisan berlatar merah muda itu dikerjakan di tengah lingkaran massa, di mana sejumlah perempuan lain duduk bersila menyaksikan proses kreatif tersebut.
Aksi melukis di jalanan ini menjadi bagian dari demonstrasi, menghadirkan seni sebagai medium protes sekaligus bentuk solidaritas dalam menyuarakan kritik terhadap kekuasaan.
Baca Juga : Menangis saat Bacakan Tuntutan, Unjuk Rasa Kaum Perempuan Menolak Rezim Represif di Medan Berkabung
“Tema dari lukisan ini adalah tolak kekerasan rezim,” ujarnya.
Baginya, sepatu boot itu melambangkan pejabat yang sewenang-wenang. Sementara siluet hijau di bawahnya adalah rakyat yang tetap melawan, digambarkan memegang pisau sebagai simbol kekuatan untuk menolak penindasan.
“Maksud dari gambar yang saya buat itu ada sepatu kulit yang pastinya sudah mahal dan kita juga tahu siapa yang mempunyai sepatu seperti itu. ya pejabat,” ujar Mandut.
Jadi kita semua sebagai rakyat itu dilihat dari siluet-siluet yang warna hijau itu adalah rakyat dalam bentuk penolakan masing-masing memegang pisau satu per satu. Masing-masing memegang kekuatan agar rezim-rezim itu tidak menindas kita lagi.
Baca Juga : Kaum Perempuan di Medan Berkabung, Tabur Bunga untuk 10 Nyawa yang Hilang dalam Gelombang Unjuk Rasa
Warna yang mendominasi karyanya juga punya pesan. Merah muda, kata Amanda, mewakili perlawanan perempuan. Hijau melambangkan korban kekerasan rezim, salah satunya Affan Kurniawan, seorang pengemudi ojek daring yang menjadi simbol perlawanan.
Unjuk rasa ini bukan semata ruang seni. Puluhan perempuan bergabung menyuarakan 17+8 tuntutan yang dalam beberapa pekan terakhir terus digemakan.
“Kita terus mengawal sampai semua tuntutan itu dipenuhi,” kata Annisa Shereen, koordinator aksi.
Menurut mereka, kemarahan rakyat yang meluas bukan sekadar reaksi spontan, melainkan wujud krisis kepercayaan terhadap pemerintah.
“Dalam sepuluh tahun terakhir, kebijakan negara justru makin memperkuat oligarki,” ujar Shereen.
Sejumlah regulasi disebut menjadi bukti: Omnibus Law yang merugikan buruh, pelemahan KPK, Food Estate yang merampas tanah rakyat, hingga manipulasi aturan untuk melanggengkan dinasti politik. Tak ketinggalan, rencana revisi KUHAP yang dianggap bermasalah karena dibahas secara sembunyi-sembunyi.
Di Titik Nol, suara lantang massa berpadu dengan warna-warna di atas kanvas Amanda. Kritik sosial tak hanya lahir dari orasi, tapi juga dari sapuan kuas yang menolak diam di hadapan kekuasaan.
(Cw7/Nusantaraterkini.co)