Otomatis
Mode Gelap
Mode Terang

Soal Wacana Siswa Nakal Dibina di Barak, Akademisi: Klasifikasi Siswa Harus Jelas

Editor:  hendra
Reporter: Luki Setiawan
WhatsApp LogoTemukan Nusantaraterkini.co di WhatsApp!!
Prof. Muradi (Foto: dok.Unpaders)

nusantaraterkini.co, JAKARTA - Gubernur Jawa Barat (Jabar) Dedi Mulyadi mewacanakan pendidikan karakter bagi siswa yang dianggap sulit dibina dan terindikasi terlibat dalam pergaulan bebas atau tindakan kriminal. Dedi rencananya melibatkan TNI dan Polri.

Guru Besar Ilmu Politik dan Keamanan Unpad Prof Muradi mengatakan wacana program itu bagus tapi harus diantisipasi dampaknya.

"Menurut saya, selain bicara soal legal, sebenarnya apa yang disampaikan itu ada benarnya misalnya penggunaan barak militer atau polisi untuk anak-anak yang tidak bisa lagi didik di sekolah maupun di rumah," kata Muradi, Jumat (2/5/2025).

Meski setuju, Muradi juga menyebut klasifikasi siswa yang akan dikirim ke barak harus jelas. "Tes program awal-awal saya setuju, tapi klasifikasinya apakah pihak sekolah sudah tidak sanggup mendidik atau dipukul rata. Karena pengertian anak nakal atau anak geng motor perlu pendalaman tidak semata-mata dikirim," ungkapnya

Menurut Muradi, sebelum digulirkan, pemerintah juga harus mengukur dampak dari program ini. Muradi menyebut, program ini harus memberi efek jera dan bukan sebaliknya.

"Ada 3 konsekuensi, pertama biasanya akan drop, kedua konsekuensi sosial, katakanlah dijemput ke rumah, ketiga konsekuensi masa depan, pernah sekolah di barak, itu jadi problem, tapi punya problem di masa datang, bukan jadi memberi efek jera, efek jera ini jadi bahaya," jelasnya.

Muradi menerangkan, secara prinsip tidak ada hal yang dilanggar terkait wacana program ini jika dilihat di UU No 3 Tahun 2002 bela negara, UUD 45 Pasal 27 dan 30, PP No 8 Tahun 2002 dan UU terkait komponen potensi paparan negara. "Enggak masalah. Hanya yang harus diantisipasi efeknya," sebutnya.

"Kalau dilaksanakan perlu ada evaluasi berkala, misal di barak tertentu kumpul ratusan siswa, misalnya libatkan guru atau komponen lain, itu seperti apa, walaupun itu ada efek jera dan keluar jadi anak baik, tapi meminimalisir efek negatif, dia bisa trauma, malu, tercap nakal yang digembleng di barak polisi atau militer," tambahnya.

Resiko Psikologis

Pengamat militer dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi berpandangan bahwa rencana Gubernur Jawa Barat (Jabar) Dedi Mulyadi mengirim siswa bermasalah ke barak militer sangat berisiko secara psikologis.

Sebab, menurut Fahmi, yang dibutuhkan siswa bermasalah bukan pendekatan secara militer, melainkan pendekatan yang disesuaikan dengan masalah masing-masing anak dan pendampingan.

"Yang dibutuhkan siswa bukan barak, tapi ruang belajar yang memulihkan. Kalau yang bermasalah adalah sikap, maka pendekatannya harus bersifat pedagogis dan reflektif, bukan koersif,” kata Fahmi.

Selain itu, dia menilai bahwa masalah kenakalan remaja dalam bentuk tawuran, kecanduan gim, pembangkangan hingga mabuk adalah masalah sosial yang bisa ditangani dengan pendekatan sipil, bukan militer.

"Kenakalan remaja, dalam bentuk tawuran, mabuk, kecanduan gim atau pembangkangan, bukan ancaman keamanan. Melainkan cerminan dari masalah psikososial yang kompleks dan memerlukan respons berbasis pendampingan, bukan penertiban,” ujar Fahmi.

Namun, dia sepakat bahwa pendisiplinan tentu penting dalam membentuk karakter generasi muda. Hanya saja, tidak perlu ditempuh melalui pendekatan militeristik. "Tapi pendisiplinan yang baik tidak harus ditempuh lewat pendekatan militeristik. Disiplin sejati lahir dari kesadaran, bukan ketakutan,” kata Fahmi.

Perlu Kajian Mendalam

Sementara itu, Wakil Ketua Komisi X DPR Lalu Hadrian Irfani menilai, wacana tersebut memerlukan kajian mendalam. Di satu sisi, mengirim siswa ke barak militer bisa membangun disiplin dan nasionalisme.

Namun, di sisi lain, Lalu menilai rencana itu berpotensi tidak sesuai konteks pendidikan formal dan justru membebani siswa. Misalnya, lanjut dia, ada kekhawatiran program tersebut bisa mengalihkan fokus tujuan utama pendidikan, yaitu pengembangan akademik dan keterampilan hidup.

"Artinya, dalam konteks gagasan, wacana pendidikan militer ini memang perlu dikaji mendalam," kata Lalu Ari sapaan akrabnya.

Legislator dapil NTB itu memandang, jika mengirim siswa ke barak militer bertujuan untuk menanamkan rasa nasionalisme, hal itu bisa mereka dapat dari mata pelajaran PKn.

"Konsep bela negara, lebih ditekankan pada pembangunan kesadaran nasionalisme, cinta tanah air, dan kesiapan mental-spiritual untuk membela negara, bukan melalui pelatihan militer fisik," katanya.

Sebagaimana diberitakan, Dedi Mulyadi akan menggandeng TNI dan Polri dalam pelaksanaan program pendidikan berkarakter di beberapa wilayah di Jawa Barat.

"Tidak harus langsung di 27 kabupaten/kota. Kita mulai dari daerah yang siap dan dianggap rawan terlebih dahulu, lalu bertahap," kata Dedi.

Program yang akan berlangsung selama enam bulan ini bertujuan untuk membina siswa yang terindikasi nakal agar terhindar dari perilaku negatif.

Dedi mengungkapkan, pihak TNI akan menyiapkan sebanyak 30 hingga 40 barak untuk mendukung pelaksanaannya. Menurut Dedi, siswa yang menjadi prioritas dalam program ini adalah mereka yang sulit dibina dan terindikasi terlibat dalam pergaulan bebas maupun tindakan kriminal.

Dia menjelaskan, peserta program dipilih berdasarkan kesepakatan antara sekolah dan orang tua, dengan prioritas pada siswa yang sulit dibina atau terindikasi terlibat dalam pergaulan bebas ataupun tindakan kriminal, untuk diikutkan program pembinaan yang akan berlangsung enam bulan per siswa.

Melalui pendidikan berkarakter ini, Dedi berharap dapat mengubah perilaku siswa menjadi lebih disiplin dan bertanggung jawab.

 (cw1/nusantaraterkini.co).

Advertising

Iklan