Otomatis
Mode Gelap
Mode Terang

Inflasi Sumut di Oktober Berdampak Positif Bagi Petani Perkebunan, Sektor Lainnya Masih Tertinggal

Editor:  Rozie Winata
Reporter: Elvrida Lady Angel Purba
WhatsApp LogoTemukan Nusantaraterkini.co di WhatsApp!!
ilustrasi petani padi. (Foto: istimewa) 

Nusantaraterkini.co, MEDAN - Inflasi Sumatera Utara (Sumut) pada Oktober 2024 mencapai 0,13% secara bulanan, memutus tren deflasi yang berlangsung selama empat bulan sebelumnya.

Menurut pengamat ekonomi Gunawan Benjamin, kondisi ini dapat membuka peluang bagi pelaku rantai pasok untuk memperoleh keuntungan. 

"Kenaikan harga, secara umum, memang membuka peluang bagi pelaku ekonomi untuk memanfaatkan momen ini," ujarnya kepada Nusantaraterkini.co melalui WhatsApp messenger Senin (4/11/2024).

Namun, sebutnya, tidak semua sektor pertanian merasakan dampak positif dari inflasi ini. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa Nilai Tukar Petani (NTP) di Sumut secara keseluruhan mengalami kenaikan sebesar 2,02%, mencapai level 141,39 pada bulan Oktober. Akan tetapi, peningkatan NTP ini didominasi oleh sub-sektor perkebunan yang melonjak 3,69% ke level 195,90. 

"NTP perkebunan yang tinggi ini tidak terlepas dari peningkatan harga CPO (Crude Palm Oil) di pasar dunia," kata Gunawan.

Harga CPO global kini berada di sekitar 4.900 ringgit per ton, naik dari 4.136 ringgit pada bulan September. Hal ini mendorong harga CPO domestik ke level lebih dari Rp15.000 per kilogram, yang kemudian mengerek harga minyak goreng di pasar lokal. 

“Kenaikan harga minyak goreng ikut mendorong NTP sub-sektor perkebunan, memberikan keuntungan bagi petani kelapa sawit. Sayangnya, peningkatan ini belum dirasakan oleh petani di sektor lain,” ujarnya.

Sebaliknya, petani di sektor tanaman hortikultura justru merasakan tekanan. NTP sub-sektor ini hanya berada di level 85,56, bahkan mengalami penurunan sebesar 1,53% pada bulan Oktober.

“Ironisnya, meskipun terjadi inflasi, NTP hortikultura malah semakin merosot,” ungkap Gunawan. Sub-sektor peternakan pun stagnan di bawah 100 dengan NTP sebesar 95,29, sedangkan sektor perikanan bertahan tipis di 99,84, masih di bawah angka sejahtera.

Petani di sub-sektor tanaman pangan, khususnya petani padi, juga merasakan dampak ekonomi yang berat. NTP tanaman pangan turun 0,74% ke level 100,44, seiring dengan penurunan harga gabah kering giling dari Rp6.789 per kilogram pada September menjadi Rp6.696 per kilogram di bulan Oktober.

Gunawan Benjamin menekankan pentingnya pemerintah memberikan perhatian lebih pada petani di sektor-sektor yang belum optimal.

"Peningkatan NTP hanya terjadi di sektor perkebunan, sementara sub-sektor lainnya masih jauh di bawah 100, yang menandakan bahwa petani di sektor tersebut belum mencapai kesejahteraan," ujarnya.

Seorang petani padi di Dairi, Anton, mengungkapkan kesulitannya menutupi biaya produksi. Dia mengatakan, dengan harga gabah yang turun, membuat pendapatannya semakin berkurang.

"Kami tetap harus membayar untuk pupuk, benih, dan tenaga kerja. Padahal harga barang-barang kebutuhan sehari-hari juga naik,” keluhnya.

(Cw9/Nusantaraterkini.co)

Advertising

Iklan