Otomatis
Mode Gelap
Mode Terang

Catatan Buruk TNI dalam Sejarah Indonesia: Antara Kontroversi dan Pembelajaran

Editor:  Fadli Tara
Reporter: Junaidi Zai
WhatsApp LogoTemukan Nusantaraterkini.co di WhatsApp!!
Ilustrasi

Nusantaraterkini.co - Tentara Nasional Indonesia (TNI) merupakan salah satu institusi yang memiliki peran sentral dalam sejarah bangsa Indonesia, terutama dalam menjaga kedaulatan dan stabilitas nasional. Namun, dalam perjalanannya, TNI juga memiliki catatan kelam yang tak bisa dipungkiri. Beberapa peristiwa sejarah menunjukkan bahwa militer Indonesia terlibat dalam tindakan represif, pelanggaran hak asasi manusia (HAM), hingga kontroversi politik yang mempengaruhi citra institusi ini. Tulisan ini akan mengulas beberapa catatan buruk TNI yang menjadi bagian dari sejarah panjang Indonesia, yang diharapkan bisa menjadi bahan refleksi dan pembelajaran untuk masa depan yang lebih baik.

1. Tragedi 1965 dan Pembantaian Massal

Salah satu catatan kelam TNI yang paling dikenang adalah peristiwa G30S/PKI pada tahun 1965. Peristiwa ini diawali dengan pembunuhan enam jenderal dan seorang perwira pertama Angkatan Darat pada 30 September 1965, yang diduga dilakukan oleh kelompok yang menamakan dirinya Gerakan 30 September (G30S). Peristiwa ini memicu operasi militer besar-besaran yang dipimpin oleh Mayor Jenderal Soeharto untuk menumpas Partai Komunis Indonesia (PKI) beserta simpatisannya.

Operasi penumpasan ini berubah menjadi pembantaian massal yang melibatkan pembunuhan, penyiksaan, dan penangkapan ratusan ribu hingga jutaan orang yang dituduh sebagai anggota atau simpatisan PKI. Tidak hanya militer, tetapi juga milisi-milisi sipil terlibat dalam pembantaian tersebut. Data yang akurat mengenai jumlah korban masih menjadi perdebatan, namun perkiraan jumlah korban tewas mencapai ratusan ribu hingga satu juta orang. Peristiwa ini mencoreng wajah TNI di mata dunia internasional sebagai institusi yang diduga terlibat dalam pelanggaran HAM berat.

2. Operasi Militer di Aceh dan Papua

Di Aceh, operasi militer dilakukan untuk menumpas Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang dimulai sejak 1976. Konflik bersenjata ini berlangsung selama hampir tiga dekade hingga terjadinya perjanjian damai pada tahun 2005. Selama masa operasi militer, banyak laporan mengenai dugaan pelanggaran HAM oleh TNI, seperti pembunuhan di luar hukum, penghilangan paksa, penyiksaan, dan kekerasan seksual terhadap warga sipil. Salah satu peristiwa tragis yang paling dikenal adalah tragedi Rumoh Geudong, di mana puluhan warga sipil dilaporkan disiksa dan dibunuh di sebuah rumah yang dijadikan pos militer.

Di Papua, operasi militer juga meninggalkan catatan kelam. Operasi-operasi yang dilancarkan sejak integrasi Papua ke dalam wilayah Indonesia pada 1969 hingga saat ini sering dikritik karena dugaan pelanggaran HAM terhadap masyarakat Papua. Beberapa insiden yang melibatkan kekerasan berlebihan terhadap warga sipil, penangkapan sewenang-wenang, dan pembunuhan di luar proses hukum menimbulkan citra buruk bagi TNI. Situasi ini memperumit konflik di Papua, di mana tuntutan kemerdekaan dari sebagian masyarakat Papua terus menguat.

3. Tragedi Tanjung Priok (1984) dan Peristiwa Santa Cruz (1991)

Tragedi Tanjung Priok pada 12 September 1984 merupakan salah satu contoh penggunaan kekuatan berlebihan oleh militer terhadap massa yang melakukan demonstrasi. Aksi protes masyarakat di sekitar Tanjung Priok, Jakarta, berakhir dengan kekerasan ketika tentara membuka tembakan ke arah kerumunan. Puluhan orang tewas dan ratusan lainnya luka-luka. Peristiwa ini memicu kecaman luas dari masyarakat dan organisasi HAM.

Peristiwa serupa terjadi di Timor Timur (kini Timor Leste) pada 12 November 1991, yang dikenal sebagai Tragedi Santa Cruz. Dalam insiden ini, militer Indonesia menembaki warga sipil yang sedang menghadiri upacara pemakaman di Pemakaman Santa Cruz, Dili. Aksi brutal tersebut mengakibatkan lebih dari 250 orang tewas dan ratusan lainnya luka-luka. Peristiwa ini mendapat perhatian dunia internasional dan menambah tekanan bagi pemerintah Indonesia atas kebijakan militernya di Timor Timur.

4. Pelanggaran di Era Orde Baru: Dwifungsi ABRI

Pada masa Orde Baru, TNI (dulu dikenal sebagai ABRI – Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) menerapkan konsep *Dwifungsi ABRI*. Konsep ini memberikan peran ganda kepada militer, yaitu sebagai kekuatan pertahanan dan keamanan, sekaligus memiliki peran dalam kehidupan sosial-politik. Dwifungsi ABRI menciptakan keterlibatan militer dalam urusan politik, ekonomi, hingga pemerintahan.

Banyak kasus penyalahgunaan kekuasaan terjadi di masa ini, seperti intervensi militer dalam pemilihan kepala daerah, penindasan terhadap kelompok oposisi, serta pengawasan ketat terhadap aktivitas masyarakat sipil dan media. Dwifungsi ABRI akhirnya dihapuskan pada era reformasi setelah jatuhnya Soeharto pada 1998. Namun, dampak negatif dari penerapan konsep ini masih terasa hingga sekarang, dengan adanya sisa-sisa pengaruh militer dalam politik dan kehidupan sipil.

5. Pelanggaran HAM dalam Penanganan Aksi Unjuk Rasa

TNI juga kerap dikritik karena terlibat dalam penanganan aksi-aksi unjuk rasa yang berujung kekerasan. Salah satu peristiwa besar adalah Tragedi Mei 1998, di mana kerusuhan yang terjadi di Jakarta dan beberapa kota besar lainnya disikapi dengan tindakan represif dari aparat keamanan. Penembakan, penganiayaan, dan pembunuhan terhadap demonstran, serta kerusuhan yang menargetkan kelompok etnis Tionghoa, menjadi bagian dari catatan buruk penanganan militer terhadap aksi protes di masa transisi politik Indonesia.

Catatan untuk Masa Depan: Menuju Reformasi TNI

Catatan-catatan kelam ini menunjukkan bahwa TNI, sebagai institusi pertahanan negara, pernah melakukan berbagai tindakan yang dianggap menyimpang dari prinsip-prinsip hak asasi manusia dan supremasi sipil. Sejak era reformasi, berbagai upaya telah dilakukan untuk mereformasi TNI, termasuk pemisahan TNI dari Polri, penghapusan Dwifungsi ABRI, dan penguatan peran sipil dalam pengawasan militer.

Namun, upaya reformasi ini masih dihadapkan pada tantangan besar, seperti transparansi dalam penyelesaian kasus pelanggaran HAM masa lalu, reformasi internal TNI, serta peningkatan profesionalisme prajurit. Diharapkan, TNI dapat terus berbenah dan menjalankan perannya sebagai alat pertahanan negara yang profesional, transparan, dan menghormati hak-hak masyarakat sipil sesuai amanat reformasi.

Penutup

Sejarah mencatat bahwa TNI pernah terlibat dalam peristiwa-peristiwa yang mencoreng citranya di mata publik. Namun, refleksi terhadap catatan kelam ini diperlukan agar TNI dapat belajar dari masa lalu dan berkomitmen menjadi institusi yang benar-benar melindungi dan mengayomi seluruh rakyat Indonesia, sesuai dengan cita-cita para pendiri bangsa. Dengan profesionalisme dan komitmen terhadap supremasi hukum, TNI diharapkan mampu memperbaiki dirinya dan menjadi penjaga keutuhan NKRI yang lebih baik di masa depan.

Selamat ulang Tahun yang ke-79 untuk Tentara Republik Indonesia.

Penulis: Junaidin Zai/Nusantaraterkini.co

Advertising

Iklan