Nusantaraterkini.co, MEDAN - Fenomena premanisme yang terus hidup dan berkembang ditengah-tengah masyarakat masih dianggap sebagai realitas semata, dan pandangan terhadap fenomena tersebut keliru.
Hal ini disampaikan oleh Dosen Fakuktas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU), Shohibul Ansor Siregar.
Padahal, jelasnya, premanisme sangat mencerminkan wajah kekuasaan yang berjalan secara ekstraktif, represif, dan informal. Sehingga perlu kajian untuk menyimpulkan apa, bagaimana dan kenapa premanisme tersebut terus tumbuh. Menurutnya, premanisme bukan hanya soal pelanggaran hukum. Ia merupakan bagian integral dari infrastruktur kekuasaan yang menopang sistem institusi negara yang gagal dan ekstraktif.
Dalam wawancara Nusantaraterkini.co bersama Shohibul Anshor, pada hari ini Senin (12/5/2025), reporter menanyakan sejauh mana premanisme di Indonesia dapat dikategorikan sebagai bagian dari struktur yang sistemis dan bukan deviasi (penyimpangan) hukum semata?
Kata Shohibul Anshor, terdapat hubungan yang harmonis antara premanisme dan kekuasaan. Dan baginya, hubungan yang dibangun dan dirawat itu telah menjadi bagian dari logika kekuasaan yang memadukan kekuatan legal dan sebaliknya.
“Negara dengan struktur dan sumber daya manusianya, sering kali menggunakan preman sebagai alat pengendali. Sehingga kekuasaan tidak hanya represif secara formal, melalui Polisi dan aparat hukum, tetapi juga informal melalui milisi sipil, Organisasi Masyarakat (Ormas), atau preman itu sendiri,” jelasnya.
“Di masa Orde Baru (Orba), kelompok-kelompok semi-militer tertentu telah diberi legitimasi akses kekuasaan. Dan warisan itu masih terasa," sambungnya.
Kemudian, dia juga menjelaskan bagaimana relasi kekuasaan informal tersebut beroperasi sebagai instrumen negara yang mampu menyentuh institusi masyarakat terlemah. Premanisme, lanjutnya, lazim berfungsi sebagai teknik pemerintahan yang membiarkan atau memanfaatkan aktor didalamnya untuk mengatur masyarakat.
"Umumnya disadari bahwa hal ini adalah bagian dari cara negara mengatur masyarakat dari kejauhan dan menciptakan ketertiban lewat kekuasaan disipliner tanpa selalu hadir secara formal," jelasnya.
Lebih lanjut, premanisme telah menjadi bagian dari pengalaman sehari-hari masyarakat. Sebab, katanya, dalam negara yang terdapat institusi lemah selalu terjadi sebuah batasan anatara negara dan non-negara, dan sengaja dibuat kabur.
"Dan hubungan itu seolah menciptakan ilusi kehadiran negara yang tercipta dari kekuasaan informal," tuturnya.
Dia menyebutkan cara institusi demokrasi lokal seperti pilkada dan partai politik, dalam mereproduksi kekuasaan informal melalui hubungan patron-klien dengan aktor premanisme, akan berakhir pada penciptaan alat politik yang terlegitimasi untuk mengabadikan kebobrokan negara.
Meskipun demikan, Shohibul mengakui jika premanisme di negara dengan institusi lemah bukan sekadar kekacauan, tapi bagian dari tata kelola kekuasaan informal yang efektif, meski tidak demokratis atau legal.
(cw7/nusantaraterkini.co)