Otomatis
Mode Gelap
Mode Terang

Komisi I DPR Minta Pasal Larangan TNI Aktif Berbisnis Dikaji Secara Mendalam

Editor:  Rozie Winata
Reporter: Luki Setiawan
WhatsApp LogoTemukan Nusantaraterkini.co di WhatsApp!!
Anggota Komisi I DPR Dave Laksono. (Foto: istimewa)

Nusantaraterkini.co, JAKARTA - Wacana usulan penghapusan pasal terkait larangan prajurit TNI aktif berbisnis menjadi polemik dipublik dalam draft revisi RUU TNI.

Menanggapi itu, Anggota Komisi I DPR Dave Laksono menilai usulan penghapusan pasal terkait hal tersebut harus dikaji secara mendalam. Menurutnya dampak terhadap tugas dan fungsi TNI harus dipertimbangkan sebelum membuat aturan.

"Rencana TNI untuk mengubah atau menghilangkan pasal tentang larangan setiap personel aktif berbisnis ini menimbulkan banyak pertanyaan di berbagai macam pihak, termasuk juga di DPR," katanya, Senin (22/7/2024).

Dave kemudian mengungkap daftar inventarisasi masalah (DIM) RUU TNI awal yang diterima hanya membahas soal batas usia pensiun prajurit. Mengenai usulan penghapusan pasal soal TNI berbisnis belum ada dalam DIM awal itu.

"Awal DIM yang kami terima itu hanya membahas yaitu tentang masa dinas prajurit TNI sampai dengan usia 60 tahun, dan dua yaitu tentang penempatan personel TNI aktif di kementerian sesuai dengan kebutuhan dari masing-masing kementerian/lembaga tersebut berdasarkan kebijaksanaan dari presiden," tuturnya.

Usulan personel TNI bisa mengelola usaha ini, menurut Dave, dapat menimbulkan banyak pertanyaan. Menurutnya, ide ini juga muncul mendadak.

"Dengan masuknya ide baru ini untuk menghilangkan satu pasal di mana melarang prajurit TNI aktif sehingga mereka dapat terlibat untuk melaksanakan usaha secara pribadi ini menimbulkan banyak pertanyaan kenapa mendadak muncul ide tersebut," ujar politikus partai Golkar ini.

"Dan juga kita harus lihat ke belakang kenapa pasal itu dibuat ketika UU TNI ini diciptakan, bilamana situasi hari ini memang tidak membutuhkan pasal tersebut karena situasinya sudah memberikan perlindungan baik dalam sisi usaha dan kepastian kepada prajurit TNI itu sendiri, maka itu perlu kita dalami lagi," sebutnya.

Deve mengatakan pihaknya akan mengkaji mendalam jika pemerintah telah memberikan DIM terbaru RUU TNI, termasuk soal penghapusan aturan prajurit boleh berbisnis itu. Namun, Dave menekankan harus ada kajian mendalam sebelum pasal itu dihapuskan.

"Jadi sebelum kita melangkah lebih lanjut, kita dalami dulu DIM-nya seperti apa, kalau perlu kita buat diskusi khusus kah, atau buat pembahasan khusus, atau dilengkapi dengan naskah akademik di mana memastikan bahwa dengan mengizinkan prajurit TNI untuk berbisnis tidak ada akan dampak negatif terhadap tugas-tugas dalam menjalankan fungsinya dalam menjaga kedaulatan negara. Tentunya (harus ada kajian mendalam), jangan gegabah dalam membuat kebijakan," pungkasnya.

Sementara itu, Pengamat militer dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi mengatakan, kesejahteraan prajurit tidak bisa menjadi alasan penghapusan aturan mengenai larangan prajurit berbisnis tersebut. Sebab, masalah kesejahteraan prajurit seharusnya menjadi tanggung jawab pemerintah.

“Terkait pemenuhan kebutuhan anggaran TNI dan kesejahteraan prajurit, sebenarnya itu justru merupakan kewajiban dan tanggung jawab negara sebagaimana diatur juga dalam UU. Itu pekerjaan rumah pemerintah, bukan TNI,” katanya.

Fahmi menyebut bahwa pemerintah seharusnya menjamin TNI tetap menjalankan tugas pokoknya menjaga keamanan dan pertahanan negara tanpa harus terlibat dalam bisnis apa pun.

"Tugas publik justru adalah memastikan agar pemerintah mampu memenuhi kebutuhan TNI secara proporsional dan akuntabel, supaya tugas pokok dapat berjalan baik. Tanpa harus membiarkan TNI terlibat dalam bisnis (sepanjang dimaknai sebagai entitas korporasi),” ujarnya.

Kemudian, dia menegaskan bahwa aturan pelarangan prajurit terlibat bisnis lahir untuk menjaga profesionalisme, integritas, dan efektivitas TNI dalam menjalankan tugas utamanya sebagai penjaga keamanan dan pertahanan negara.

Fahmi lantas menjabarkan, empat alasan kenapa bisnis dilarang bagi prajurit TNI sebagaimana Pasal 39 Ayat 4 UU TNI.

Pertama, alasan profesionalisme. Menurut dia, keterlibatan dalam bisnis bisa mengalihkan bahkan memecah perhatian dan sumber daya dari tugas pokoknya sebagai komponen utama pertahanan.

Kedua, berpotensi timbulkan konflik interest. Sebab, kebijakan, keputusan dan langkah TNI berpeluang dipengaruhi oleh kepentingan bisnis daripada kepentingan nasional. Ketiga, berpotensi korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan. Terakhir, demi menjaga keamanan nasional.

Menurut Fahmi, keterlibatan TNI dalam bisnis, menghadirkan risiko penggunaan informasi dan sumber daya strategis untuk kepentingan pribadi atau kelompok. Sehingga, bisa membahayakan keamanan nasional.

“Jadi, kebijakan dan regulasi yang melarang TNI berbisnis itu bukanlah kebijakan yang asal-asalan dan tidak didasarkan pada kajian mendalam terkait seluruh aspek,” tegas Fahmi

"Kebijakan itu memang harus diambil dalam rangka menjaga profesionalisme, integritas, dan efektivitas TNI dalam menjalankan tugas utamanya sebagai penjaga keamanan dan pertahanan negara,” tandasnya.

Diketahui aturan mengenai larangan personel TNI aktif untuk berbisnis ada pada pasal 39 dalam UU TNI Nomor 34 Tahun 2004, berikut berbunyi:

Pasal 39

Prajurit dilarang terlibat dalam:

1. Kegiatan menjadi anggota partai politik;

2. Kegiatan politik praktis;

3. Kegiatan bisnis; dan

4. Kegiatan untuk dipilih menjadi anggota legislatif dalam pemilihan umum dan jabatan politis lainnya.

(cw1/Nusantaraterkini.co)

Advertising

Iklan