Otomatis
Mode Gelap
Mode Terang

Walhi Sumut Desak Tindakan Konkret LPPPH untuk Menanggulangi Kerusakan Hutan

Editor:  Feriansyah Nasution
Reporter: Elvirida Lady Angel Purba
WhatsApp LogoTemukan Nusantaraterkini.co di WhatsApp!!
Tanah longsor yang terjadi pada 27 November 2024 di Jalan Jamin Ginting, Sembahe, Kecamatan Sibolangit, Kabupaten Deli Serdang./Ist

Nusantaraterkini.co, MEDAN - Bencana alam yang terus melanda Sumatera Utara semakin mempertegas urgensi pelestarian hutan. 

Walhi Sumut mendesak agar Lembaga Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (LPPPH) mengambil tindakan tegas untuk mencegah kerusakan lebih lanjut yang berkontribusi pada meningkatnya bencana alam.

Sejumlah bencana besar menghantam berbagai daerah di Sumatera Utara menjelang akhir tahun 2024. 

Pada 17 Oktober, banjir besar melanda Desa Lau di Kecamatan Tanah Pinem, Kabupaten Dairi. Beberapa minggu kemudian, tepatnya pada 23 November, banjir kembali merendam Desa Martelu di Kecamatan Sibolangit, Kabupaten Deli Serdang, menewaskan empat orang. 

Tak lama setelah itu, Kabupaten Tapanuli Selatan juga diterjang banjir yang merenggut dua nyawa dan merusak tiga desa di Kecamatan Sayur Matinggi dan Batang Angkola. Banjir-banjir ini, menurut Walhi Sumut, bukan hanya dipicu oleh cuaca ekstrem, tetapi juga oleh kerusakan hutan yang semakin meluas di kawasan hulu.

Sebelumnya, pada 30 April 2023, banjir bandang yang melanda kawasan wisata Sembahe, Sibolangit, Kabupaten Deli, mengungkapkan fakta mencengangkan. Potongan kayu yang terbawa arus sungai menjadi bukti kuat bahwa hutan-hutan di hulu telah rusak parah, memperburuk dampak bencana.

 Potongan kayu besar juga ditemukan di lokasi bencana di Tapanuli Selatan, memperlihatkan bahwa kerusakan hutan semakin nyata dan berdampak pada kehidupan masyarakat sekitar.

Sementara itu, bencana tanah longsor yang terjadi pada 27 November 2024 di Jalan Jamin Ginting, Sembahe, Kecamatan Sibolangit, Kabupaten Deli Serdang, semakin memperlihatkan urgensi perlindungan hutan. 

Berdasarkan pantauan Walhi Sumut melalui citra satelit, wilayah sekitar longsor menunjukkan penurunan tutupan pohon yang signifikan sejak 2020 hingga 2023, memperkuat dugaan bahwa kerusakan hutan telah memperburuk potensi bencana alam di daerah tersebut.

Walhi Sumut menegaskan bahwa perusakan hutan yang terus berlangsung di Sumatera Utara harus segera dihentikan. LPPPH, yang dibentuk berdasarkan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (UU PPPH), memiliki tugas strategis untuk menangani masalah ini. 

LPPPH yang terdiri dari Kementerian Kehutanan, Kepolisian RI, Kejaksaan RI, serta pihak terkait lainnya, memiliki kewajiban untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap pelaku perusakan hutan. Pasal 56 UU PPPH bahkan menugaskan lembaga ini untuk mengkampanyekan pentingnya pencegahan kerusakan hutan dan memperkuat kerjasama antar lembaga penegak hukum.

Namun, Walhi Sumut menilai bahwa upaya LPPPH dalam melindungi hutan di Sumatera Utara masih jauh dari harapan. Kerusakan hutan yang masif, seperti yang terlihat di kawasan Batang Toru dan sekitar Sibolangit, menunjukkan bahwa pengawasan dan penegakan hukum terkait perusakan hutan perlu diperkuat. 

"Jika LPPPH bekerja sesuai dengan amanat UU, kerusakan hutan di Sumatera Utara seharusnya bisa diminimalisir. Tapi kenyataannya, hutan-hutan ini terus rusak, dan dampaknya sangat besar bagi masyarakat," ujar Jaka Kelana, Manajer Advokasi dan Kampanye Walhi Sumut.

Walhi Sumut mendesak Presiden RI untuk lebih serius memantau dan mengevaluasi kinerja LPPPH. Dalam hal ini, Walhi Sumut menuntut agar LPPPH benar-benar menjalankan tugasnya dengan serius, mengingat kerusakan hutan di Sumatera Utara berdampak langsung pada bencana alam yang semakin parah. Sebagai negara yang memiliki kekayaan hutan yang luar biasa, Indonesia, khususnya Sumatera Utara, harus lebih berkomitmen dalam menjaga kelestarian hutan, yang tidak hanya penting untuk keseimbangan alam, tetapi juga untuk mencegah bencana alam seperti banjir dan longsor.

"Kerusakan hutan bukan hanya masalah ekosistem, tapi juga ancaman serius bagi keselamatan masyarakat. Jika pemerintah dan lembaga terkait tidak serius menangani masalah ini, dampaknya akan terus terasa di masa depan," tegas Jaka Kelana. 

(cw9/nusantaraterkini.co) 

Advertising

Iklan