Otomatis
Mode Gelap
Mode Terang

ICW: Kocok Ulang Hakim Dinilai Tak Jadi Solusi Utama untuk Berantas Mafia Peradilan

Editor:  hendra
Reporter: Luki Setiawan
WhatsApp LogoTemukan Nusantaraterkini.co di WhatsApp!!
Kocok Ulang Hakim Dinilai Tak Jadi Solusi Utama untuk Berantas Mafia Peradilan. Erma Nuzulia Syifa (Foto: dok.ICW)

nusantaraterkini.co, JAKARTA - Mahkamah Agung (MA) melakukan perombakan besar-besaran terhadap posisi hakim dan pimpinan pengadilan negeri (PN) di sejumlah daerah di Indonesia. Salah satunya, pengadilan negeri yang berada di wilayah Jakarta.

Untuk diketahui, akhir-akhir ini beberapa hakim terjerat kasus suap. Mereka diduga menerima suap karena memberikan vonis bebas atau lepas seperti hakim yang mengadili Ronald Tannur, dan hakim terdakwa korporasi kasus korupsi minyak goreng

Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai perombakan besar-besaran hakim yang bertugas di pengadilan negeri di wilayah Jakarta dan Surabaya oleh Mahkamah Agung atau (MA) dapat menjadi titik balik untuk meminimalisasi kasus-kasus suap.

“Biasanya, cara kerja dari mafia peradilan spesifiknya jual beli putusan adalah dengan adanya ‘tandeman’ hakim di suatu pengadilan dengan beberapa pihak baik itu dari kejaksaan maupun advokat. Perombakan hakim secara besar-besaran bisa menjadi salah satu solusi untuk menghindari kepentingan tertentu ketika memeriksa dan mengadili suatu perkara,” kata Peneliti ICW Erma Nuzulia Syifa, Kamis (24/4/2025).

Namun begitu, ia menilai kocok ulang hakim di sejumlah pengadilan negeri (PN) oleh MA merupakan suatu yang biasa dilakukan, dan tidak bisa dijadikan solusi utama jangka panjang untuk memberantas mafia peradilan.

“Sebab mekanisme rotasi atau mutasi hakim secara umum memang dapat dilakukan berdasarkan evaluasi hakim di tiap pengadilan. Misalnya, berdasarkan kinerja atau kebutuhan di suatu pengadilan maka hakim bisa saja dipindahkan tanpa ada permasalahan tertentu,” ujarnya.

Selain itu, Erma menekankan agar rotasi ratusan hakim juga harus diikuti dengan seleksi ketat dan berkualitas dalam menempati posisi jabatannya yang baru. Menurut dia, MA bisa mengambil jalan dengan memetakan potensi korupsi dan konflik kepentingan yang ada pada tiap-tiap peradilan.

“Termasuk juga potensi korupsi yang ada di panitera. Sehingga, jika di masa depan hendak dilakukan rotasi kembali, bisa tepat sasaran dan sejalan dengan tujuan tersebut. kemudian, meskipun hakim tidak berkontak langsung dengan pihak-pihak yang berperkara, bisa saja kontak tersebut dilakukan melalui panitera.”

Erma juga menyoroti kasus suap atau gratifikasi beberapa hakim terkait pengurusan perkara di PN Jakarta Pusat dan PN Surabaya, Jawa Timur, yang dikendalikan jaringan mafia peradilan.

“Dari satu kasus ternyata bisa menjadi pintu dari berbagai hakim lainnya. Bisa saja dimulai dari sana, dengan memetakan siapa saja hakim maupun pihak yang pernah berurusan dengan Zarof Ricar (eks pejabat MA/terdakwa kasus gratifikasi) dan mengetahui hakim mana saja yang bermasalah, kemudian diproses secara etik maupun melaporkan ke penegak hukum lain,” ujar dia.

Lebih lanjut, Erma mendorong agar terdapat perubahan secara menyeluruh pada sistem pengawasan dari hakim yang diemban oleh Komisi Yudisial (KY). Menurutnya, perampokan hakim tak akan berjalan sesuai tujuan jika pengawasan yang dilakukan KY berjalan stagnan dan tak memiliki nyali.

“Memperkuat peran KY dan badan pengawas (bawas) yang ada di Mahkamah Agung, tdak hanya sekadar adanya peraturan, namun juga bagaimana peraturan tersebut dilaksanakan. Peran masyarakat juga penting, jika ada dugaan penyelewengan etik, bisa secara aktif bisa melaporkan ke kanal tertentu yang kemudian diproses dengan baik dan profesional oleh bawas MA atau KY,” tegasnya.

Erma juga menegaskan proses perombakan harusnya dilakukan secara transparan dengan melibatkan koordinasi dan sinergi bersama aparat penegak hukum (APH) seperti kejaksaan, kepolisian, maupun organisasi advokat.

“Perombakan ratusan hakim harusnya meminta saran dari penegak hukum lain. Namun, dengan catatan perlu dilakukan secara hati-hati karena ketika berbicara soal mafia peradilan maka hampir dapat dipastikan ada peran yang juga bermain dari masing-masing penegak hukum tersebut,” pungkasnya.

Harus Profesional dalam Memutus Perkara

Sementara itu, Wakil Ketua DPR Adies Kadir berharap mutasi ini menjadi peringatan bagi hakim yang tidak menjalankan tugas secara profesional dan berpotensi melakukan praktik transaksional dalam memutus perkara.

“Langkah ini harus menjadi pembelajaran bagi hakim yang memiliki niat menyimpang. Apalagi kini setiap hakim yang dipromosikan ke Jakarta diwajibkan menyerahkan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN), riwayat keluarga, serta bukti rekening koran pribadi. Ini bentuk transparansi yang patut diapresiasi,” ujarnya.

Menurut Adies, langkah tegas ini menunjukkan keseriusan MA dalam membenahi institusi peradilan agar lebih bersih dan profesional.

“Ini membuktikan bahwa MA di bawah kepemimpinan Prof. Sunarto serius memberantas oknum-oknum yang mencoreng integritas peradilan. Reformasi ini harus terus dikawal,” kata politikus Partai Golkar tersebut.

Dalam dokumen Hasil Rapat Pimpinan MA tertanggal 22 April 2025 yang dipublikasikan di laman resmi MA, tercatat rotasi besar-besaran terhadap hakim di sejumlah wilayah, terutama di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta dan Surabaya.

Di PN Jakarta Pusat, 11 hakim dipindah ke berbagai daerah seperti Bandung, Surabaya, Tangerang, Bekasi, Sidoarjo, dan Pengadilan Tinggi Sulawesi Tenggara.  

PN Jakarta Barat juga mengalami rotasi dengan 11 hakim dipindah ke Tangerang, Bekasi, Surakarta, Semarang, dan Palembang.  

PN Jakarta Selatan memutasi 12 hakim ke sejumlah daerah seperti Sidoarjo, Tangerang, Jakarta Timur, Bandung, Semarang, Surakarta, dan Palembang.  

Sementara di PN Surabaya, 10 hakim dipindah ke PN Sidoarjo, Semarang, Makassar, serta ke Pengadilan Tinggi Kupang dan NTB. 

(cw1/nusantaraterkini.co)

Advertising

Iklan