Otomatis
Mode Gelap
Mode Terang

Kasus Suap Vonis Lepas Korupsi Migor, Pakar: Coreng Profesi Hakim!

Editor:  hendra
Reporter: Luki Setiawan
WhatsApp LogoTemukan Nusantaraterkini.co di WhatsApp!!
Kasus Suap Vonis Lepas Korupsi Migor, Pakar: Coreng Profesi Hakim!. Azmi Syahputra (Foto: dok Jurnalhakim)

nusantaraterkini.co, JAKARTA - Pakar hukum pidana Universitas Trisakti Azmi Syahputra mengatakan, tertangkapnya Ketua PN Jakarta Selatan bersama tiga hakim yang sudah berstatus sebagai tersangka penerimaan suap terkait putusan lepas atau ontslag perkara korupsi ekspor crude palm oil (CPO) atau bahan baku minyak goreng dengan dugaan suap Rp 60 Miliar oleh Kejagung semakin menunjukkan rentannya perilaku hakim dan pimpinan pengadilan terlibat suap dan gratifikasi.

"Kejadian sebelumnya Ketua Pengadilan Negeri Surabaya. Tentu perbuatan dan kenyataan ini semuanya mencederai lembaga peradilan termasuk membuat runtuhnya etik hakim," kata Azmi, Kamis (17/4/2025).

Kasus ini, sambung Azmi, semakin membuat masyarakat tidak mempercayai hakim. "Karena seolah kebanyakan hakim sudah ikut jadi bagian makelar dan mafia hukum bekerja sama dengan pengacara, panitera dan pengusaha," kata Azmi.

"Roboh dan rusak wibawa lembaga hukum itu sendiri, apalagi dari beberapa kasus terlihat fakta nyata ketua pengadilan dapat mengatur, mempengaruhi majelis hakim. Termasuk upaya membuat jual beli bentuk putusan perkara dalam hal ini dugaan kasus Korporasi Minyak Goreng dengan transaksi uang sekitar Rp60 miliar," imbuhnya.

Menurut Azmi, suap tersebut telah mencoreng profesi hakim. "Karena itu penyidik Kejaksaan Agung harus terus memperluas penyidikan dan transparan ke publik, apakah di antara majelis hakim masih ada yang bersih atau semuanya terlibat," ujarnya.

"Mengingat kompisisi pengambilan putusan biasanya apakah 2-1 atau putusan dalam kasus ini sepakat bulat (3 orang majelis hakim)," tambahnya.

Menurut Azmi, dalam praktiknya kadang-kadang ada hakim yang jujur dan bersih namun ditelikung. Dibatasi dengan komposisi 2-1 atau 3-2 jadi yang dikondisikan oleh jaringan yang punya kehendak dalam upaya mafia kasus adalah hakim yang mayoritas.

"Sehingga jika ada hakim yang jujur dan bersih terabaikan dengan sendirinya," ujarnya.

Ditambahkan Azmi, melihat karakteristik perbuatan dan keadaan kasus ini maka kepada hakim penerima suap tersebut harus dikenakan hukuman berat berupa pidana penjara seumur hidup.

"Hukuman paling berat bagi aparat penegak hukum yang melakukan tindak pidana korupsi. Apalagi pengadil alias profesi hakim di posisi puncak sebagai ketua pengadilan dan tidak semua hakim dapat menjabat di pengadilan kelas I A terutama wilayah Jakarta," tuturnya.

Azmi berpendapat, sanksi berat dan tegas terhadap pengadil menjadi peringatan keras sekaligus rujukan terhadap penguatan integritas hakim dalam membuat putusan hakim ke depannya. Agar menjadi alarm bagi aparat hukum yang melanggar kewajiban hukumnya.

“Sekaligus menjadi bukti nyata bagi siapapun hakim yang menyalahgunakan jabatannya yang melakukan korupsi semestinya dijadikan menjadi upaya ‘bersih-bersih' pejabat pengadilan termasuk evaluasi rekrutmen di jajaran Mahkamah Agung" kata Azmi.

"Agar MA tidak selalu dibayang-bayangi citra buruk akibat ulah oknum pengadil lainnya yang mengabaikan fungsi kemuliaannya, sehingga lupa diri dalam menjalankan tugasnya bila berhadapan dengan tawaran transaksi uang untuk memenangkan suatu perkara," pungkas Sekretaris Jenderal Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia ini.

Bentuk Pengkhianatan Rakyat

Sedangkan, Pakar Hukum dan Pembangunan Hardjuno Wiwoho menilai, kasus korupsi yang kini sedang ditangani Kejaksaan Agung (Kejagung) melibatkan Ketua Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan Muhammad Arif Nuryanta beserta tiga hakim lainnya adalah bentuk pengkhianatan terhadap rakyat.

Hardjuno pun menyebut, perkara melibatkan Ketua PN Jaksel beserta tiga hakim lainnya bukan hanya sekadar pelanggaran etik, tapi juga penjualan hukum.

"Kalau hakim bisa dibeli oleh korporasi, apa lagi yang tersisa dari negara hukum kita? Ini bukan sekadar pelanggaran etik, ini adalah penjualan hukum kepada pemilik modal," kata Hardjuno.

Selain itu, ia juga menilai kasus suap yang korporasi tersebut jauh lebih berbahaya daripada korupsi birokrasi biasa. Bila korupsi birokrasi merampok anggaran, maka suap korporasi merampok sistem.

"Ini beda kelas. Korupsi birokrasi itu mencuri dana, tapi suap korporasi membajak hukum demi melanggengkan kekuasaan ekonomi. Mereka tidak cuma menghindari hukuman, tetapi mereka membeli keadilan dan mengatur arah negara sesuai kepentingan mereka," jelasnya.

"Bayangkan, negara menggelontorkan triliunan rupiah untuk subsidi minyak goreng demi rakyat. Tapi di belakang layar, korporasi justru menyuap hakim agar mereka bebas dari jerat hukum. Itu bukan hanya penghinaan terhadap negara, tapi pengkhianatan terhadap rakyat," sambung dia.

Dia menyebut kasus ini menggambarkan betapa tidak berdayanya rakyat jika korporasi besar bisa membeli putusan hakim. Karena itu, dia juga mendesak agar pembenahan besar-besaran dilakukan di tubuh lembaga peradilan.

"Ketika korporasi besar bisa membeli putusan, maka rakyat kecil tak punya harapan di hadapan hukum. Kalau ada Rp 60 Miliar yang mengalir ke ruang sidang, berarti ada sistem yang sudah bobrok sejak lama dan dibiarkan. Kita perlu audit total, bukan hanya perkara, tapi siapa saja yang bermain di balik layar," ujarnya.

Lebih lanjut, Hardjuno kembali menekankan pentingnya pengesahan dan penerapan Undang-Undang Perampasan Aset sebagai instrumen utama penindakan dan pencegahan. Menurutnya, pelaku suap seperti ini tidak cukup hanya dihukum penjara.

"Kalau uang hasil kejahatan tidak dirampas, maka penjara cuma jadi jeda. Mereka akan tetap hidup makmur setelah bebas. UU Perampasan Aset akan memastikan bahwa hasil suap dan korupsi dikembalikan ke negara, dan pelaku tidak bisa lagi membeli kebebasan dengan uang kotor. Ada efek jera juga dengan penerapan UU tersebut," tegasnya.

Menampar Wajah Pengadilan

Sementara itu, Anggota Komisi III DPR Jazilul Fawaid mengaku prihatin terhadap kasus suap vonis lepas perkara ekspor crude palm oil (CPO) yang menjerat Ketua Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan Muhammad Arif Nuryanta dan tiga hakim lainnya. Tindakan itu menurutnya jelas menampar wajah pengadilan.

Gus Jazil, sapaan akrab Jazilul Fawaid mengatakan, kasus suap itu sangat memprihatikan. Apalagi, penerima suap itu adalah para hakim yang selama ini menyidangkan perkara. Tentu, publik sangat menyayangkan tindakan melanggar hukum yang dilakukan para hakim.

Wakil Ketua Umum PKB itu mengatakan, kasus suap sebesar Rp 60 miliar itu jelas menampar wajah hakim dan pengadilan yang sedang berbenah. Citra hakim dan pengadilan rusak akibat ulah para hakim yang menerima suap untuk memuluskan perkara itu.

“Ini menampar wajah hakim yang selama ini punya integritas. Ini juga menampar institusi pengadilan yang sedang berbenah,” katanya.

Gus Jazil meminta pengadilan melakukan pembenahan internal setelah kasus suap ketua pengadilan dan tiga hakim. Tentu, kata dia, membutuhkan kerja keras untuk melakukan perbaikan

“Kami sebagai anggota DPR akan memberikan dukungan kepada penegak hukum, terutama pengadilan untuk melakukan reformasi,” beber Wakil Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR RI itu.

Gus Jazil mengatakan, jika membutukan anggaran dalam reformasi pengadilan, pihaknya siap membantu dan mendukung penyiapan anggaran. Sebab, perbaikan pengadilan sangat penting, sehingga tidak ada lagi kasus suap yang menjerat para hakim.

“Kalau butuh anggaran, kita berikan anggaran. Kalau butuh pengawasan, kita akan lakukan pengawasan yang berkala,” beber terang legislator asal Daerah Pemilih (Dapil) Jawa Timur X itu

Dia menambahkan bahwa saat ini pemerintah sedang berusaha membangun dan menaikan kepercayaan publik. Namun, kepercayaan publik itu akan sulit didapatkan, jika lembaga hukum bermasalah.

“Pemerintah sedang giat-giatnya membangun dan menaikkan kepercayaan. Kalau lembaga hukum bermasalah, maka tidak ada orang yang percaya,” ungkap politisi asal Bawean, Gresik, Jawa Timur itu.

Sebelumnya, Kejaksaan Agung menetapkan Ketua Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan Muhammad Arif Nuryanta dan tiga hakim, Agam Syarif Baharuddin, Ali Muhtarom, dan Djuyamto sebagai tersangka suap Rp 60 miliar.

Suap tersebut diberikan kepada hakim agar memberikan vonis ontslag atau putusan lepas terhadap tiga perusahaan yang terlibat, yaitu Wilmar Group, Permata Hijau Group, dan Musim Mas Group. 

(cw1/nusantaraterkini.co)

Advertising

Iklan