Nusantaraterkini.co, MEDAN - Banjir bandang yang terjadi di Kabupaten Tapanuli Selatan (Tapsel) Sumatera Utara (Sumut), pada Rabu (18/12/2024) lalu, menjadi peristiwa yang memilukan bagi warga Tapsel.
Bencana yang diawali hujan dengan intensitas tinggi itu melanda dua wilayah Kecamatan yaitu Batang Angkola dan Tano Tombangan. Sebanyak 495 keluarga dilaporkan terdampak.
Selain itu, sebanyak 10 orang menjadi korban luka-luka dan 250 keluarga terpaksa mengungsi ke Posyandu Somaninggir, Gereja GPA Kota Tua dan Istana Hasadaon Kota.
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumut menyebutkan, jika peristiwa banjir bandang di Tapsel, diduga kuat dipicu oleh praktik illegal logging.
Menurut mereka, terdapat aktivitas illegal logging di Desa Panabari Huta Tonga, Tapsel, yang telah merusak ratusan hektare hutan di kawasan ini.
"Aktivitas ini berlangsung di dalam kawasan hutan lindung yang seharusnya dilindungi," ucap Manajer Advokasi dan Kampanye Walhi Sumut, Jaka Kelana, dalam keterangan tertulisnya, Selasa (24/12/2024).
Kelana menyatakan, tudingan tersebut bermula usai pihaknya menerima pengaduan dari warga Desa Panabari Huta Tonga soal aktivitas ilegal logging. Aktivitas tersebut diduga telah berlangsung selama dua tahun terakhir.
"Kayu hasil penebangan liar tersebut diduga dikirim ke pabrik pengolahan kayu di Kota Kisaran dan Kota Panyabungan," ucapnya.
Sementara itu, dalam dokumen kajian risiko bencana Provinsi Sumut tahun 2022-2026, mencatatkan jika Kabupaten Tapsel masuk dalam wilayah rentan terhadap bencana banjir bandang.
“Sangat jelas jika kondisi ini menunjukkan bahwa masyarakat di Tapsel sedang berada di tengah ancaman lingkungan yang serius," ungkapnya.
Ironisnya, kata Kelana, pemerintah justru abai terhadap Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (UU P3H).
Bahkan, sekelas Lembaga Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (LP3H) dinilai tidak berfungsi dengan baik dalam menangani kasus perusakan hutan.
"LP3H harusnya menjadi ujung tombak penanganan kasus ini. Namun, lembaga ini sama sekali tidak terdengar dan tidak terlihat perannya," tegas Kelana.
Lebih lanjut, Kelana menyatakan perusakan hutan tidak boleh dilegalkan melalui izin konsesi yang bertentangan dengan perlindungan lingkungan.
“Jangan sampai pelaku perusakan hutan berlindung di balik izin konsesi yang diperkuat dengan aturan tata ruang wilayah,” pungkasnya.
Untuk itu Walhi Sumut menyampaikan empat poin penting terkait fenomena ini:
• Mengutuk keras praktik illegal logging di Hutan Tapanuli Selatan.
• Mendesak Kepolisian, Kejaksaan, dan Kementerian Kehutanan untuk segera mengusut praktik illegal logging secara serius.
• Meminta Pemerintah Provinsi Sumut melibatkan partisipasi publik dalam penyusunan Rancangan Peraturan Daerah Sumatera Utara tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Tahun 2025-2045.
• Mendesak Presiden RI untuk memaksimalkan fungsi LP3H dalam menyelamatkan hutan di Indonesia.
(Cw7/Nusantaraterkini.co)