Nusantaraterkini.co, JAKARTA - Pakar hukum kepemiluan dari Universitas Indonesia (UI) Titi Anggraini menilai, semua partai politik (parpol) diuntungkan dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) menghapus ambang batas atau presidential threshold (PT) minimal 20% kursi DPR atau memperoleh 25% suara sah nasional di pemilu.
"Putusan ini menguntungkan semua partai politik. Tidak ada partai politik yang dirugikan meski MK mengatakan pembentuk undang-undang juga harus melakukan rekayasa atau electoral engineering supaya walaupun semua partai berhak, tapi calonnya tidak terlalu banyak, melainkan ada koridor juga yang harus dipedomani," katanya, Jumat (3/1/2025).
Menurut Titi, putusan MK soal penghapusan presidential threshold tersebut harus dipedomani pembentuk undang-undang, baik pemerintah maupun DPR. Berkaca dari dugaan adanya upaya mengakali putusan MK sebelumnya terkait ambang batas pencalonan kepala daerah sembari Titi berharap DPR menindaklanjuti putusan MK ini.
"Kami berharap DPR tidak mendistorsi Putusan Nomor 62/2024 ini. Kita harus belajar dari peringatan darurat ketika parlemen mencoba membonsai putusan MK, perlawanan masyarakat luar biasa," ujarnya.
"Jadi, putusan ini ada di bawah pemerintahan Presiden Prabowo. Kami berharap Presiden Prabowo menjadi yang paling depan untuk menegakkan Putusan MK Nomor 62/2024," pungkasnya.
Rekayasa Konstitusional Koalisi
Sedangkan, Ketua DPP PDIP Said Abdullah mengusulkan rekayasa konstitusional dapat dilakukan melalui mekanisme kerja sama atau koalisi partai dalam pengajuan pasangan calon presiden dan wakil presiden.
Said menyampaikan partainya patuh atas putusan MK tersebut. Said menyinggung pertimbangan putusan MK memerintahkan pembentuk undang-undang dapat melakukan rekayasa politik terkait pencalonan presiden dan wakil presiden.
"Atas putusan ini, maka kami sebagai bagian dari partai politik sepenuhnya tunduk dan patuh, sebab putusan MK bersifat final dan mengikat," ujarnya.
"Dalam pertimbangan putusan MK di atas, MK juga memerintahkan pembentuk undang-undang, dalam hal ini pemerintah dan DPR untuk mengatur dalam undang-undang agar tidak muncul pasangan calon presiden dan wakil presiden dengan jumlah yang terlalu banyak yang berpotensi merusak hakikat pemilu presiden dan wakil presiden secara langsung oleh rakyat. MK dalam pertimbangannya meminta pembentuk undang-undang untuk melakukan rekayasa konstitusional, namun tetap memperhatikan hal-hal," jelasnya.
Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR ini menyebut pencalonan presiden dan wakil presiden dapat tetap dilakukan gabungan partai politik tanpa menciptakan dominasi. Hal ini, menurut dia, turut melibatkan partai politik non parlemen sebagaimana diperintahkan MK.
"Seperti, semua parpol boleh berhak mengusulkan capres dan cawapres dan pengusulan tersebut tidak didasarkan pada persentase kursi DPR atau suara sah nasional, namun pengusulan pasangan capres dan cawapres itu dapat dilakukan gabungan partai dengan catatan tidak menyebabkan dominasi partai atau gabungan partai yang menyebabkan terbatasnya pasangan capres dan cawapres," sebutnya.
"Dan membuat perekayasaan konstitusional tersebut, MK memerintahkan agar pembuat undang-undang melibatkan partisipasi semua pihak, termasuk partai politik yang tidak memiliki kursi di DPR. Atas pertimbangan dalam putusan amar di atas, tentu kami akan menjadikannya sebagai pedoman nanti dalam pembahasan revisi undang undang pemilu antara pemerintah dan DPR," sambungnya.
Said berpendapat perlu ada mekanisme kerja sama parpol dalam pencalonan presiden dan wakil presiden untuk memperkuat dukungan politik parpol di DPR nantinya. Menurutnya, hal ini dapat diatur tanpa mengurangi hak setiap parpol dalam mencalonkan presiden dan wakil presiden.
"Semangat kami di DPR saat pembahasan pasal 222 dalam UU Pemilu adalah untuk memperkuat dukungan politik yang kuat di DPR terhadap pasangan calon presiden dan wakil presiden terpilih. Sebab, dengan dukungan DPR yang kuat, maka agenda kebijakan, anggaran, dan legislasi dari pasangan presiden dan wakil presiden terpilih dapat berjalan dengan lancar karena dukungan DPR yang kuat," ujar Said.
"Dengan lahirnya putusan MK ini, maka kami akan menggunakan mekanisme perekayasaan konstitusional yang diperintahkan oleh MK melalui mekanisme kerja sama atau koalisi partai dalam pengajuan pasangan calon presiden dan wakil presiden. Dengan mengatur mekanisme kerja sama partai, dengan tanpa mengurangi hak setiap partai untuk mengajukan calon presiden dan wakil presiden, maka presiden dan wakil presiden terpilih tetap akan memiliki dukungan politik yang kuat di DPR," lanjut dia.
Baca juga: Zulhas : Kabar Gembira Perkembangan Demokrasi Usai MK Hapus Presidential Threshold
Selain itu, Said mengusulkan rekayasa konstitusional dengan memperketat syarat pencalonan presiden dan wakil presiden. Syarat kualifikasi presiden itu, menurut dia, dapat diuji oleh lembaga negara atau perwakilan tokoh masyarakat.
"Perekayasaan konstitusional yang diperintahkan oleh MK dalam pertimbangan putusannya juga dapat kami lakukan dengan mengatur syarat calon presiden dan wakil presiden agar memenuhi aspek kepemimpinan, pengalamannya dalam peran publik, pengetahuannya tentang kenegaraan, serta rekam jejak integritasnya, agar penggunaan hak dari semua partai untuk mengajukan calon presiden dan wakil presiden memenuhi aspek yang bersifat kualitatif yang kami maksudkan tersebut," terangnya.
"Pengujian syarat aspek-aspek yang bersifat kualitatif terhadap bakal calon presiden dan wakil presiden dapat dilakukan oleh unsur dari perwakilan lembaga lembaga negara, dan perwakilan tokoh masyarakat sebagai bagian syarat sahnya penetapan calon presiden dan wakil presiden oleh KPU," pungkasnya.
Pelajari Putusan MK
Sementara itu, Menteri Hukum Supratman Andi Agtas merespon akan segera mempelajari putusan MK soal Presidential Threshold.
"Pemerintah tentu menghargai putusan tersebut, dan kami akan pelajari terkait dengan semua putusannya. Tapi di lain sisi nanti pemerintah tentu akan koordinasi terkait hal tersebut, karena di putusan walaupun saya belum baca lengkap kan MK tidak menyatakan bahwa kapan diberlakukan, pemberlakuannya kapan, apakah 2029 atau 2034, karena itu nanti kami tetap berpandangan bahwa putusan MK itu bersifat final dan mengikat," katanya.
Supratman menegaskan putusan MK sudah final. Pihaknya juga berkoordinasi dengan KPU.
"Tapi apa pun keputusan MK karena sifatnya final dan binding, kami akan mengkaji, melakukan kajian kapan mulai berlakunya, nah MK saya lihat belum memutuskan itu," ujarnya.
"Karena itu, nanti pemerintah termasuk kami kementerian hukum dengan Kemendagri, kemudian nanti kami akan komunikasikan dengan penyelenggara pemilu. Karena nanti kan pada akhirnya kalau terkait dengan pelaksanaan pemilu kan akan ada suatu perubahan terkait undang-undangnya, kedua juga PKPU-nya, nah itu semua akan diselaraskan," lanjutnya.
Baca juga: Fahri Hamzah: Tak Hanya Parliamentary Threshold, Presidential Threshold juga Harus Dihapus
Lebih lanjut, Supratman mengatakan setiap keputusan akan membawa dampak pada sistem demokrasi. Sekali lagi ia menyatakan pemerintah saat ini dalam posisi menghormati putusan tersebut karena bersifat final dan mengikat.
"Saya belum bisa menyatakan bahwa apakah itu positif atau tidak karena kan setiap sebuah keputusan yang diambil pasti ada dampak terhadap proses demokratisasi kita. Secara umum bahwa pemerintah, terutama kementerian hukum, menganggap keputusan itu harus kita hormati, pemerintah dalam posisi menghargai putusan tersebut," ujarnya.
Diketahui, Mahkamah Konstitusi menghapus ambang batas atau presidential threshold minimal 20 persen kursi DPR atau memperoleh 25 persen suara sah nasional di pemilu sebelumnya sebagai syarat pencalonan presiden dan wakil presiden.
MK menyatakan semua partai politik peserta pemilu memiliki kesempatan untuk mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden.
Putusan tersebut dibacakan oleh Ketua MK Suhartoyo terkait perkara 62/PUU-XXI/2023. MK mengabulkan seluruhnya permohonan tersebut.
"Menyatakan norma Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat," katanya.
(cw1/Nusantaraterkini.co)