Otomatis
Mode Gelap
Mode Terang

AS Tunda Tarif 32 Persen, Guru Besar: Misi Diplomatik Ekonomi Indonesia Luar Biasa

Editor:  hendra
Reporter: Luki Setiawan
WhatsApp LogoTemukan Nusantaraterkini.co di WhatsApp!!
Hikmahanto Juwana (Foto: dok. Fakultashukum UI)

nusantaraterkini.co, JAKARTA - Pemerintah memastikan, penerapan kebijakan tarif resiprokal sebesar 32% yang diumumkan oleh Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump untuk produk asal Indonesia ditunda.

Menanggapi hal itu, Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana menilai bahwa capaian tersebut merupakan hasil yang sangat luar biasa dari misi diplomatik ekonomi Indonesia.

“Ini merupakan capaian yang sangat luar biasa dari Menko Perekonomian, yang tujuan awal datang ke AS dalam rangka menegosiasikan agar tarif bisa diturunkan oleh AS,” kata Hikmahanto, Rabu (16/7/2025).

Hikmahanto juga menyoroti bahwa langkah Indonesia ini bisa menjadi preseden penting bagi negara-negara lain yang juga terdampak kebijakan tarif tinggi dari Presiden Donald Trump. 

Seperti diketahui, tarif tersebut direncanakan mulai berlaku pada 1 Agustus mendatang.“Capaian Indonesia ini bukan tidak mungkin akan diberlakukan juga terhadap negara-negara lain yang sebelumnya terkena tarif tinggi Trump,” sebut dia.

Indonesia adalah negara pertama yang datang ke AS untuk melakukan negosiasi penurunan tarif 32 persen. Menurut Hikmahanto, kunjungan Airlangga ini telah berbuah capaian gemilang berupa penundaan tarif.

Menko Perekonomian Indonesia layak mendapatkan apresiasi dari negara-negara dunia,” pungkas Hikmahanto.

Lakukan Pemetaan

Sementara itu, Analis Kebijakan Ekonomi Asosiasi Pe­ng­usaha Indonesia (Apindo) Ajib Hamdani mengungkapkan, Apindo telah meme­ta­kan kemungkinan-kemung­kinan terburuk bagi pere­ko­nomian Indonesia, jika ta­rif 32% benar-benar berlaku.

Setidaknya, kata dia, terdapat empat masalah besar yang akan dihadapi Indonesia. Pertama, kemungkinan terburuk dampak kebijakan tarif AS ialah potensi pemutusan hubungan kerja (PHK) massal terutama di sektor padat karya. 

Hal itu mengingat sebagian besar komoditas eks­por yang dikirim ke AS ia­lah sektor padat karya. Tarif impor yang tinggi a­kan berefek pada menurunnya permintaan dari pengu­saha AS terhadap produk-pro­duk Indonesia. Ini artinya pabrik Indonesia bakal me­nu­runkan produksi, hingga akhirnya bisa berdampak pada berkurangnya kebutuhan tenaga kerja. 

"Ketika neraca ekspor itu terkontraksi, maka akan jadi masalah lanjutan untuk Indonesia, misalnya ada potensi PHK," ujarnya. 

Ajib menyebutkan, masa­lah kedua yang berpotensi dihadapi Indonesia yakni produk China akan akan membanjiri Indonesia. China yang dikenakan tarif lebih tinggi oleh AS mencapai 100%, kemungkinan akan mengalih­kan pasarnya ke Indonesia se­bagai salah satu negara de­ngan jumlah penduduk terbesar di dunia. 

Permasalahannya adalah Cina mungkin melakukan dumping atau menjual pro­duk­nya ke luar negeri dengan harga lebih murah. Jika praktik dumping dilakukan, maka Indonesia berpotensi kalah da­ya saing karena barang-ba­rang dari Cina lebih ber­kualitas yang dipasarkan le­bih murah. 

"Cina merupakan trendsetter sektor industri dan ma­nufaktur karena Cina itu mempunyai keunggulan yang kom­­petifif, mulai dari energi yang murah, kemudahan infrastruktur, clustering bisnis per bisnis, serta tenaga kerja dengan produktivitas tinggi," katanya.

Ketiga, Ajib mengatakan, dam­pak tarif AS akan menjadi masalah bagi nilai tukar ru­piah. Rupiah berpotensi vo­latil di hadapan dolar AS se­jalan dengan adanya potensi neraca dagang yang terkontraksi akibat kebijakan tarif AS. "Kita lihat tahun 2025 di ke­rangka ekonomi makro, pe­merintah hanya mematok rupiah sebesar Rp 16.000 per do­lar AS. Nah ketika nilai te­rus tereskalasi, maka ini akan jadi masalah tersendiri," kata­nya. 

Ajib menambahkan, masa­lah keempat bagi Indonesia yakni PMI manufaktur sema­kin turun. Dalam 10 tahun terakhir, Indonesia menga­lami deindustrialisasi yang disebabkan kombinasi faktor domestik dan global. Terlepas dari hasil negosiasi tarif, 

Ajib mengatakan, sa­at ini momentum tepat bagi Indonesia untuk memperkuat hubungan bilateral mau pun multilateral dengan negara la­in. Misalnya, mempercepat hubungan dengan ne­gara-ne­gara ASEAN, BRICS dan Uni Eropa. 

Lindungi Industri Dalam Negeri

Terpisah, Anggota Komisi VII DPR Kaisar Abu Hanifah menilai penundaan ini merupakan hasil nyata dari upaya diplomasi ekonomi yang dilakukan pemerintah Indonesia.

“Ini kabar baik bagi Indonesia. Penundaan tarif resiprokal serta tidak dikenakannya tarif tambahan karena bergabung dengan BRICS menunjukkan bahwa negosiasi pemerintah Indonesia dengan Amerika Serikat mulai membuahkan hasil. Ini juga membuktikan adanya keseriusan pemerintah dalam melindungi industri dalam negeri,” ujar Kaisar.

Kaisar mendorong pemerintah agar memanfaatkan momentum ini untuk memperkuat jalur diplomasi dan melanjutkan negosiasi dengan Pemerintah Amerika Serikat secara lebih intensif. Menurutnya, penundaan ini membuka ruang dialog untuk mencari solusi terbaik yang tidak merugikan kepentingan nasional.

“Penundaan ini menunjukkan masih terbukanya ruang diplomasi antara kedua negara. Pemerintah perlu memaksimalkan peluang ini agar Indonesia terhindar dari beban tarif tinggi yang berpotensi mengganggu perekonomian,” katanya.

Legislator asal Daerah Istimewa Yogyakarta ini juga mengingatkan bahwa penerapan tarif 32 persen akan berdampak serius terhadap industri ekspor nasional. Ia menilai kebijakan tersebut bisa menurunkan daya saing produk Indonesia di pasar Amerika, mengganggu pertumbuhan ekonomi, serta memengaruhi stabilitas nilai tukar dan iklim investasi.

“Kami khawatir, jika tarif ini diterapkan, maka ekspor Indonesia ke Amerika akan terhambat dan daya saing produk kita akan turun. Hal ini tentu berdampak langsung pada industri dan tenaga kerja di dalam negeri,” tambahnya.

Kaisar juga menekankan bahwa penundaan ini harus menjadi momentum bagi pemerintah untuk memperbaiki kebijakan domestik yang mendukung pertumbuhan ekonomi dan peningkatan daya saing nasional.

“Kami berharap keputusan final terkait tarif resiprokal ini nantinya tidak memberatkan ekonomi nasional, khususnya sektor industri dalam negeri,” pungkasnya.

Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto memastikan, penerapan kebijakan tarif resiprokal sebesar 32% yang diumumkan oleh Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump untuk produk asal Indonesia ditunda. "Waktunya (penerapan ta­rif 32%) adalah kita sebut pause. Jadi penundaan pene­rapan untuk menyelesaikan perundingan yang sudah a­da,” kata Airlangga.

(cw1/nusantaraterkini.co).

Advertising

Iklan